Skip to main content

Wabah Virus Cacar di Minahasa tahun 1908 Rengut 230 Nyawa


Pelabuhan Amurang awal abad 20


PENYAKIT cacar masih membahayakan orang-orang Minahasa hingga awal abad 20. Wabah penyakit terparah terjadi pada pertengahan abad 19. Populasi Minahasa menurun drastis. Sejak beberapa tahun sebelumnya, pemerintah telah berupaya melakukan vaksinasi. Tapi itu ternyata belum dapat menahan penyebaran virus cacar di Minahasa. 

“Pada bulan Desember 1907 - kasus cacar pertama ditemukan di Romoöng (Amurang),” tulis Fred H. Wuller, seorang dokter Belanda dalam Is wettelijke Vaccinatie-en Revaccinatiedwang noodzakelijk, gewenscht en mogelijk? (1915).

Wuller datang ke Keresidenan Manado untuk melakukan upaya pemberantasan penyakit tersebut. Dia juga melakukan penyelidikan terkait penyebab dan tingkat penyebaran wabah tersebut.

Dalam catatannya, Wuller mengatakan, dia lumayan leluasa melakukan pekerjaannya karena kepala di Amurang menyambut dengan ramah dan mendukung pekerjaannya.

Wuller menulis, pada tanggal 1 Januari 1908, jumlah total orang sakit di negeri Sendangan dan Talikuran masing-masing adalah 16 orang 15 dan 1. Dua negeri tersebut berada distrik Romoong, afdeelingen Amurang. Di Rumoong berdiam kepala distrik yang disebut Mayor.

“Setibanya saya di Amurang pada 8 Januari  jumlah penderita cacar mencapai masing-masing 24 dan 5 atau jumlah total 29 orang,” tulis Wuller.

Menurut informasi yang diterima dari kepala distrik atau mayor (districtshoofd), awal mula wabah variola atau virus cacar di Romoöng berasal dari seorang perempuan yang datang dengan menumpang perahu dari daerah yang terdampak wabah pada 4 November 1907. Diduga kuat, perempuan di tempat itu telah terkena virus. 

Wuller menulis, perempuan yang datang dari daerah wabah juga membawa anaknya. Diduga kuat, si anak itu juga sudah terjangkit virus.

“Anak itu, yang telah bersamanya, menerima gejala penyakit pertama tiga hari setelah tiba di Sendangan,” tulis Wuller. 

Pada 29 Desember 1907, petugas vaksin dikirim dari Romoöng oleh kepala distrik setempat untuk memastikan apakah para tersangka benar-benar menderita cacar. Dari hasil pemeriksaan petugas dipastikan bahwa keduanya telah terkena virus cacar. 

Berdasarkan itu maka kemudian ditetapkan bahwa jumlah kasus cacar sebanyak 6. Penularan terjadi karena antara lain, menurut Wuller, orang-orang di dua negeri itu tidak tahu tentang jenis penyakit ini.

“Setelah mendengar ada orang yang sakit terkena wabah, orang-orang datang mengunjunginya,” tulis Wuller.

Upaya mengantisipasi penyebaran wabah waktu itu adalah dengan memberi tanda hitam pada rumah-rumah yang terdapat anggota keluarga yang terkena cacar. Maksudnya untuk mengisolasi yang terkena cacar agar tidak menjangkiti orang lain.

Dari distrik Romoöng, virus lalu menyebar ke distrik Tombasian, yaitu negeri Malikoe. Seorang dari Romoöng yang pergi ke sana untuk urusan keluarga. Gejala terinfeksi muncul dua hari kemudian.

Untuk mengisolasi para penderita, sebuah gubuk sementara dibangun. Beberapa dari mereka yang telah pulih kemudian ditempatkan di sebuah bangunan terpisah. 
Wuller menulis, upaya untuk mencegah agar penyebaran tidak meluas, dan pula menghentikan wabah itu, caranya adalah bekerjasama dengan Mayor Romoong. Sang mayor sangat aktif bekerjasama dengan dia.

“Dia (mayor – red) mengumumkan bahwa, mengingat kematian cacar, sangat penting untuk mengetahui seberapa besar kekuatan populasi sebenarnya. Untuk itu, semua orang, besar dan kecil, harus hadir pada 4 Maret 1908 pukul 6 pagi di depan kantor distrik. Orang yang mengabaikan ini karena kelalaian, keengganan atau sebaliknya akan dihukum,” tulis Wuller.

Maksud pengumuman itu sebetulnya adalah untuk memberikan vaksin kepada mereka. Vaksinasi dilakukan mulai pukul 6 pagi hingga 12 malam.  Sebanyak 552 orang (tua dan muda) memperoleh vaksina. Warga yang datang menerima vaksin sangat banyak. Hampir tidak ada yang menolak.  

Vaksinasi telah dilakukan di Minahasa sejak kira-kira tahun 1860-an. Tapi, menurut Wuller, orang-orang di Rummong kebanyakan hanya divaksin sekali semasa kanak-kanak. Oleh sebab itu banyak di antara mereka yang tidak lagi kebal.  

Selain menggalakkan lagi vaksinasi, pemerintah juga menggiatkan hidup sehat bagi penduduk. Lalu rumah-rumah, perabot, pakaian, dan lain-lain disterilkan dari virus dengan menggunakan larutan sublimate, carbol, dan air mendidih. Hidup disiplin juga digiatkan, antara lain patuh pada instruksi para pekerja medis agar anggota keluarga yang sehat tidak sembarangan berhubungan pasien.

“Kerabat yang belum divaksinasi ... selalu berusaha untuk lewat jalan tersembunyi pergi  ke rumah sakit untuk membawa semacam makanan ringan karena kasihan, tidak tahu bahwa mereka menginfeksi diri mereka sendiri dan menjadi sumber infeksi baru ketika mereka kembali ke kampung,” tulis Wuller.

Masalah yang ditemukan pada upaya pemberantasan wabah cacar ini, bahwa berapa penduduk yang sedang sakit menolak untuk diisolasi dalam waktu yang lama melarikan diri ke kebun. Demikian juga beberapa dari mereka yang ketika didiagnosa positif terkena virus, juga ada yang melarikan diri. Karena itu, tulis Wuller tidak jarang orang-orang yang melarikan diri itu ditemukan di kebun dalam keadaan meninggal.  

Jumlah penduduk di distrik Rumoong yang meninggal akibat virus cacar, yaitu masing-masing di negeri Talikuran, Sendangan, Serani-Kawangkoan periode 1 sampai 31 Januari 1908 sebanyak 19 orang. Periode bulan Februari, ditambah negeri negeri Maliku di distrik Tombasian total yang meninggal sebanyak 8 orang. Periode Maret,  korban meninggal untuk empat negeri itu tinggal satu orang. 

Sampai Agustus 1908, virus cacar sudah meluas meliputi sebagian besar afdelingen, distrik dan negeri se-Minahasa. Data yang dikutip Wuller menyebut, total keseluruhan korban meninggal akibat wabah cacar di Minahasa sampai Agustus 1908 sebanyak 230 orang.(*)



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com

 082187097616 

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...