Skip to main content

Riwayat Sinterklaas


Poster Sinterklaas di K.R.O. Gids voor de Jeugd - De Kindercourant van 2 Dec. 1935


Setiap bulan Desember, Tanah Minahasa ramai dengan Sinterklaas. 
Dari mana tradisi Sinterklaas ini?


NEGARA yang sangat menghormati tradisi ini adalah Belanda. Demikian tertulis pada sebuah artikel berjudul “Sinterklaas” yang termuat pada De Java-Post, edisi 2 Desember 1927.

“Sinterklaas” adalah sebutan populer di Belanda untuk nama seorang santo dalam sejarah, St. Nicholas.

St Nicholas, demikian De Java-Post menulis adalah uskup dari Myra, sebuah kota di Lycia, sekarang menjadi bagian dari Provinsi Antalya Turki. St. Nicholas adalah seorang yang sangat dermawan bagi anak-anak. Dia meninggal karena penganiayaan gereja pada tahun 300. St. Nicholas dimakamkan di sebuah biara bernama gunung Sion di Myra.

Hari kelahirannya adalah tanggal 6 Desember. Di Belanda, ada festival Sinterklaas yang dilaksanakan setiap tanggal 5 Desember, malam sebelum tanggal lahir St. Nicholas. Festival ini dirayakan oleh orang tua dan muda, miskin dan kaya. Pada tanggal 5 Desember malam, semua orang di masing-masing keluarga saling berbagi kasih.   

5 Desember malam hampir semua rumah tangga diikat oleh persatuan cinta,” tulis De Java-Post.

Dalam legenda kuno disebutkan bahwa St Nicholas adalah seorang kudus yang menjadi pelindung bagi anak-anak, perempuan dan pelaut. 

Dalam sebuah legenda disebutkan, “...sang Uskup pernah meramalkan badai besar dan kemudian menenangkan laut melalui doanya. Karena itu ia diangkat sebagai santo pelindung pelaut."

Di banyak kota tepi laut, St. Nicholas disembah sebagai santo pelindung, misalnya Amsterdam, Kampen dan Stavoren, gereja dan kapel didirikan untuk menghormatinya,” tulis De Java-Post.
________________________________
Baca juga:

Asal Usul Pohon Terang dalam Perayaan Natal di Minahasa

________________________________

Ada sebuah legenda yang menceritakan tentang tiga anak yang menginap di rumah seorang tukang daging. Pria itu sangat kejam sehingga ia membantai ketiga anak-anak itu. 

Suatu hari St. Nicholas datang untuk menginap di rumah si tukang daging. Tukang daging menawarkan roti kepada St. Nicholas. Tapi St. Nicholas bertanya apakah dia  memiliki daging di dalam bejana. Tukang daging sangat terkejut oleh pertanyaan ini sehingga dia ingin melarikan diri. St Nicholas menghentikannya dan mengingatkannya untuk membayar penebusan dosa.

Kemudian St. Nicholas dibawa ke bejana dan meletakkan jarinya di situ. Ternyata anak-anak yang dibatai oleh si tukang daging dimasukan ke situ. Anak-anak itupun hidup kembali oleh sentuhan jari St. Nicholas. 

Legenda-legenda inilah yang kemudian membuat St. Nicholas menjadi populer pada banyak negara yang penduduknya kebanyakan Kristen. Di Belanda, nama populernya adalah Sinterklaas.

Tapi di Belanda sendiri, terutama di Dordrecht dan beberapa tempat lain, hingga tahun 1657, pesta Santo Nikolas diabaikan oleh Calvinisme puritan. Sejak tahun 1600 ada larangan untuk merayakan festival Sinterklaas pada 5 Desember. Festival ini dianggap sebagai tahayul dan penyembahan berhala. 

Tapi kemudian, orang-orang Belanda pada umumnya akhirnya merayakan festival Sinterklas setiap 5 Desember.  Festival ini lalu menjadi semacam festival nasional Belanda.

“Semangat materialistis, yang sayangnya semakin tampak di seluruh dunia, belum mampu menghilangkan syair dan simbolisme festival ini,” demikian kata De Java-Post tahun 1927 itu.

“Banyak yang mungkin akan lenyap di masa depan dari apa yang dulu dan untuk selamanya, tetapi kita tidak pernah ingin melewatkan perayaan St. Nicholas kita,” demikian penutup artikel itu.

Lalu, bagaimana tradisi Sinterklaas ini kemudian menjadi tradisi orang-orang Kristen di Indonesia?

Tidak terdapat informasi yang valid kapan tepatnya orang-orang Kristen di Hindia Belanda mengikuti tradisi ini. Sebuah artikel berjudul De Sint in Indië, termuat di situs javapost.nl menulis tentang Sinterklaas di Hindia Belanda tahun 1920-an. Beberapa foto menampilkan kegiatan Sinterklaas melakukan pawai dan kunjungan. Sebuah foto menunjukkan Sinterklaas dan rombongannya berkunjung ke sebuah sekolah di Surabaya.

Sinterklaas di Surabaya tahun 1938 (Sumber: Javapost.nl)
“...melakukan kunjungan ke sekolah-sekolah, biara-biara dan lembaga-lembaga lain... Dari waktu ke waktu di media disebutkan bahwa di beberapa kota - untuk alasan komersial - banyak Sinterklaas muncul di jalanan pada waktu yang bersamaan,” demikian tertulis di artikel itu.

Sinterklaas di Hindia Belanda pada tahun 1920-an itu rupanya dinikmati juga oleh khalayak ramai, bukan hanya orang-orang Belanda atau pribumi Kristen. Dan juga, rupanya sudah sejak saat itu Sinterklaas dikelola secara komersil.(*)   


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui:  
dpinontoan6@gmail.com
 Denni Pinontoan

 082187097616

Makase banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...