Saturday, December 7, 2019

Asal Usul Pohon Terang dalam Perayaan Natal di Minahasa



Ilustrasi orang di Eropa mengambil Pinus di Hutan. (Sumber: Aletta Hoog, Wat de Kerstboom Vertelden, 1917)



Para zendeling memperkenalkan ‘pohon terang’ untuk perayaan Natal, tapi orang-orang di Hindia Belanda menanggapinya dengan memberi unsur magis



SEPANJANG bulan Desember hingga Januari, rumah keluarga-keluarga Kristen di Minahasa dihiasi dengan ‘pohon terang’. Ibadah-ibadah untuk menyambut perayaan Natal Yesus Kristus 25 Desember dilaksanakan sejak tanggal 1 bulan itu. Lampu warna-warni menjadi pemandangan yang menarik di malam hari.

Pohon yang berhiaskan lampu kelap-kelip orang-orang menyebutnya ‘pohon terang’. Salah satu hiasan Natal yang mesti selalu ada sepanjang bulan Desember bahkan hingga Januari.
Sudah sejak kekristenan menjadi bagian dari masyarakat Minahasa, bulan Desember adalah sesuatu yang spesial.

“Orang-orang merayakan Natal sepanjang minggu sebelum Natal: untuk anak-anak sekolah, untuk katekis, untuk orang dewasa...” demikian De Indische courant edisi 25-01-1938 menulis situasi di Minahasa pada bulan Desember masa itu.

Akhir abad 19 kekristenan sudah menjadi agama sebagian besar orang Minahasa. Awal abad 20 gereja-gereja dan sekolah-sekolah midras sudah terdapat di hampir semua negeri. Seratusan guru dan penolong orang-orang Minahasa telah menjadi pengajar dan penghantar jemaat-jemaat Kristen di Minahasa. Beberapa di antaranya bahkan telah berfungsi sebagai zendeling yang diutus ke beberapa wilayah pelayanan NZG.

De Indische courant menyebut Minahasa sebagai negeri Kristen yang memiliki kekhususan dalam merayakan Natal di Hindia Belanda. Karena kekristenan, maka di Minahasa bulan Desember sungguh sangat spesial.

“Suatu kebiasaan umum ialah memang menyalakan banyak pohon terang pada malam-malam Natal (dan juga pada Malam Penutupan Tahun), terlebih-lebih di serambi muka,” tulis Lucien Adam dalam karangannya Adat Istiadat Suku Bangsa Minahasa (1927/1976).

Tradisi menyiapkan ‘pohon terang’ di Natal datang jauh dari Eropa, sama halnya dengan kekristenan yang diperkenalkan oleh para zendeling dari Belanda. Berasal dari tradisi merayakan Natal di Jerman pada abad 16, lalu menyebar ke seluruh dunia.

Demikian pula dengna menyiapkan macam-macam kue di hari Natal, Tahun Baru dan kemeriahan-kemeriahan lainnya, seperti dansa dan pesta-pesta keluarga atau negeri. Semua itu jelas adalah pengaruh dari kekristenan Eropa yang diperkenalkan oleh para zendeling.

“Semakin agama Kristen menegaskan pengaruhnya, semakin kuat perubahannya terlihat,” tulis seorang antropolog Belanda, H. Th. Fischer dalam bukunya berjudul Zendingen Volksleven In Nederlands – IndiĆ« yang terbit tahun 1932.

Di Minahassa dan Bolaang Mongondouw, pengaruh itu kata Fischer, terlibat pada munculnya kebiasaan untuk membersihkan dan menyalakan lampu minyak di kuburan pada malam 24 hingga 25 Desember. Lampu-lampu minyak itu juga dinyalakan di sepanjang jalan di depan rumah-rumah. 

‘Pohon Natal’ (kerstboom) atau ‘Pohon Terang’ (lichtboom) tak lepas dari upaya para zendeling memperkenalkan makna Natal di Hindia Belanda. Di Batak, Poso, Minahasa, Sangihe, Talaud hingga wilayah Flores ketika gereja-gereja sudah banyak berdiri dan telah terbentuk jemaat-jemaat Kristen, perayaan Natal mestilah meriah.

Namun di Hindia Belanda tradisi ini kemudian menjadi agak berbeda dari negeri asalnya, Jerman. Kepercayaan masyarakat setempat yang diwarisi dari agama leluhurnya memberi pengaruh terhadap pemahaman mengenai ‘pohon natal’ atau ‘pohon terang’.   

Di Batak-Karo misalnya, orang-orang Kristen di sana senang membawa pulang ke rumah cabang pohon Natal yang dipajang di gereja. Ada kepercayaan, bahwa cabang itu dapat menemani mereka berjalan pulang sebagai ‘penerang’.
   
Di Poso, pohon terang terbuat dari batang pohon pisang dan ranting-ranting yang ditancapkan ke batangnya. Dekorasi gedung gereja dilakukan oleh zendeling dan anggota jemaatnya. Pada malam Natal, pohon Natal diterangi dengan lampu-lampu minyak atau lilin. Jadilah ia ‘pohon terang’. 

Tapi, seperti kata Albertus Christiaan Kruyt, zendeling di sana, orang-orang Kristen cenderung memahami pohon terang secara magis. 

“Apakah kita hendak mengecam pohon Natal sebab orang cenderung memberi makna magis pada pohon itu?” kata Kruyt dalam bukunya Keluar dari Agama Suku Masuk ke Agama Kristen (Belanda: Van Heiden tot Christen, 1925).

Natal dan perayaan pohon terang, menurut Kruyt bagi orang Poso menjadi tanda perubahan dalam hal kemajuan material dan kesejahteraan.

“Perhatikanlah perbedaan antara zaman dahulu dan masa sekarang. Dahulu di rumah kita menggunakan obor-obor damar yang berasap dan menghasilkan jelaga. Kini kita memasuki masa lilin dan lampu minyak yang cahayanya terang benderang,” kata seorang kepala kampung di Poso ketika menyampaikan sambutan pada perayaan pohon terang seperti dikutip Kruyt.

Dansa-dansi menjadi bagian dari perayaan Natal. “Pesta dansa besar dan kesenangan lainnya, yang berlangsung sepanjang malam,” tulis Fischer.

Di Minahasa Natal dan Tahun Baru adalah pesta negeri. “Sesudah upacara di gereja, yang satu berkunjung kepada yang lain: orang makan-makan dan minum-minum, sedang hari itu ditutup dengan dengan dansa-dansi,” tulis Adam.

Di negeri asalnya Jerman, kata Kruyt, pohon terang atau Natal pada umumnya dilaksanakan bersamaan dengan cara mereka memahami pesta kembalinya matahari ke belahan utara.

“Orang Eropa keturunan mereka masih masih juga memelihara sejumlah kebiasaan yang berasal dari zaman kuno itu,” kata Kruyt.

________________________________
Baca juga:

Riwayat Sinterklaas
________________________________

Di Jerman sejak abad 16 itu, berawal dari tradisi orang-orang Kristen membawa pohon cemara di rumah mereka sebagai hiasan untuk Natal. 

“Dipercayai secara luas bahwa Martin Luther, reformis Protestan abad ke-16, pertama-tama yang menambahkan lilin menyala ke sebatang pohon. Berjalan menuju rumahnya suatu malam musim dingin, menyusun khotbah, ia terpesona oleh kecemerlangan bintang-bintang yang berkelap-kelip di tengah-tengah pepohonan. Untuk merebut kembali pemandangan itu bagi keluarganya, ia mendirikan sebatang pohon di ruang utama dan menyambungkan dahan-dahannya dengan lilin yang menyala,” tulis History.com.

Di Poso, Minahasa atau daerah lainnya di Hindia Belanda, pohon Natal yang diterangi oleh lampu minyak atau lilin menjadi ‘pohon terang’, demikian juga jalanan depan rumah yang diterangi cahaya alat penerang itu memiliki makna sendiri seturut dengan pemahaman adat atau budayanya.  

Di Minahasa sendiri, dan mungkin begitu pula dengan di Poso, Flores, Nias, atau wilayah lainnya di Hindia Belanda, pohon dianggap tempat kediaman roh-roh. Pohon memiliki makna magis. Maka, demikianlah ketika para zendeling memperkenalkan ‘pohon natal’ atau ‘pohon terang’ sebagai salah satu unsur dalam perayaan keagamaan (Natal), pemahaman magis terhadap pohon-pohon.

Di Minahasa, ‘pohon terang’ identik dengan perayaan Natal sehingga pernah suatu waktu ibadah menyambut Natal 25 Desember disebut ‘ibadah pohon terang’. Cuma sekarang semakin jarang orang menyebut ‘ibadah pohon terang’. Orang-orang semakin terbiasa dengan sebutan ‘ibadah menyambut Natal’ dan yang agak sedikit rancu ‘ibadah pra Natal’.(*)

_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui:  
dpinontoan6@gmail.com
 Denni Pinontoan

 082187097616

Makase banyak.

No comments :

Post a Comment