Skip to main content

Frederik Kasenda, Pelukis Terkenal Asal Remboken-Minahasa




Frederik Kasenda,  pelukis asal Remboken - Minahasa membawa bakat alamiah melukis, juga empati pada perjuangan orang-orang Cina melawan Jepang


SEORANG yang terlahir dengan bakat alamiah asal Remboken, Minahasa pernah melukis potret Chiang Kai-Shek dan Dr. Sun Yat Sen, dua tokoh revolusioner Tiongkok Modern. Dia adalah Frederik Kasenda, seorang pelukis terkenal di masa kolonial.  

Waktu itu Chiang Kai-Shek (lahir 31 Oktober 1887) adalah seorang tokoh Partai Kuomintang (KMT). Sun Yat Sen adalah tokoh pemimpin besar Tiongkok. Ia pejuang revolusioner untuk Tiongkok modern yang meninggal pada tahun 1925. Posisinya lalu digantikan oleh Chiang Kai-Shek. Rupanya, tole Minahasa ini menggagumi dua tokoh itu.   

Meski lebih terobsesi melukis lanskap, tapi selain dua tokoh besar tadi, Kasenda juga pernah melukis potret Ratu Wilhemina.

Frederik Kasenda lahir di  Remboken, Minahasa pada 31 Mei 1891. Kasenda membawa bakat alamiah. Di waktu masih masa kanak-kanak, Kasenda kecil suka menggambar di mana saja.

John Ernest Jasper  (1874 – 1945), seorang pegawai negeri yang memiliki minat pada seni dan kerajinan tangan ketika berkunjung ke Menado dan Minahasa ternyata sempat memperhatikan bakat Kasenda itu. Jasper rupanya tahu, Kasenda memiliki potensi menjadi pelukis hebat. Jasper lalu mengajaknya pergi ke Jawa untuk belajar. 
Pada tahun 1928 Jasper menjadi Gubernur Yogyakarta.

Ketika melakukan perjalanan di banyak tempat di nusantara, termasuk di wilayah Utara Sulawesi: Minahasa, Sangihe, Talaud dan sekitar sekira tahun 1904 sampai 1907 Jasper ditemani Mas Pirngadie seorang pelukis Jawa. Mas Pirngadie lahir Desember 1878 di desa Pakirangan Purbalingga Jawa Tengah. 

“Ngawi adalah tempat pertama di mana Kasenda mendirikan studionya. Dia kemudian pindah ke Kediri, ke Madiun,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad edisi Sabtu, 3 Januari 1942.
Di Ngawi, Jawa Timur Kasenda menemukan guru lukisnya. Sebelumnya dia sudah belajar beberapa bulan.   

“Ia terkenal karena karya bentang alamnya, terutama di Jawa dan Bali, sementara di samping itu beberapa cityscapes Singapura dibuatnya olehnya,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad.

Kasenda adalah pelukis yang khas. “Terkadang dia nakal, terkadang lembut, kadang romantis dan sentimental, terkadang rumit,” tulis De Indische Courant edisi 19 Maret 1935 dalam artikel berjudul Kunst of Geen Kunst?.

Karya Kasenda kelak dihargai sangat mahal. Lukisan-lukisannya menampilkan keindahan alam nusantara. Ada lukisan tentang sawah dengan padi yang menguning. Sungai dengan gunung yang tampak dari kejauhan. Ada pula pura di Bali waktu malam. Kasenda akrab dengan kehidupan orang-orang biasa dan alam yang perawan.

Tapi ia juga melukis orang-orang hebat. Juga melukis kota dengan bangunan-bangunan modern.

“Terkadang dia mengingatkan orang primitif dan terkadang kepada para futuris,” demikian komentar penulis di  De Indische Courant.

Kasenda dikagumi, tapi ia juga dikritik. Seorang yang lahir dari bakat alami, dan pergi dengan karya-karya yang mengagumkan.

Pada hari pertama tahun 1942 (1 Januari) setelah menderita sakit beberapa bulan, Frederik Kasenda meninggal di Batavia pada usia 53 tahun.

Semasa hidupnya, Kasenda adalah seorang yang memiliki empati pada perjuangan. Ia memiliki perasaan mendalam dan solidaritas bagi orang-orang Cina dalam perjuangan mereka melawan Jepang.

“Dia mengadakan pameran di Singapura beberapa tahun yang lalu, yang hasilnya seluruhnya diserahkan kepada Dana Bantuan Tiongkok. Pameran ini sukses besar,” tulis Bataviaasch Nieuwsblad. (*)


_______________________

Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com

 082187097616





Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...