Skip to main content

Manusia dan Ciptaannya Bernama Frankensteinisme

Sumber: bbc.com



"Lihat! Itu bergerak. Dia hidup. Dia hidup… DIA HIDUP! Oh… Demi Tuhan! Sekarang saya tahu bagaimana rasanya menjadi Tuhan." (Sumber kutipan: bbc.com)


ADA 600an orang, di antaranya perempuan dan anak dari Indonesia yang bergabung dengan ISIS terdesak di Suriah. Ideologi telah membawa mereka ke medan perang. Kalau tidak mati tertembak, ditawan atau mengungsi. Bagi yang masih hidup tapi terdesak oleh perang, harapannya adalah pulang ke negara asal.

Kabar ini jadi isu kontroversial di Indonesia, negara asal 600an orang itu. Menerima kepulangan mereka, tapi ada alasan takut ideologi ISIS tersebar di sini. Buru-buru menolak, pemerintah diperhadapkan dengan tanggung jawab kemanusiaan. Kedua alasan ini sangat masuk akal.

Fenomena ISIS berdampak pada munculnya sikap negatif warga Eropa terhadap pengungsi dari Timur Tengah. Di Selandia Baru, Maret tahun lalu seorang warga negara Australia bernama Breton Tarrant  menembak secara membabi buta jemaah masjid Christchurch. Sebanyak 49 orang tewas.

Padahal, bagi negara-negara itu, menerima pengungsi dari wilayah yang dilanda perang adalah komitmen kemanusiaan dan HAM. Terorisme dan keberingasan ISIS memunculkan kekhawatiran warga di negara-negara penerima pengungsi itu.

Masyarakat dunia lalu tiba-tiba dikejutkan dengan teror virus Corona dari Wuhan, Cina. Salah satu untuk mengatasi penyebaran virus Corona adalah menutup rute penerbangan dari negara itu ke negara lain. Ini sama dengan menutup masuknya turis dari negara itu. Padahal, bisnis turisme sangat menguntungkan. Data menyebutkan, jumlah wisatawan Cina secara global sebanyak 149,7 juta.

Di Indonesia, kasus penolakan pendirian rumah ibadah tetap saja terjadi. Beberapa waktu lalu masyarakat Sulawesi Utara dibuat heboh dengan aksi pengrusakan bangunan milik kelompok agama Islam oleh sekelompok orang. Alasan kelompok ini bangunan tersebut tak punya ijin sebagai tempat beribadah. Tak lama setelah itu, terdengar kabar bahwa pemerintah akan mengusahkan ijinnya.

Menyusul peristiwa itu muncul lagi berita penolakan massa atas renovasi gedung Gereja Paroki Santo Joseph di Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau. Pemerintah pusat meresponnya dengan meminta aparat kepolisian menindak tegas kelompok yang melakukan penolakan tersebut.

Di sini kelompok Islam yang ditolak, penolaknya adalah warga setempat yang membawa identitas budaya dan agama tertentu. Di sana, kelompok Kristen yang ditolak, penolaknya adalah warga setempat dengan identitas tertetu pula.

Konflik-konflik yang mengeksploitasi identas agama, etnis atau ras kerap muncul di musim-musim pemilu. Politik elektoral di era desentralisasi, dengan jaminan kebebasan menggunakan hak memilih dan dipilih bagi setiap warga usia dewasa tak justru membuat demokrasi semakin substansial. Demokrasi prosedural di era ini menghasilkan praktek industri politik. Hak suara yang ditukar dengan uang dan politik kekerabatan (berdasarkan hubungan keluarga, kolega) menghasilkan dinasti-dinasti politik.  

Politik lalu tidak lagi menjadi cara. Politik sebagai sistem pengelolaan kekuasaan kini menjadi tujuan. Orang-orang bersaing untuk menjadi penguasa politik, tapi metamorfosis dari itu, politik lalu menjadi semacam kekuatan yang tka terkendalikan. 

***

Ideologi keagamaan yang diindoktrinasi sedemkian rupa membuat orang lebih memilih perang dari pada hidup biasa dalam masyarakat yang relatif damai. Padahal, dalam sejarah perang selalu berakhir kehancuran banyak aspek dalam kehidupan.

Tapi, ideologi keagamaan apapun tak muncul begitu saja. Ia punya sejarah. Dapat saja ideologi yang membuat orang seolah menjadi tidak waras adalah akumulasi dari kekalahan-kekalahan yang diderita dalam sejarah yang panjang. Ideologi balas dendam muncul dari ketidakmampuan menghadapi truma kekalahan atau kehancuran itu. Dari puing-puing kehancuran muncullah manusia-manusia mutan bertubuhkan senjata yang di dalamnya berdiam roh balas dendam dengan nalar yang rusak.

Lalu, lahirlah perlawanan membabibuta. Ideologi direproduksi, disebarluaskan dan ia lalu mencabut rasa cinta, kasih sayang, kekerabatan dan kewarasan lebih banyak orang lagi. Jadilah bagi orang-orang ini, pergi ke medan perang dengan tujuan yang tak jelas dan entah siapa yang akan dilawan adalah ibadah.

Ideologi yang lahir dari konflik yang tak dapat diselesaikan oleh pengetahuan dan teknologi modern ini, selain melahirkan manusia-manusia mutan, ia kemudian membawa peradaban pada dilema. Situasi di mana hampir tidak ada bentuk pilihan atau pijakan pilihan.

Termutakhir adalah pilihan sulit antara ‘keamanan’ banyak orang dengan hal ‘kemanusiaan’ bagi sekelompok orang. Pada hal ini, narasi modernitas yaitu ‘kemanusiaan’ didekontruksi. Orang-orang cenderung kembali ke narasi primitif, yaitu keamanan. Bukan kita yang salah. Dosa-dosa peradaban telah membawa kita pada pilihan sulit.

Ketika melancong adalah bisnis yang menggiurkan dan ia salah satu yang membuat negara-negara saling terintegrasi sebagai masyarakat global, maka virus dari satu negara tidak mudah diatasi dengan cara memutuskan sementara jalur penerbangan. Turisme sebagai industri modern telah terlanjur membentuk struktur ekonomi dan politik negara-negara global.

Virus lalu tak hanya sekadar isu kesehatan. Ia terutama adalah masalah politik dan ekonomi global. Orang-orang kebanyakan dengan pikiran awamnya, mungkin lebih memilih rute penerbangan dihentikkan sementara, namun tidak bagi elit negara. Pada hal lain, situasi makin sulit karena teknologi informasi yang menyebarkan teks, gambar atau video tentang virus itu hadir setiap detik dalam genggaman tangan orang-orang. Seolah tidak ada lagi pihak yang paling berhak dan dipercaya atas kebenaran informasi tentang itu.

Pada hal inilah, pilihan menjadi sulit oleh karena salah satunya seolah tidak ada lagi pijakan yang dipercayai untuk memutuskan pilihan. Akibatnya, orang-orang berusaha mempertahankan pilihannya yang kabur dengan prasangka. Kasus-kasus penolakan pendirian rumah ibadah adalah fenomena dari ketiadaan pijakan kebenaran. Inilah yang melahirkan prasangka dan polarisasi dalam masyarakat. Fenomena massa berindentitaskan agama tertentu yang turun jalan menolak kelompok lain jadi rujukan untuk melakukan aksi balas dendam di tempat yang berbeda. Reaksi begitu cepat. Seolah dengan penolakan maka identitas yang disangka milik sendiri segera tegak dan unggul.

Maka, lahirlah fenomena penolakan terhadap apa yang sebetulnya diperjuangkan. Kelompok tertentu menolak kelompok yang lain. Kelompok yang lain menuntut negara menjamin kebebasan. Tapi begitu ia dituntut mesti konsisten dengan itu, yang terjadi justru adalah reaksi yang sama dari apa yang ditentangnya dilakukan kelompok lain.

Kita rupanya sedang berada pada situasi yang hampir tidak ada pilihan. Ini akumulasi dari konflik-konflik ideologi, politik dan ekonomi sebelum kita tiba di masa ini. Dulu kita berharap kebebasan politik. Rezim mesti berganti secara demokratis. Setiap orang mesti memiliki hak politik: memilih dan dipilih. Tapi, ketika harapan itu benar-benar terwujud, hasilnya adalah politik dinasti, rezim-rezim politik berdasarkan hubungan keluarga atau kekerabatan muncul di mana-mana. Ini fenomena kebebasan politik yang diharapkan dari masa otoriterianisme.

Setiap orang sudah memperoleh hak dan kebebasan memilihnya. Cuma saja, pilihan seolah tidak ada. Memilih A, sama saja memilih B. Apa arti hak dan kebebasan jika tidak ada yang dapat dipilih?

***
Ideologi dan semua sistem itu, politik, ekonomi adalah ciptaan manusia. Mulanya ia untuk ‘dipakai’ menunjang maksud mengembangkan kehidupan. Tapi, pada perkembangannya termutakhir, ciptaan manusia itu kini telah menjadi ‘monster’ yang memiliki tubuh, roh dan nalarnya sendiri. Apa yang dapat kita katakan dengan testimoni seorang penjagal, yang dengan dengan bangga mengaku telah memenggal kepala ratusan orang, memerkosa ratusan perempuan? Ideologi telah menubuh pada manusia, menguasai dan mengendalikannya. Ideologi itu benar-benar telah hidup dan menjadi monster.

Sistem politik-ekonomi global juga telah membentuk strukturnya sendiri. Negara sebagai institusi politik temuan di era modern yang mulanya adalah masyarakat besar manusia kini sedang dilindas oleh kapitalisme global. Negara A yang sakit, tapi negara B,C, D, dst ikutan-ikutan harus sakit. Bukan hanya karena bahaya virus misalnya, tapi karena sistem dan struktur bernama ‘pasar’ itu telah menjadi ‘makhluk’, ia memiliki tubuh sendiri, roh dan nalarnya sendiri.

Politik di negara-negara bekas jajahan, macam Indonesia, yang katanya merupakan pemutakhiran dari politik primitif atau alifuru yaitu demokrasi, juga sedang menjadi ‘makhluk ganas’. Apa yang dapat kita refleksikan dari seorang atau banyak orang yang kecanduan dengan politik elektroral. Setiap pemilu, pilkada atau pilcaleg dia ada, saudara atau kerabat-kerabatnya ada di kertas suara? Politik bukan lagi cara, tapi kekuasaan telah menjadi sesembahannya. Tak peduli nilai-nilai moral. Tuhan pun dapat dipakai sebagai alat peraga kampanye.

Jadinya, semua yang mulanya ada ciptaan manusia itu kini telah menjadi ‘makhluk’. Ia memiliki tubuh dengan struktur-struktur yang kuat, memiliki roh dan nalarnya sendiri. Manusia, yang dulunya adalah pencipta, tuan atas semua itu kini adalah budak kerja paksa ideologi dan sistem-sistem itu. Tubuh, roh dan nalar manusia telah dirampas oleh ciptaanya.

Inilah era peradaban Frankensteinisme. Pencipta tak lagi berkuasa atas ciptaanya. Tak ada lagi kuasa si manusia mengendalikan ciptaanya. Sebab, ciptaan itu telah menjadi monster hidup. Menjadi ‘tuhan’ baru atas kehidupannya. Dan monster itu dapat benar-benar berkuasa berkat teknologi yang diciptakan oleh manusia. (*)



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com

 082187097616

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...