Skip to main content

Tuhan ke Mana?




AGAMA-agama dan ruang-ruang sosial sepi. Virus Corona menyerang manusia, masyarakat dan peradaban. Hal keagamaan dan kerutinan masyarakat sejenak berhenti. Peradaban memasuki masa hening.

Orang-orang dunia banyak yang terkena penyakit Covid-19. Banyak yang meninggal. Virus Corona menyerang peradaban yang telah dibangun lama. Masyarakat dunia cemas, panik, takut.  

Negara-negara sedunia punya prosedur bersama secara global menghadapi virus ini. Agar virus tidak menyebar, menurut prosedur global itu, masyarakat mesti menjalankan ‘social distancing’. Bentuknya antara lain, mengurangi atau mendiadakan pertemuan-pertemuan dan jabat tangan.

Nah, ini soal bagi orang-orang beragama. Ritual mesti melibatkan banyak orang. Ibadah di gereja Minggu, Sholat Jum’at, sembayang di Klenteng, di Pura, dlsb, dibatasi atau dianjurkan agar tidak dulu dilakukan. Lalu, jabat tangan yang sudah dianggap bagian dari tindakan keaagamaan juga untuk sementara tidak diperbolehkan. Soal terakhir ini masih perlu dicek, di masyatakat kita kapan tradisi berjabatan tangan bernilai religius.

Demi keselamatan bersama, semua yang merupakan tindakan simbolik keagamaan itu mesti dibatasi dan ditiadakan – untuk sementara tentunya.

Hal yang praktis sosial-medis ini ternyata jadi soal besar dan serius bagi sementara orang beragama. Alasannya, iman yang teguh kepada Tuhan Yang Kuasa adalah imunitas terkuat melawan virus dan apa kuasa saya yang dapat menyebabkan kematian. Jadi, tidak perlulah semua itu dibatasi atau ditiadakan. Seolah agama akan segera mati ketika semua tindakan simbolik itu dibatasi atau ditiadakan.

Tapi, seperti juga ketika terjadi bencana yang lain, orang-orang  bertanya pula, “Tuhan ke mana, masakan tidak turun dari surga lalu bertindak memusnakan virus ini?”  “Ah, Tuhan mungkin sudah meninggalkan kehidupan kita.”

Pada situasi ketika manusia diperhadapkan dengan kekuatan yang mengatasi kemampuan fisik, nalar, pengetahuan dan teknologinya yang membuat dia merasa tidak berdaya, respon religius yang muncul paling tidak dalam dua bentuk yang ekstrim ini. Pertama, atas nama iman menjadi fatalistis, pasrah, yaitu berdiam diri, pasif karena yakin Tuhan pasti akan turun tangan menolong memberi kekuatan dan imunitas. Kedua, marah karena seolah-olah tindakan-tindakan religiusnya selama ini sia-sia. Bukankah menurut dokrin agama, orang yang beriman pasti akan dibela atau dijaga oleh Tuhan yang diimani itu?

Setelah semua benar-benar terjadi, akhirnya dua sikap religius ekstrim ini bertemu dalam pertanyaan ini: “Ke mana Tuhan?” “Mengapa Dia yang Maha Kasih itu mendatangkan bencana?”

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mucul dari doktrin yang menganggap bahwa Tuhan itu ibarat kepala pasukan pemadam kebakaran, yang petugasnya adalah malaikat-malaikat. Agama, dalam doktrin itu, adalah unit atau dinas pemadam kebakaran.

Doktrin inilah yang mengajarkan bahwa, bencana alam, wabah penyakit atau keguncangan sosial yang menyebabkan kepanikan dan korban massal adalah kutukan, azab, sebagai hukuman atau kehendak dari Tuhan. Maka, Tuhanlah yang bertanggung jawab atas semua penderitaan yang dialami oleh manusia. Tapi, bukankah Dia Maha Adil, Maha Kasih dan Maha Pengampun? Tidaklah mungkin Tuhan mendatangkan bencana, penderitaan dan kematian massal.

Untuk memahami ini, kira-kira sederhananya begini. Ketika terjadi kebakaran, maka tidak mungkin pihak yang harus disalahkan adalah kepala, petugas dan dinas atau unit pemadam kebakaran. Rumah kita yang terbakar, mengapa yang disalahkan pemadam kebakaran? Sementara, kita meyakini, bahwa pihak pemadam kebakaranlah yang memiliki sumber daya dan kemampuan memadamkan kebakaran.

Mengapa kita tidak bertanya kepada diri sendiri. Kebakaran mungkin karena kita lupa mematikan kompor. Tidak rutin mengecek instalasi listrik. Atau, lalai sehingga mencabut kabel setrika dari colokan listrik. Kemungkinan lain, mungkin juga karena ada orang jahat yang telah membakar rumah kita. Pokoknya, bukan karena pemadam kebakaran.

Demikian yang benar adalah, pada setiap peristiwa kebakaran, yang dilakukan pertama-tama adalah berusaha memadamkan api, orang-orang tetangga bertetangga bahu membahu memdamkan api, dan baru kemudian menghubungi pemadam kebakaran. Pada peristiwa darurat semacam ini, orang-orang tidak pertama-tama mencari siapa yang menyulut api. Naluri dan nalarlah yang menggerakkan orang-orang untuk pertama-tama menyelamatkan diri, melakukan upaya mengatasi masalah, masing-masing orang bergerak menyatakan solidaritas dan lalu meminta bantuan.

Baru setelah bencana itu usai, orang-orang berefleksi. Secara religius, pihak korban biasanya bertanya ke dirinya, menyesali tindakan ceroboh yang telah menyebabkan bencana itu dan menerima itu sebagai kenyataan tapi kemudian membangun komitmen untuk membaharui pola hidup. Secara emosional, mencari pihak lain untuk disalahkan atau menayalakan diri kemudian menganggap kehidupan ini sungguh sia-sia. Secara frustrasi, dua hal, yaitu pertama, menyalahkan pihak yang dianggap memiliki otoritas dan sumber daya yang terlambat atau tidak melakukan upaya. Kedua, menolak eksistensi pihak itu karena menganggap mereka tidak berguna.

Jadi, Tuhan tidak ke mana-mana di situasi pandemi global virus corona ini. Tuhan ada dan hadir. Tapi, bukan karena keyakinan itu, lalu bersikap pasrah untuk tidak melakukan upaya melawan virus corona; mengabaikan anjuran untuk menjaga jarak, tetap berjabatan tangan karena menganggap Tuhan pasti menolong setiap orang yang beriman kepadanya. Dengan membatasi dan meniadakan pertemuan-pertemuan dan kontak-kontak fisik yang beberapa di antaranya dianggap sebagai tindakan religius bukan berarti Tuhan sedang disingkirkan. Bukan pula berarti iman tidak lagi berguna.

Iman dalam situasi ini mungkin dapat dirumuskan dalam pemahaman, bahwaTuhan sedang bekerja melampaui tradisi dan simbol-simbol agama. Pusat-pusat ritual lokal, nasional atau global menjadi sepi. Itu karena Tuhan sedang bekerja di banyak tempat dan di banyak pihak. Tuhan sedang melampaui klaim-klaim tradisi, doktrin, simbol dan tafsir agama-agama.

Tuhan sedang bekerja bersama para medis yang berjuang merawat pasien positif corona di rumah-rumah sakit, jurnalis yang meliput perkembangan wabah ini, otoritas yang sedang berusaha melakukan segala upaya untuk kebijakan mengatasi penyebaran, dan semua pihak yang terkait dengan upaya melawan wabah global ini. 

Dalam hal ini, manusia menjumpai Tuhan  dalam kepanikan, kecemasan, keadaan sakit di ruang-ruang isolasi dan dari rumah bersama keluarga. Agama (-agama) benar-benar menjadi urusan privat, sebagaimana sejatinya ia ada. Dan Tuhan hadir dalam kerapuhan umat manusia dan peradabannya. (dennipinontoan, 18/03/2020)
   

_______________________

Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui:
dpinontoan6@gmail.com
 082187097616 




Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...