ARTEFAK kubur batu leluhur Minahasa, waruga di desa Kuwil dan Kawangkoan, Kec. Kalawat, Kab. Minahasa
Utara, Sulawesi Utara mengalami kerusahkan dan direlokasi dari tempat berdiri
awal sebagai dampak pembangunan bendungan di lokasi itu. Bendungan bernilai Rp.
1.44 triliun ini adalah satu dari enam proyek besar Proyek Strategis Nasional
di Sulawesi Utara. Lima proyek besar lainnya adalah: Tol Manado-Bitung; , jalan penghubung
Manado-Gotontalo; Bitung International
Hub Port; Kawasan ekonomi khusus (KEK) Kota Bitung/Kabupaten Minahasa Utara;
Bendungan Lolak di Kab. Bolaang Mongondow.
Waruga adalah warisan leluhur yang sangat berarti bagi
peradaban Minahasa. Banyak hal yang ia warisakan dari generasi ke generasi:
kearifan, seni, spiritualitas dan religiusitas yang membentuk kosmologi
pengetahuan Minahasa. Sehingga, dapatlah dikatakan bahwa waruga adalah salah
satu penanda identitas Minahasa.
Sepintas ia hanya semacam 'benda' buatan manusia dari masa
lalu. Tapi, seperti orang-orang Minahasa modern sekarang ini membangun makam
dengan semen dan marmer karena kosmologi tertentu yang mendasarinya, demikian
juga dengan waruga di masa leluhur. Ia menjadi penanda tentang apa yang
dipikirkan dan diyakini oleh masyarakat waktu itu.
Waruga lebih dari sekadar 'benda'. Ketika sejak dari awal ia
dibangun pada sebuah tempat, maka waruga kemudian menjadi bagian tak
terpisahkan dengan ruang hidup yang lebih luas. Di setiap tempat terdapat
waruga, pastilah kita akan menemukan kisah dan cerita tentang kehidupan
orang-orang di situ. Waruga menjadi penanda tentang suatu ruang dan makna-makna
kehidupan.
***
Pembangunan berpijak di atas paham kemajuan ala modernitas.
Pembangunan datang dengan paham dan kosmologi rasionalisme yang tidak peduli
dengan apa yang orang-orang setempat yakini secara mistis. Keyakinan ini,
menurut modernitas adalah tahayulisme atau irasionalisme.
Pembangunan adalah untuk perkembangan. Sumber daya alam
harus dikontrol dan dikendalikan untuk menunjang perkembangan masyarakat
konsumtif, juga untuk memenuhi hasrat melipatkangandakan kapital. Masyarakat
yang berkembang ke arah modern penting bagi pasar.
Manusia bertambah banyak secara populasi maka dengan itu ia
membutuhkan makin banyak air untuk mandi, masak, dan cuci, misalnya. Tapi, air
tidak hanya untuk kebutuhan dasar manusia. Pabrik, kantor-kantor, pusat-pusat
perbelanjaan dan lain sebagainya yang besar, megah dan modern juga membutuhkan air.
Kebutuhan air mesin-mesin kapital ini bahkan lebih besar dibanding kebutuhan
dasar manusia.
Demi kemajuan dan perkembangan ini, pembangunan bendungan
sepertinya 'terpaksa' harus mengubah tatanan alam, struktur tanah dan 'warisan
budaya' yang menyatu dengannya. Masyarakat modern adalah masyarakat yang telah
dipisahkan dengan alam dan relasi-relasi mistisnya dengan leluhur.
Sulit bagi masyarakat ini untuk menerima argumen, bahwa perubahan
tatanan alam, relasinya dengan warisan-warisan leluhur di dalamnya atau
putusnya ingatan masyarakat terhadap warisan itu adalah masalah serius bagi
generasi kini dan mendatang. Justru, gagasan dan kebijakan yang masuk akal bagi
masyarakat modern ini, bahwa solusi atas masalah ini adalah "relokasi
waruga". Solusi ini semakin masuk akal dan mempesona ketika kecerdasan
otak modern yang telah dimekanisasi dapat dengan cepat membuat gambar desain
tentang tempat dan struktur baru bagi waruga yang direlokasi itu. Gambar ini
menarik karena teknologi layarnya yang memanipulasi penglihatan untuk dengan
segera dapat memanipulasi kesadaran pula. Tawaran solusi ini kemudian berujung
pada sebuah bentuk relasi baru antara waruga dengan masyarakatnya, yaitu:
'waruga adalah objek untuk bisnis turisme'. Waruga adalah komoditi.
Solusi ini, bagi masyarakat yang hidup dengan kesadaran
modernisme adalah paling masuk akal. Pihak yang berkepentingan dengan hal ini
justru akan mengajukan pernyataan yang sangat praktis: "Mana yang kita
pilih, waruga hancur karena dililit atau dicungkil akar pohon atau direlokasi
dan dibuatkan tempat baru yang lebih aman yang nantinya akan memiliki dampak
ekonomis?"
Maka, kita kemudian dibawa pada sebuah dilema. Dan,
pendekatan 'oposisi-biner' yang khas ini memang jitu untuk membuat keterbelahan
mental dan nalar pada masyarakat yang berada di dalam situasi ini.
***
Tempat asali waruga, oleh leluhur dipilih karena ada makna
yang hendak dibangun darinya. Makna itu adalah pesan. Oleh karenanya, tempat
itu memiliki nama khas. Waruga yang menyatu dengan ruang asalinya telah
membentuk makna dan kearifan sebagai pesan. Begitu ia dihancurkan, dicabut dan
dipisahkan dari tanah asalnya itu, maka pesan dan makna darinya perlahan
hilang.
Tempat asali waruga yang menyatu secara harmoni dengan alam
dan semesta yang bernilai sakral memiliki spiritualitas kosmis. Tapi keyakinan
ini sangat sulit dimengerti oleh masyarakat modern atau ‘masyarakat membangun’
yang telah menerima doktrin kemajuan di lembaga-lembaga pendidikan semua
tingkatan. Bukankah tujuan dari negara dan masyarakat modern adalah kemajuan
dan perkembangan dengan cara menghadirkan perangkat-perangkat teknologi yang
semakin efisien, dengan keterlibatan manusia yang semakin sedikit, semakin efektif dan produktif untuk memenuhi
kebutuhan yang terus meningkat? Demi mencapai tujuan itu, maka sumber daya alam
dan struktur-strukturnya serta warisan tradisi dari masa lalu mau tidak mau
harus diubah, dikontrol dan direkayasa.
Disadari atau tidak waruga sebetulnya telah menjadi struktur penopang bentang alam selama
berabad-abad. Ia telah menyatu dengan ruang di situ. Bersama ruangnya, dengan makna
mistis-religiusnya waruga telah menjaga alam dan semua yang terhubung dengannya.
Narasinya mewariskan banyak pengetahuan. Tubuhnya yang eksotis dengan
motif-motif khas menampilkan seni yang bernilai tinggi.
Tapi, pembangunan demi kemajuan dan perkembangan yang
berbasis modernisme itu akan menganggap semua kepercayaan itu sebagai
tahayulisme, oleh agama menyebutnya kekafiran. Waruga akhirnya tidak dapat
bertahan, tidak lagi dapat menjaga dan menopang alam. Kosmologi masyarakat
telah sangat berubah. Di tempat barunya, waruga akhirnya menjadi benar-benar ‘benda’
yang tidak lagi memiliki ‘jiwa’. Tidak lagi dapat berkisah tentang ‘dari mana’
dan ‘siapa kita’. Di tempat itulah riwayatnya tamat sebagai ‘kubur batu’.
Namun, sebelum semua berakhir, waruga-waruga itu seolah masih
sempat memberi pesan: “Masih ada generasi Minahasa yang kokoh keyakinannya di saat yang lain
kehilangan arah.” Pesan ini muncul secara simbolik dalam diskursus identitas
keminahasaan ketika waruga-waruga di situ menjadi perhatian publik karena
dampak pembangunan bendungan dan kebijakan relokasi.
Pada akhirnya hanya ada satu refleksi: Pembangunan tidak dapat
ditahan. Kemajuan dan perkembangan atas nama kemakmuran dan kesejahteraan telah menjadi paham dan kesadaran baru. Namun
begitu, tafsir atas semua fenomena ini dapat memberi makna untuk memahami
kembali apa Minahasa itu.
____________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
Makase banyak.
____________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
Makase banyak.
Comments
Post a Comment