Skip to main content

Wabah Cacar di Minahasa Renggut 15 Ribu Jiwa


Pemberian vaksin kepada anak-anak di Jawa. Foto: Jstor.org

Tahun 1819 belasan ribu orang di Minahasa meninggal karena wabah cacar. Penyuntikan vaksin pun dimulai. Cara pemakaman ‘waruga’ diganti dengan peti mati.

PADA tahun 1819 wabah penyakit cacar melanda Minahasa. Ribuan orang meninggal. Pieter Bleeker dalam Reis door de Minahassa en den Molukschen Arcipel menulis, sekira 15.000 orang meninggal ketika terjadi wabah itu. Jumlah populasi di Minahasa pun menurun.

“Sangat mungkin bahwa populasi Minahasa pada tahun 1800 lebih besar daripada tahun 1850,” tulis David Henley dalam Fertility, Food and Fever, terbit tahun 2005.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah kolonial adalah vaksinasi. Vaksin diberikan kepada penduduk, terutama anak-anak. “Tindakan vaksin membuat wabah itu tidak lagi perlu ditakuti,” tulis Bleeker.  

Minahasa termasuk daerah yang cepat mendapat vaksin. P. Boomgaard pada artikelnya “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica, Indonesia, 1550-1930” termuat dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 159 (2003) menuliskan, sampai tahun 1850, vaksinasi di luar Jawa hampir tidak ada. Ambon, Minahasa dan Borneo adalah daerah-daerah yang mendapat vaksin bersama Jawa mulai sebelum tahun 1850 atau tidak lama setelah wabah terjadi. 

Beberapa kepala walak di Minahasa pun menjadi ‘tukang suntik cacar’. F.S. Watuseke dalam Sedjarah Minahasa, terbit tahun 1968 menuliskan, salah satu kepala walak yang ikut dalam program penyuntikan vaksin anti cacar itu adalah Lompoliu. Kepala walak Toulimambot ini, kata Watuseke, kira-kira tahun 1825 menjadi Kristen. Sejak saat itu ia berganti nama menjadi Abraham Dotulong. Nama marganya ini diambil dari nama ayahnya, Lotulung.

J. G.F. Riedel dalam De Minahasa in 1825, menjelaskan perubahan pemakaman jenasah akibat wabah ini. Katanya, di masa lalu, karena wabah cacar maka jenasah tidak lagi dimakamkan di dalam waruga yang terbuat dari batu namun beralih pada pemakaman dengan menaruh mayat di dalam tanah. Peti mati kemudian digunakan. 

Kematian akibat penyakit cacar sangat mengerikan. Orang yang terkena penyakit cacar ditangani dengan cara pengobatan tradisional. Namun itu tidak dapat menghentikan penyebaran cacar. Karena kematian yang terjadi secara beruntun, maka di Minahasa cara pemakaman ‘waruga’ yang menggunakan kotak batu tidak lagi efektif. Pembuatan ‘waruga’ membutuhkan waktu lama, sementara kematian terjadi secara beruntun.

“Berhubung dengan kematian banjak orang, maka orang2 mati tak dapat dikuburkan lagi semua dalam waruga,” tulis Watuseke.

Sejak saat itu, pemakaman di Minahasa menggunakan peti mati dari kayu. Jenasah tidak lagi diatur dalam posisi jongkok, tapi kini terbaring di dalam peti mati.
Wabah penyakit cacar teradi secara luas di Hindia Belanda sepanjang abad 19. Meski pun telah dilakukan upaya penanganan, misalnya melalui peran para ‘tukang cacar’, namun nanti pada tahun 1851 pemerintah kolonial mendirikan "Sekolah Dokter Jawa" yang antara lain dimaksudkan untuk mendidik tenaga-tenaga medis dalam upaya menghadapi berbagai penyakit berjangkit di masyarakat. 

Pada 1854, untuk pertama kalinya dua murid dari di luar Jawa, yaitu Minahasa (Celebes), diterima di sekolah,” tulis E.Q. Hesselink dalam  Genezers op de Koloniale Markt: Inheemse Dokters en Vroedvrouwen in Nederlandsch Oost-Indië, 1850-1915, terbit tahun 2009.

Lulusan sekolah ini disebut ‘dokter Jawa’. Hesselink mengatakan, pada masa awalnya, para lulusan dari sekolah ini belum mendapat sambutan yang baik dari penduduk. Kebanyakan para ‘dokter Jawa’ ini menjadi juru vaksin dan asisten dokter. “Para dokter pribumi berubah menjadi seorang juru vaksin dan sebagai asisten dokter,” tulis Hesselink.

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...