Skip to main content

Melawan Dengan Sastra: Sepenggal Kisah Veronica Franco


“Aku mengaku memilih memjadi pelacur yang bebas, daripada menjadi istri yang terpenjara,” sebuah kalimat pembelaan keluar dari mulut Veronica Franco di sidang Inkuisisi kota Venesia.

Kalimat itu adalah salah satu cuplikan dialog dalam film Dangerous Beauty (1998) yang dirilis dengan judul A Destiny of Her Own. Film ini diangkat dari buku The Honest Courtesan, karya Margaret F. Rosenthal yang menceritakan tentang kehidupan seorang perempuan dari Fenisia bernama Veronica Franco. Kisah Veronica benar-benar ada. Seorang perempuan cantik, pinter dan pandai berpuisi di Venesia abad ke-16.

Venesia, sebuah kota modern di abad 16. Pelacuran menjadi pilihan untuk bertahan hidup di tengah feodalisme kaum bangsawan. 


“Cinta bukan soal hati, tapi politik,” kata Marco seorang pemuda dari keluarga berkelas yang jatuh cinta kepada Veronica. 

Di kota ini pelacur juga terbagi kelas: pertama, yang disebut dengan cortigiana onesta atau pelacur intelektual, dan yang kedua cortigiana di LUME, pelacur kelas bawah. Pelacur kelas kedua ini sering melakukan prakteknya di dekat Jembatan Rialto. Veronica Franco masuk di pelacur kelas pertama, yang dicari-cari dan dikagumi oleh laki-laki dari kelas bangsawan. Tapi, Veronica memiliki beberapa kelebihan di banding sejawatnya yang lain. Selain cantik, cerdas, ia juga berbakat di bidang sastra dan seni.

Di usia muda, Veronica belajar seni dari ibunya (yang juga bekas cortigiana onesta). Ibunya melatih dia memgembakan bakat-bakat alamiah dan kemampuan untuk memperoleh pernikahan yang menguntungkan secara finansial. Tak heran, ketika memilih menjadi pelacur kelas atas, Veronica dapat memikat hati banyak lelaki bangsawan di Venesia. Bahkan ia pernah berhubungan dekat dengan Henry III, Raja Perancis, meski hanya sesaat.

Veronica Franco menulis dua buku puisi: Terze terbit pertama kali tahun 1575 dan Lettere Familiari pada 1580. Dia mengumpulkan karya-karya penulis terkemuka lainnya ke dalam antologi. Sukses dengan karya-karya sastranya itu, Veronica juga mendirikan sebuah badan amal untuk pelacur dan anak-anak mereka.

Veronica mungkin mewakili banyak perempuan yang berprofesi sebagai pelacur sebagai cara untuk melawan kerasnya hidup akibat struktur-struktur yang tidak adil dalam masyarakat. Pilihan yang terpaksa ketika perempuan berada di bawah kuasa kaum feodalis.

Pada tahun 1575, ketika wabah melanda kota, Veronica terpaksa meninggalkan Venesia. Ia juga kehilangan banyak kekayaannya ketika rumah dan harta bendanya dijarah. Dia kembali pada tahun 1577 di kota itu. Di kota itu ia diadili dalam sidang Inkuisisi dengan tuduhan ia telah melakukan kejahatan sebagai seorang penyihir. Namun dengan penuh keyakinan, ia membela diri. Tuduhan-tuduhan terhadap dirinyapun akhirnya dibatalkan. Kemungkinan, hidup Veronica di masa-masa jelang tutup usia dalam keadaan yang sangat sederhana, kalau tidak disebut miskin.

Film “A Destiny of Her Own' menceritakan kehidupan Veronica yang penuh gejolak. Cinta, nafsu, kekuasaan politik dan agama, meminggirkan banyak kaum perempuan di Venesia waktu itu. Namun, lewat puisi-puisinya yang sering dibaca di hadapan para lelaki bangsawan, dia menyindir feodalisme yang dilegitimasi oleh agama tersebut.


Perempuan, dalam dominasi kaum bangsawan di Venesia dihargai seperti barang untuk diperdagangkan. Cinta dan harga diri serta hak-hak hidup harus takluk di bawah sistem kelas dan kekuasaan patriakhi. Dan, Veronica melawan dengan caranya sendiri! Ini kisah tentang perempuan yang tak mau tunduk pada kuasa ideologi, teologi dan sistem kelas yang hegemonik!

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...