Skip to main content

Alfred Russel Wallace dan Gempa di Rurukan


Alfred Russel Wallace adalah seorang naturalis asal Inggris yang datang ke kepulauan Melayu pada pertengahan abad 19. Di kepulauan ini ia meneliti dan mengkoleksi jenis-jenis hewan. Setelah berkeliling di Timor, Kupang ia datang ke Manado dan Minahasa. 

Wallace tiba di Manado pada 10 Juni 1859. “Kota kecil Manadoa dalah salah satu kota yang terindah di Timur,” tulis Wallace dalam buku laporan perjalanannya berjudul  The Malay Archipelago yang terbit tahun 1869. Dalam edisi bahasa Indonesia, buku ini antara lain diterbitkan oleh Indoliterasi pada tahun 2015. 

Dari Manado, Wallace menuju ke Lotta, kemudian ke Tondano dan Tomohon. Dalam perjalanan, Wallace terkagum-kagum dengan keindahan, kebersihan dan kerapihan desa-desa di Minahasa. 

“Aku telah mendengar banyak tentang keindahan di negeri ini, tetapi kenyataannya jauh lebih indah dari yang aku bayangkan,” tulis Wallace.

Dari Tomohon, Wallace menuju ke Rurukan sebuah kampung yang berada di ketinggian sekitar 4000 meter di atas laut. “Desa ini baru dibentuk sekitar sepuluh tahun yang lalu, dan cukup rapi dan tenang, dan sangat indah,” tulisnya. Wallace tinggal di Rurukan beberapa waktu lamanya.

Pada suatu malam di tanggal 29 Juni tahun 1859, tepatnya pukul delapan seperempat terjadi gempa dahsyat di Rurukan. “Saat aku sedang duduk membaca, rumah mulai bergetar lembut, tetapi lama kelamaan guncangannya menjadi kuat,” Wallace menggambarkan suasana mulai gempa.

Wallace mengatakan, awalnya  dia menikmati sensasi gempa itu selama beberapa detik. Namun, dalam waktu kurang dari setengah menit gempa itu menjadi makin kuat dan mengguncang tubuhnya yang duduk di kursi. Rumah kemudian bergoyang-goyang, berderit seolah-olah akan hancur.

“Tanah goyang! Tanah Goyang!” orang-orang berteriak ketakutan.

Semua orang bergegas keluar rumah. Perempuan menjerit-jerit. Anak-anak menangis. Wallace pun berpikir untuk segera keluar dari rumah. Namun, ketika hendak berdiri dari kursi, kepalanya terasa pusing, langkah-langkahnya gontai dan hampir tidak bisa berjalan.

“Guncangan berlanjut sekitar satu menit, selama saat itu aku merasa seolah-olah aku selalu terombang-ambing dan seperti mabuk laut,” kata Wallace.

Ketika kembali ke rumah lagi, Wallace melihat lampu dan botol arak berjatuhan. Kaca pada lampu telah keluar dari tempatnya. Dia berpikir, dengan guncangan yang sekuat itu, gempat tersebut dapat merobohkan dinding batu, cerobong asap, dan menara gereja jika itu terjadi di tempat asalnya, Inggris. Tapi, itu tidak terjadi pada rumah-rumah kayu di Rurukan.

“Tetapi karena rumah di sini semuanya rendah, dan dibangun dari kayu yang kuat, rumah itu mustahil untuk mengalami kerusakan, kecuali dengan goncangan yang benar-benar mampu menghancurkan kota di Eropa,” tulis Wallace.

Sepuluh tahun sebelumnya, seperti kata orang-orang Rurukan kepada Wallace, mereka pernah pula mengalami guncangan yang lebih hebat. Akibatnya banyak rumah yang hancur dan beberapa orang tewas.

Setelah gempa dahsyat malam itu, selama dua hari berikutnya Rurukan masih mengalami gempa dengan interval yang pendek.

“Sensasi yang dihasilkan oleh sebuah gempa bumi tidak akan pernah dilupakan”, ujar Wallace.
  


Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...