Skip to main content

Angkot Manado Tempo Doeloe, Dari Bemo ke ‘ST20’


Salah satu terminal di Kota Manado tahun 70-an. Foto: Expose Manado Juli 2015

Jenis mobil angkutan kota (angkot) di Kota Manado mengikuti trend dari Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia. Riwayat perjalanannya, dari bemo ke ‘ST20'.

Oto Becak, Oto Kacili
Kase Lari Sambilan Puluh
Banyak Orang Suka Pa Ngana
Ngana Bilang Ngoni Jo dulu

Lagu ini populer di kalangan orang-orang Minahasa sampai tahun 1990-an. Tapi mungkin ia sudah ada sejak tahun 1960-an. Rupanya ia menggambarkan  kehidupan masyarakat Manado masa itu. Tentang  teknologi kendaraan umum. “Oto becak, oto kacili” hendak mau menyebut jenis angkutan umum  populer di kota Manado dan kota-kota lain di Indonesia masa itu. Namanya bemo atau becak motor.

Bemo adalah kendaraan beroda tiga dengan mesin sepeda motor sebagai angkutan dalam kota yang umum di Indonesia tahun 1960-an. “Luar Jawa seperti Medan, Ujung Pandang dan Menado, ia menjadi dasar untuk angkutan umum berjurusan tetap,”  tulis Prisma edisi April 1981.

Manado tahun 70-an. Foto: Bodewyn Talumewo
“Waktu tahun 60-an, torang ja nae bemo. Dari terminal di Pasar Delapan, iko jalan Samrat kong ke terminal Pasar Sembilan. Kalo mo trus, ka terminal sekitar Jarod, dekat pasar 45 sekarang. Depe ongkos Rp. 50,” kata Novline Rewah yang melewati masa kanak-kanak dan remaja di Kota Manado.

“Bemo rupanya lebih populer digunakan sebagai angkutan umum di kota-kota,”  tulis  Widyapura, Volume 3-4  tahun 1985.

Bemo bertahan sampai tahun 1970-an. Sebuah foto hitam-putih yang menunjukkan kota Manado tahun 70-an merekam bemo yang sedang melaju di jalanan. Foto itu juga menggambarkan jalanan kota Manado yang masih lengang.

Di Jakarta, kiprah awal bemo berhubungan dengan perhelatan beberapa kegiatan bertaraf internasional. Soekarno menyiapkan bemo sebagai angkutan umum untuk masyarakat Jakarta.  “1500 Bemo pertama diperkenalkan di Jakarta. Jakarta selama tahun 1960-1964 adalah kota yang sibuk. Selain Asian Games pada tahun 1962, terdapat Ganefo pada tahun 1963,” tulis Farabi Fakih dalam Membayangkan Ibukota Jakarta di bawah Soekarno, terbit tahun 2005.

Bemo diproduksi oleh Daihtsu, Jepang pertama kali tahun 1957. Nama lahirnya bukan bemo, melainkan Midget. Nama ‘bemo’ adalah pemberian orang Indonesia, yang artinya becak motor.

“Model tersebut pertama kali diperkenalkan di Negeri Sakura pada 1957. Sementara di Indonesia baru digunakan lima tahun kemudian, atau pada 1962 menjelang ASEAN Games,” tulis Ghulam Muhammad Nayazri "Ada Bemo di Pameran Tokyo Motor Show 2017" termuat pada Kompas.

Tahun 1980-an awal, di Manado mulai masuk kendaraan roda empat yang diproduksi oleh Suzuki. Suzuki Carry ST20, yang kemudian populer orang Manado menyebutnya “ST20”.  

Foto: Banyak Kenangan
Mobil ini mulai diproduksi di Jepang pada tahun 1976. Masuk ke Indonesia mulai tahun 1978. “Proses produksi mobil ini pada awalnya hanya dilakukan di Iewat prefektur Shizouka Jepang. Namun karena aturan pajak kendaraan bermotor di Indonesia tahun 1973, jadilah mobil ini juga dirakit di Indonesia,” tulis Charis Alfan dalam artikelnya berjudul Suzuki Carry Truntung ST20 termuat dalam mobilmotorlama.

Dari pabriknya di Jepang, tulis Alfan, mobil jenis ini diproduksi dalam bentuk pick up. “Namun karena masa produksinya bertepatan dengan masa jayanya industri karoseri, muncul juga Suzuki Truntung dengan bodi minibus,” tulis Alfan.

Dalam bentuk minibus untuk angkot, ‘ST20 dapat memuat 7 penumpang. Enam penumpang di bagian belakang yang duduk menghadap ke depan, masing-masing tiga kursi kiri dan kanan, dan satu penumpang di depan bersama sopir. Karena desain awalnya pick up, maka antara sopir dan penumpang di belakang  terdapat pembatas.

Sepanjang tahun 1980-an, angkutan kota (angkot) bernama ‘ST20’ ini melayani orang-orang Manado berpergian di dalam kota. Ke pasar, mengantar murid-murid ke sekolah, dan ke kantor bagi para pegawai. Ongkos sekali jalan per satu penumpang Rp. 100. Itu berlaku untuk jarak jauh-dekat.

Seperti nasib bemo ketika ‘ST20’ mulai populer, ketika mobil angkot dengan jenis dan tipe yang lebih mutakhir memenuhi jalanan kota Manado, mobil dengan mesin LJ50 2 stroke 539cc ini juga mulai terpinggir.

‘ST20’ mungkin dapat dipamerkan dalam pergelaran Manado Fiesta 2018, sebagai angkot klasik, penuh sejarah dan kenangan tentunya bagi masyarakat Kota Manado atau siapapun yang pernah berkunjung ke sini. 

Oh ya, trend  ‘ST20’ di tahun 80-an itu memunculkan satu ungkapan yang ‘viral’ dalam bahasa hari-hari orang-orang Minahasa pada umumnya: ‘kaca bok’. Ini menunjuk kaca di pinggir kanan dan kiri pintu masuk belakang yang khas.”Kaca bok’, adalah frasa dalam bahasa Manado, kata bok artinya ‘tikungan’ tapi untuk menyebut kaca ia berarti ‘melengkung’.

Ungkapan ‘kaca bok’ ini kemudian menginspirasi kelompok penyanyi Pangkers membuat lagu berjudul “Oto Kaca Bok”. Lagu ini menggambarkan Kota Manado yang mulai padat dengan kendaraan. Para sopir yang mengejar setoran untuk eknar. Syairnya juga menyebut trayek angkot di masa itu. Ini syair lagunya:

Dulu depe nama pasar 45
Kalo sekarang so jadi pusat kota
Tu oto-oto model kaca bok
Samua baku cako di sana
Dorang baku rebe cari panumpang
Mo dusu jang sampe dia ba tombo
Tako pe eknar, si tuang oto
Dasar mikrolet kaca bok
Jurusan Karombasan Sario Wanea
Lewat jalan Samratulangi
Kalo mo pi Tuminting deng Wawonasa
Pasti lewat kuala jengki
Banjer deng ke Paal Dua
Lewat Yos Sudarso, Kalo Teling 14 Februari

_______________________

Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.


Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...