Skip to main content

Willy Lasut, Gubernur yang Berani Gugat Praktek Korupsi

Gubernur yang satu ini diberhentikan bukan karena mengkorupsi uang negara. Gara-gara ia berani menggugat dugaan penyimpangan dana cengkih, pemerintah pusat marah dan mencopot jabatannya. Dialah Willy Ghaius Alexander Lasut, gubernur Sulawesi Utara tahun 1978-1979.

BUMI Beringin, Manado 20 Oktober 1979 pagi. Suasana kediaman Gubernur Sulawesi Utara tidak seperti biasa. Suasana terasa tegang. Ini gara-gara, Willy Lasut sang Gubernur Sulawesi Utara sedang hadapi suatu masalah. Tiba-tiba saja, ia mendapat SK pemberhentian dari jabatannya sebagai gubernur. Dan, ia menolaknya.

Ia pun menolak hadir dalam upacara serah terima. "Sebaiknya tidak, karena saya toh tak akan menandatangani naskah serah terima itu," kata Lasut seperti diberitakan Tempo edisi 27 Oktober 1979 .

Upacara serah terima dan pelantikan Pejabat Gubernur Sulut Brigjen Erman Harirustaman pengganti Willy Lasut akan digelar di ruangan sidang utama DPRD Sulut. Mendagri Amirmachmud mencoba membujuk Lasut, tapi gagal, tulis Tempo.

Hadir waktu itu Panglima/Laksusda Rudini. Ia menghampiri Willy Lasut, memeluknya dan menurut cerita, demikian Tempo, Lasut "menangis". Begitu juga Pangkowilhan III Letjen Leo Lopulisa.

Upacara serah terima jabatan akhirnya berlangsung meski Lasut tidak hadir. Amirmachmud kepada hadiran mengatakan, Willy Lasut sedang sakit.  "Memang benar Willy Lasut saya lihat sakit. Saya izinkan untuk tidak hadir dan naskah timbang terima saya lihat sendiri sudah ditandatangani," katanya.

Dua hari sebelum upacara itu, suasana di Kota Manado sedikit tegang. Beredar pamflet "Ganyang Korupsi, Hidup Lasut."

Tempo menulis, Willy Lasut sempat menolak membuat surat permohonan berhenti, seperti dilakukan Brigjen Moenafri.  "Ingin melihat sendiri tanda tangan Presiden dalam surat keputusan yang asli,” kata Lasut seperti dikutip Tempo.

Pemberhentian Willy Lasut dari jabatan sebagai gubernur Sulawesi Utara berdasarkan Keppres No. 176/M Tahun 1979. Willy Lasut dilantik sebagai Gubernur Sulut 20 Juni 1978 dan diberhentikan 21 Oktober 1979. Hanya 1 tahun 4 bulan 1 hari. 

Meski sudah diberhentikan, namun Willy Lasut masih diberi izin tinggal di Bumi Beringin. Ia juga diberi fasilitas menggunakan dua mobil, telepon dan keperluan lainnya. "Tapi saya jua tahu diri, dong. Saya akan segera mencari rumah di Manado karena anak-anak sekolah di sini," kata Lasut. 

Orang-orang kemudian bertanya alasan pemberhentian Lasut. Pers pun mempertanyakan apa sebab musababnya.  “Berkali-kali Menteri dalam negeri Amir Machmud ditanya soal ini. Toh ia selalu membisu. Awalnya, Menteri hanya mengatakan karena ABRI telah menarik kedua petingginya itu ke Jakarta. Toh, semua orang tahu kalau itu jawaban akal-akalan semata,” tulis Tjipta Lesmana dalam Soekarno sampai SBY, terbit tahun 2013.

Karena terus dicecar oleh pers nasional, akhirnya Menteri Dalam Negeri tidak bisa mengelak. Jadi, kenapa kedua petinggi itu diberhentikan? Jawab Amir Machmud sambil melemparkan senyum khasnya kepada wartawan: “Demi kepentingan pribadi, pembangunan dan daerah...” demikian kata Lesmana. 

Sebab sebenarnya pemberhentian Willy Lasut nanti terungkap di kemudian hari. “Gubernur Lasut dipecat karena keberaniannya mengusut dugaan penyimpangan ‘dana cengkeh’ di daerahnya yang mungkin melibatkan ‘orang kuat’ di Jakarta,” tulis Lesmana.

Meski hanya singkat menjabat sebagai gubernur, tapi Willy Lasut dapat melakukan sesuatu yang luar biasa bagi para petani cengkih. Dia berani melawan pemerintah pusat dalam penetapan harga cengkih. Ia  menetapkan harga beli Rp. 17.500/kg. Harga yang sangat tinggi di masa itu.   

Saya akan berjuang untuk kebenaran dan keadilan," kata Lasut seperti dikutip  Asiaweek dalam terbitannya tahun itu.


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...