Skip to main content

Sejarah Kata ‘di’ dalam Nama GMIM



Bakal Sinode GMIM 1934. Foto: Kitab Peringatan Pendirian Gereja Protestan Minahasa

Kata ‘di’ dalam nama Gereja Masehi Injili di Minahasa punya sejarahnya. Debat tentang perlu tidaknya digunakan kata itu dalam nama GMIM adalah debat tentang keberadaannya

HARI itu, Minggu, 30 September 1934 di ‘Roemah Geredja Tomohon’. Pada sebuah kebaktian agung berdirilah seorang pendeta Kristen Minahasa menyampaikan pidato, Albertus Zacharias Runturambi Wenas. Sebelum gilirannya berturut-turut para pembesar gereja dan pemerintah Hindia Belanda telah menyampaikan pidatonya masing-masing. Saat itu, Wenas kira-kira berusia 37 tahun.

“Demikian hari ini adalah hari lahirnja Geredja Masehi Indjili Minahasa jang berdiri sendiri,” kata Wenas dalam pidatonya sebagai Ketua II Sinode Geredja Masehi Indjili Minahasa (G.M.I.M). Ia adalah satu-satunya orang Minahasa dalam struktur kepeminpinan sinode awal gereja ini. Pidato Wenas ini termuat dalam Kitab Peringatan Perihal Perajaan Pendirian Geredja Protestan Minahasa 30 September 1934.

Hari Minggu itu adalah hari perayaan berdirinya G.M.I.M. Ketua Sinode pertama yang ditunjuk adalah E.A.A. de Vreede yang sebelumnya adalah predikant-voorzitter. Dalam masa persiapan pendirian G.M.I.M, antara Wenas dengan de Vreede seorang pendeta Belanda itu sempat terlibat debat mengenai nama gereja ini.

G.P.H. Locher, ketua sinode G.M.I.M keempat dalam tulisannya berjudul Djalan dan Tugas Geredja termuat dalam Ds. A.Z.Wenas (1897-1967) Pelajan Geredja di Minahasa, Bulletin Dewan Gereja-gereja Sulutteng terbit tahun 1968 menceritakan kisah perbantahan antara Wenas dan de Vreede tersebut.

“Dr. de Vreede mengusulkan akan menamai geredja itu ‘Geredja Masehi Indjili di Minahasa’. Akan tetapi ds. Wenas memperdjuangkan dengan kuat akan meniadakan kata ‘di’,” kata Locher yang mendengar langsung dari Wenas tentang hal itu pada Juli tahun 1941 di Rurukan. Wenas menyampaikan itu dalam sebuah pertemuan yang dihadiri pemuda-pemudi dari seluruh Minahasa.  

Nama G.M.I.M tanpa kata ‘di’ memiliki arti tersendiri bagi keberadaan gereja ini. “Hal itu berarti bahwa jemaat-jemaa di luar daerah Minahasa, yang beranggotakan suku Minahasa, dapat pula bergabung di dalamnya. GMIM menjadi gereja bangsa, bukan hanya gereja-daerah,” tulis Th. van den End dalam Ragi Carita: 1860-sekarang.

Maksud Wenas ketika mengusulkan nama menurut pendapatnya agar supaya gereja Minahasa ini dapat berdiri di mana-mana di Indonesia.

“Maka pada perhimpunan Besar Geredja Hindia Djakarta telah kami tjetuskan kerinduan kami akan mendirikan dimana-mana di Indonesia Djemaat2 Minahasa,” kata Wenas pada tahun 1963 dalam tulisan  “G.M.I.M Sekarang Ini” terlampir dalam Bulletin Dewan Gerejagereja Sulutteng itu.

Sementara bagi de Vreede, nama G.M.I.M dengan kata ‘di’ memiliki arti sebaliknya. “Pemikiran de Vreede sangat erat dengan pandangan bahwa Gereja itu ada di mana-mana yang universal. GMIM tidak lain adalah perwujudan Gereja universal itu di konteks Minahasa. Jadi bukan gereja suku Minahasa,” tulis D.M. Lintong dalam Apakah Engkau Mengasihi Aku? Sejarah GMIM Jilid 1, terbit tahun 2004.

Dengan begitu, dapat dipahami pemikiran de Vreede yang hendak mengusulkan G.M.I.M sebagai bagian dari gereja universal yang ‘ada di mana-mana’, tapi bukan G.M.I.M itu sendiri yang ‘ada di mana-mana’.  

Tentang pengertian ini tampak juga dalam pidato T.J. van Oostrom Soede, jurutulis dan utusan Badan Pengurus Gereja Injili di Hindia Belanda pada ibadah agung peresmian G.M.I.M di ‘Roemah Gerejda Tomohon’, kini Gereja Sion itu.

“Keesaan Geredja seanteronja dikoeatkan disitoe dengan sengadja. Hal itoe nyata djoega dari nama geredja antero jang tidak menoenjoek satoe bilangan yang melebihi satoe, namanja: Geredja Masehi Indili di Hindia-Wolanda,” kata van Oostrom Soede.

Tentang keesaan dalam gereja yang universal atau am, van Oostrom Soede menegaskan, bahwa G.M.I.M yang berdiri sendiri adalah bagian dari persekutuan dengan Gereja Am di Hindia atau bahkan seluruh dunia.

“Sekarang inilah hendakja tjita-tjitamoe bahwa kamoe, menoeroet tabi’at kamoe sendiri jang diberikan Toehan, sesama dengan orang Masehi bangsa lain, atau bahagian lain dari Geredja Masehi itoe, dengan tabi’atnja jang diberikan Toehan Allah kepadanja, djoega hendak meroepakan soeatoe keesaan jang lebih tinggi adanja, sehingga kamoe sekarang ini dan disini, soedah tahoe menjatakan separoehnya kemoeliaan Geredja Masehi jang esa, jang moekadas dan jang ‘am, bagi kehormatan Toehan dan akan berkat saban manoesia,” kata van Oostrom Soede.  

Wenas kemudian menyadari pendapatnya. “Akan tetapi kata beliau, sekarang ini saja hendak menjatakan dengan terang bahwa pendapat Dr. de Vreede benar dan pendapat saja tidak,” tulis Locher mengutip tuturan Wenas.

Wenas sendiri dalam tulisannya pada tahun 1963 berjudul “G.M.I.M Sekarang Ini” terlampir dalam Bulletin Dewan Gerejagereja Sulutteng itu menyatakan secara langsung pengakuannya itu. Bagi Wenas, kemenangannya di tahun 1934 sebetulnya adalah kekalahan.

“Kemenangan ditahun 1934 itu bukan kemenangan melainkan se-benar-benarnja kekalahan. Sjukur keadaan sekarang ini telah dirobah oleh GMIM sendiri mendjadi kemenangan,” kata  Wenas.

Wenas dalam tahun 1963 itu kemudian memproklamasikan lagi tentang hakekat keberadaan G.M.I.M sebagai gereja berdiri sendiri yang menjadi bagian dalam keesaan dengan Gereja yang universal.

“Djadi nama jang tepat bagi geredja kita itulah: ‘Geredja Masehi Indjili di Minahasa’,” seru Wenas.  

Tokoh-tokoh yang berperan penting di masa awal  berdirinya G.M.I.M  sepertinya sudah dalam kesadaran penuh mengenai hakekat keesaan ekumenis gereja di Minahasa ini. G.M.I.M adalah bagian dari Gereja Kristus yang ada di mana-mana, sehingga bukan lembaga atau jemaatnya yang ada di mana-mana. 

“GMIM ada didalam dunia Minahasa tetapi bukan dari Minahasa, melainkan dari Jesus Kristus,” tegas Wenas. 


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.



Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...