Sunday, December 22, 2019

“Pulang Kampung”, Pulang ke Mana?





PERISTIWA ‘pulang kampung’ (Pulkam) pada momen Natal, Tahun Baru, hari raya pengucapan syukur, atau hari-hari raya keagamaan agama-agama pada umumnya terjadi karena sebelumnya telah berlangsung urbanisasi. Modernisasi kolonial telah membentuk kota-kota sebagai pusat kekuasaan dan ekonomi. Pembentukan tatanan sosial baru, yang di dalamnya termasuk relasi-relasi baru antar kelompok dimungkinkan karena terbentuk dan berkembangnya ruang-ruang hidup baru yang lebih modern, majemuk dan kapitalistis.

Jadi, fenomena Pulkam adalah sebuah tanda terbentuknya ruang-ruang baru namun ruang-ruang lama sebagai tempat asal tidak serta merta tergantikan. Pulkam akhirnya menjadi cara untuk mengatur relasi dan ingatan.

Meski telah direkonstruksi menjadi berbeda dengan ‘kota’ dalam banyak hal, tapi kampung kemudian menemukan cara sendiri untuk eksis dan terus bermakna. Pada akhirnya, ‘kampung’ hadir pula di kota-kota, yang banyak di antaranya masih membawa apa yang ‘asli’ yaitu sebagai panguyuban kekerabatan orang-orang imigran berdasarkan identitas asal-usul dan agama atau status sosial.

“Kampung’ kemudian menjadi tidak hanya sekadar ruang, tapi juga nilai identitas. Tiba suatu masa, ‘kampung’ adalah simbol pengaturan relasi dan terlebih ia adalah identitas sosial yang terkonstruksi oleh perkembangan politik dan ekonomi. Kampung-kampung di kota-kota urban, semacam di Manado misalnya ada Kampung Arab, Kampung Cina, Kampung Borgo, Kampung Ternate, Kampung Islam, dlsb terkini ia adalah bukti pemeliharaan identitas dan cara panguyuban-panguyuban itu mengelola eksistensi yang di dalamnya terkandung upaya-upaya negosiasi dengan perubahan.

Seorang yang tinggal di Kampung Cina Manado, misalnya pada suatu masa oleh karena leluhurnya telah bermigrasi ke pegunungan Minahasa, di hari-hari raya keagamaan, entah atas undangan kerabat atau keluarga akan menyebut ‘pulang kampung’ ketika ia pesiar ke pegunungan di Minahasa. Jadinya, seseorang itu secara simbolik sedang mengatakan, ‘dari kampung ke kampung’. Padahal ini ‘kampung’ yang sebelumnya terkonstruksi berbeda dengan kota menjadi relatif.

Dari segi historis, ‘kampung-kampung’ di Manado tentu berbeda pengertiannya dengan ‘kampung-kampung’ di pegunungan Minahasa. Dalam arti, ‘kampung-kampung’ di Manado, semisalnya Kampung Arab, Kampung Cina, Kampung Borgo, dulunya adalah ruang-ruang istimewa dalam struktur kekuasaan kolonial. Komunitas-komunitas eksklusif ini memiliki hak khusus dalam jaringan politik-ekonomi pemerintahan kolonial. Manado sebagai pusat kekuasaan politik dan ekonomi kolonial memosisikan ‘kampung-kampung kota’ ini sebagai penunjang struktur kolonial untuk menjangkau jalur ekonomi hingga ke kampung-kampung pegunungan di Minahasa.

Tapi urbanisasi di masa kolonial, entah karena dimobilisasi oleh kekuasaan atau karena terpesona dengan citra kota, di dalamnya juga termasuk orang-orang Minahasa dari wanua-wanua di pegunungan. Maka, di masa kolonial, terbentuk pula kampung Kampung Tondano, Kampung Remboken, Kampung Kakas, Kampung Tomohon, Kampung Langowan, Kampung Tombariri, dan Kampung Sonder.

Seperti kota-kota pelabuhan lainnya Manado adalah pusat kekuasaan kolonialisme. Manado adalah bendar. Nicolaus Graafland dalam karangannya berjudul Inilah Kitab Batja Akan Tanah Minahasa (terbit tahun 1867) menggambarkan demikian Manado pada pertengahan abad 19:

Adapon negerij ataw bendar Manado itu hulu negerij deri pada Residentie Manado. Dihulu kala ituw Wenang namanja, turut nama pohon-wenang. Maka inilah negerij jang mulija, sedang lagi padu dokhan Tuwan Bangsawan Resident, Tuwan Kommandant-tsoldado, Tuwan Secretaris, dan Tuwan Pandita adanja. 

Disitu lagi banjakh tuwan-tuwan jang kardjanja di Kantoor, ataw di Gadong-besar, ataw tuwan tuwan-dagang. Maka disitu kadapatan banjakh rumah jang besar, dan rumah jang lebeh mulija itu rumah Tuwan  Resident.

Lagi kadapatan segala perusahan lajin, jaitu: Kota, - tampat perdijaman segala lasjkar; pandjara-besar, dimana dikurongkan orang djahat; - gadong-gadong besar pada tarima koffijjang dituromkan deri pada negerij-negerij digunong; duwa pasar besar, dimana sasaharij didjuwalkan segala rupa barang: makanan, pakejan dan l.l. 

Lagipon kadapatan di Manado sawatu Gredja besar dan bagus, sawatu Midras-Wolanda, dan sawatu Midras-Malajuw. Maka pada Manado dihitongkan lagi kampong Tjina, dimana banjakh orang-tjina jang berdagang ataw berbowat babarapa kardja seperti tukang-kajuw,- metsel, - pipa dan l.l. 

Lagipon terbanjakh orang Manado itu orang burger, jang bejbas, dan ada padanja pangkat djaga salaku tsoldado. Arkijen maka di Manado ada kamijagaan banjakh; prahu besar-kitjil, dan kapal-kapal datang pada membawa barang-barang, ataw tarima koffij, soklath, pala, dan l.l.

Manado di masa kolonial itu, seperti gambaran Graafland di atas adalah  fenomena perkotaan dalam struktur kekuasaan politik kolonial. Bersama dengan itu adalah agama. Di Manado berdiam seorang ‘tuang pandita’ Indische Kerk, gereja kolonial. Ia menjadi bagian dari struktur kekuasaan politik melalui ‘tuang residen’ dan ‘tuan sekretaris’. Ia melengkapi struktur kolonial lainnya, yaitu ekonomi. Mesjid dan klenteng tua berdiri pula di sana. Misi dan dakwah atau penyebaran agama masuk melalui pelabuhan.

Jadinya, struktur kekuasaan kolonial itu adalah ‘agama’, ‘birokrasi’ dan ekonomi. Melengkapinya, dan itu penting adalah militer dan hukum. Itulah ‘kota’ di masa itu, tapi juga berlanjut hingga masa kini.

“Kampung” dalam pengambaran Graafland dalam bukunya itu adalah semua negeri atau wanua, dan juga komunitas-komunitas yang terbentuk kemudian, baik di sekitar pusat kekuasaan maupun pinggirannya, seperti ‘kampung Cina’, ‘kampung Burger’, ‘kampung Sarani’, ‘kampung Arab’ dlsb.

‘Kampung’ berada di dalam subordinasi struktur kolonial yang berpusat di ‘kota bendar’. Sekaligus ia menggambarkan perbedaan status ekonomi, pendidikan, agama, sosial. Atau relasi ‘kota-kampung’ menggambarkan kesenjangan peradaban.

Dikotomi kampung-kota tetap diwarisi di masa orde baru. Kampung menjadi objek untuk dimodernisasi dalam posisi sebagai struktur paling ujung dalam jaringan birokrasi. Ia berada dalam posisi pinggiran jauh dari pusat kekuasaan di Batavia (Jakarta), kota besar yang juga dibentuk di masa kolonial.

Kota semakin menjadi harapan bagi banyak orang dalam mimpi mengubah nasib. Maka, terjadilah urbanisasi besar-besaran, yang makin memperkokoh konstruksi relasi dikotomis 'kota-kampung'. Kota dalam bayangan orang kampung adalah pusat peradaban, tempat mengubah nasib, di sana cita-cita hidup sejahtera dapat diraih. Sebaliknya kampung adalah citra dari keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.

Kota adalah modern, kampung adalah tradisional. Dalam paradigma pembangunan ala orde baru, kampung sebagai yang tradisional mesti dimodernkan karena ketradisionalan padanya tidak mendukung pembangunisme yang kapitalistis, politis dan birokratis.

Tapi, setelah semua proyek pembangunisme yang memicu urbanisasi besar-besaran tak dapat menjawab cita-cita sejahtera secara ekonomis itu, maka dengan sendirinya kota memperoleh citra terbalik. "Sekejam-kejamnya ibu tiri tidak sekejam ibu kota", dan "Sapa suruh datang Jakarta" adalah ungkapan-ungkapan yang mungkin merefleksikan kejenuhan terhadap 'kota'.

Tapi kota tetap penting bagi banyak orang, demikian halnya dengan kampung. Di era pasca kolonial, Pulkam adalah suatu ritual kehidupan yang menghubungkan 'kota-kampung'. Sebagai ritual, Pulkam memiliki sensasi tersendiri. Kampung memiliki daya magisnya, justru semakin kuat ketika kota adalah ruang pertarungan nasib bagi banyak orang. Kampung seolah dianggap sebagai oase. Tapi sensasi itu akan benar-benar terasa ketika Pulkam atau mudik dipasangkan dengan balik lagi ke kota.

"Kampung" yang dibayangkan hijau, sejuk di pagi hari, tenang di waktu siang, teduh di malam hari, dengan bayangan garis-garis gunung dan bukit yang membentuk suatu lukisan alam yang indah dalam imajinasi eksostik sebagai kerinduan orang-orang kota modern. Bau tanah, asap yang mengepul dari dapur-dapur, rumah-rumah kayu, anak-anak yang riang bermain membuat bayangan tentang kampung sebagai surga. Dan akhirnya, seolah-olah kehidupan kampung bebas dari masalah-masalah sosial, ekonomi, politik dlsb.

Orang-orang kota yang asal leluhurnya dari kampung kemudian merindukan semua itu. Keindahan itu diceritakan dalam gambar, video, tulisan dan omongan-omonganya sepulang dari liburan. Ini kemudian menyamarkan semua masalah di kampung akibat modernisasi dan kapitalisme dari kota yang mesti mengeksploitasi sumber daya dari kampung.

Sebaliknya orang-orang kampung mendengar dari mereka yang Pulkam cerita-cerita tentang kota yang dipenuhi dengan fasilitas teknologi canggih, tentang tuang-tuang dan nyora-nyora hebat, tentang gedung-gedung bertingkat, tentang kesuksesan, tentang kemewahaan, tentang popularitas, dlsb. Jadilah seolah-seolah surga adanya di kota.

Tapi orang-orang kampung juga mendengar cerita dari media tentang kampung-kampung kumuh di kota yang kena gusur dengan alasan penataan kota. Dan ketika pada suatu hari mereka berkesempatan ke kota, mereka diajak makan di restoran yang menyajikan cita rasa kampung. Keluarga mereka pun tinggal di kompleks mewah tapi nama gangnya menggunakan kata "kampung".

Fenomena ini sepertinya mau menunjukkan bahwa relasi ‘kampung-kota’ pada akhirnya menjadi relatif, melampaui dikotomi yang tersimpan dalam kesadaran-kesadaran palsu kita. Di kampung-kampung ada tanda-tanda kehadiran modernitas, seperti supermarket-minimarket waralaba; orang-orang kampung semakin melek teknologi digital, politik elektroral membuat mereka juga mesti punya pengetahuan politik, dan terutama kapitalis-kapitalis di level lokal juga ada.   

Jadi, ‘pulkam’, adalah cara untuk terus mengikatkan diri dengan asal, merawat ingatan dan kekerabatan, tapi ia juga adalah negosiasi dan dialog serta mekanisme pengaturan relasi ‘kampung-kota’, yang di dalamnya juga merupakan proses pertukaran budaya. Orang-orang Kota yang mewarisi ingatan budaya ‘kampung’ kemudian menjadikan moment Pulkam untuk ‘waktu senggang’ dari kepenatangan menjalani hidup perkotaan.

Fenomena Pulkam beramai-ramai dan terjadi di mana-mana di negara ini pada setiap momen hari raya, sepertinya juga hendak mau mengatakan, bahwa Indonesia sebetulnya adalah ‘negara kampung’. (*)   


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com
 Denni Pinontoan

 082187097616

No comments :

Post a Comment