Skip to main content

Motoling di Tahun 1860-an dan Pakhuismeester Jacob

Salah satu kampung di Minahasa tempo dulu.
Sumber: Wereldculturen

NEGERI ini mempunyai beberapa jalan yang bersegi lurus, yang terletak secara paralel; pekarangan-pekarangan belum lagi dibagi-bagi dan belum terpisah satu dari yang lain,” demikian Pdt. Nicolaus Graafland dalam bukunya De Minahasa yang terbit tahun 1869 menggambarkan keadaan negeri Motoling yang dia kunjungi pada November 1860. 

Negeri Motoling di masa itu masuk dalam wilayah administrasi Afdeeling Amurang, distrik Tompaso. Letaknya sekira sembilan pal dari Kumelembuai. Hitungannya, 1 pal sama dengan 1,5 km. Jumlah penduduk negeri Motoling di masa itu, seperti dicatat Graafland pada bukunya Inilah Kitab Batja akan Tanah Minahasa, terbit tahun 1863, sebanyak 254 orang. Di negeri ini berdiri satu gedung gereja dan satu gudung kopi.

Graafland melihat suatu pemandangan baik mengenai rumah milik Hukum Tua di Motoling. Namun, menurut Graafland, pemandangan itu berbeda dengan gudang kopi, sekolah dan gedung gereja yang sudah tua serta lapuk.

“Akan tetapi rumah negeri itu – atau mungkin rumahnya Hukum Tua – yang terlihat lurus di depan kita, memberikan suatu pemandangan baik sekali sebab terletak di ujung jalan utama yang lebar,” tulis Graafland dalam De Minahasa.

Dengan adanya gudang kopi dan perkebunan kopi, maka di Motoling juga berdiam seorang kepala gudang kopi atau pakhuismeester. Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie tahun  1866 menuliskan, sebagai kepala gudang kopi Motoling adalah A. Lenzun. Sementara untuk tahun 1867, 1868 dan 1870 nama yang disebut adalah  J.E. Jacob.

Sayang sekali tidak disebut nama lengkap kepala gudang kopi J.E. Jacob ini. Apakah dia ini adalah pembawa marga Jacob di Motoling seperti yang sering dituturkan oleh tua-tua keluarga Jacob kepada keturunan mereka?  

Di tempat pekuburan tua Motoling terdapat beberapa makam yang yang pada batu nisannya tertulis fam Jacob. Dua makam yang saling berdekatan, pada prasastinya tertulis nama J.E. Jacob dan W. Runtuwene yang dipastikan merekalah keluarga Jacob-Runtuwene leluhur dari keluarga Jacob di Motoling.

Pada makam itu tertulis bahwa J.E. Jacob meninggal pada 22 Februari 1929 pada usia 90 tahun. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa J.E. Jacob lahir pada tahun 1939. Lalu, istrinya Runtuwene disebutkan meninggal pada tahun 1914 pada usia 69 tahun. Berarti ia lahir sekitar tahun 1845. 

Pada beberapa keluarga bermarga Jacob di Motoling sering menyebut nama ‘pakois’ – penyebutan populer oleh masyarakat setempat untuk pakhuismeester -  sebagai leluhur mereka yang katanya adalah seorang borgo (burger) atau keturunan Portugis asal Tanawangko. Diceritakan pula, bahwa leluhur mereka ini kemudian menikah dengan seorang perempuan bermarga Runtuwene asal Amurang.

Hubungannya semakin jelas dengan keberadaan sebuah kompleks pemukiman di ujung desa Motoling Dua sekarang ini. Lokasinya berada di jalan menuju ke arah ke desa Raanan Baru, yang sejak beberapa tahun lalu di sering disebut ‘tanah Jacob’. Sebutan ini berawal ketika rukun keluarga besar Jacob berhasil mengambil-alih kembali tanah itu melalui proses pengadilan.  

Dalam kunjungannya di bulan November tahun 1860 itu, sekembali dari Pontak, Graafland singgah lagi di Motoling. Dia menyebut adanya perkebunan kopi dekat gunung Lolombulan. Dekat mungkin dalam arti dari perkebunan itu tampak jelas gunung Lolombulan. Sangat mungkin yang Graafland maksud adalah perkebunan kopi yang terletak di bagian yang mengarah ke gunung Lolombulan atau arah ke desa Raanan. Itulah yang di kemudian hari ketika menjadi milik keluarga besar keturunan J.E. Jacob – kepala  gudang kopi di Motoling pada tahun 1860-an – secara populer dikenal dengan nama ‘tanah Jacob’.





__________ 
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis. 

Makase banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...