-------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Literasi kultural (budaya)" adalah istilah yang relatif baru. Pada tahun 1987, seorang
profesor di Universitas Virginia bernama E.D. Hirsch Jr menggunakan istilah ini
pada sebuah bukunya.
Literasi budaya
dapat diartikan sebagai kemampuan mengenal, memahami dan mendiskusikan sejarah
dan konsep-konsep budaya. Di era multikultural kini, literasi budaya adalah
juga kemampuan mengkomunikasikan pengetahuan ttg budaya itu secara lintas
budaya.
Saya mencoba merekonstruksi
definisi dan pemahaman literasi budaya itu dengan mengacu dari pentahapan upaya
berpengetahuan budaya. Di level pemahaman tekstual, literasi budaya adalah,
antara lain berupa aktivitas atau kerja-kerja membuat daftar istilah budaya,
menyusun daftar unsur-unsur budaya atau urutan kronologis sejarah.
Di level tafsir
atau hermeneutika dan juga rekonstruksi, literasi budaya adalah kemampuan
memahami setiap istilah, unsur-unsur budaya dan sejarah dari konteksnya dan
berusaha memahami makna dan pesannya pada konteks teks.
Di level diskursus
literasi budaya adalah upaya mengembangkannya hasil tafsir tersebut menjadi
pemahaman-pemahaman atau konsep-konsep yang kontekstual. Terkait dengan itu
adalah kemampuan mengkomunikasikan dan mendiskusikan pengetahuan budaya itu
untuk konteks waktu dan ruang kini.
Bagaimana
pengetahuan budaya itu dapat mempengaruhi kehidupan yang sementara dijalani dan
ia memberi pengetahuan baru untuk masa depan, maka literasi budaya mesti
menanjak ke level transformasi.
Pokoknya, literasi
kultural adalah upaya berpengetahuan dan mentransformasi budaya agar ia
memiliki makna dan daya guna bagi kehidupan kini. Tentu daya guna itu mengacu
dari makna-makna luhur dari kebudayaan tersebut.
Berkebalikan
dengan itu adalah ‘buta budaya” (cultural illiteracy). Situasi di mana
orang-orang tidak mengenal secara konseptual dan kontekstual kebudayaannya. Tapi,
saya kira di Minahasa tidak sedang mengalami kondisi itu. Yang justru sedang
terjadi adalah proses destruksi budaya (destruksi kultural). Pada level
pertama, destruksi kultural itu terjadi ketika tidak ada upaya untuk melakukan
pengenalan dan dokumentasi budaya. Budaya akan mati dengan sendirinya. Ini
melampaui dari kondisi "buta kultural".
Destruksi level
berikut, pun ada upaya pendokumentasian dan pengenalan, tapi tidak dilanjutkan
dengan upaya memahami melalui tafsir, dan dialog dengan konteks kini, maka
proses destruksi akan juga terjadi. Gejalanya dapat kita amati pada cara
pandang, bahwa misalnya budaya hanyalah tentang yang masa lalu atau tradisional.
Gejala yang mengikutinya adalah upaya secara tekstual menempatkan budaya masa
lalu pada konteks kini.
Pada hal ini akan
terjadi "reduksi kultural" yang membuat masyarakat mengalami
keterbelahan identitas. Inilah penyebab dari stagnasi kultural. Kebudayaan
tidak berkembang dan tidak memiliki daya untuk menggerakan kehidupan. Padahal,
apa yang kita sebut budaya adalah juga upaya-upaya membangun makna dan strategi
kehidupan 'hari ini'.
Pada level
berikut, proses destruksi kultural terjadi pada upaya-upaya politisasi
(politisasi kultural) dan kapitalisasi (kapitalisasi kultural). Proses-proses
ini membuat nilai-nilai dan spirit kultural menjadi identitas tertutup
(eksklusif) dan reduktif. Proses yang mengawalinya adalah melalui upaya-upaya
rekonstruksi kultural yang dikendalikan oleh politik kekuasaan dan pasar.
Proses destruksi
kultural lainnya terjadi karena mental yang hanya ingin menikmati budaya sebagai
‘barang antik’ untuk kesenangan psikologis, untuk kenikmatan inetelektual dan
atau hanya untuk kepuasaan emosional. Pada tingkat akut, cara memahami budaya
seperti ini akan menghasilkan eksklusivisme atau ketertutupan, yang membuat
masyarakat gamang menghadapi perubahan dan pada akhirnya budaya tidak memiliki
daya guna bagi pengembangan kehidupan bersama.
Proses-proses destruksi
kultural tersebut membuat kita mengalami disorientasi menghadapi
perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk upaya desktruksi dari paham-paham
tertentu, baik dari budaya global maupun dari agama-agama yang cenderung
agresif menyerang kultur yang diyakini dan dipraktekkan oleh masyarakat. Pada
tingkat ekstrim, ia akan menyebabkan kelumpuhan intelektual yang akibat
turunannya adalah ketidakberdayaan, kehilangan daya inovasi dan kreativitas dan
pada akhirnya keruntuhan peradaban.
Bagaimana dengan literasi
budaya di Minahasa?
Secara umum dapat dikatakan
bahwa upaya literasi kultural berjalan pada level-level tertentu. Demikian juga
upaya-upaya destruksi kultural. Apakah upaya literasi kultural hingga di
tingkat rekonstruksi dan transformasi berjalan lebih di depan dari upaya-upaya
destruksi kultural, itu yang menurut saya kira perlu kita jawab bersama.
Mari kita cermati
fenomena ini: Tampak sedang terjadi kebangkitan budaya di Minahasa. Lembaga
pemerintah, agama, pendidikan, lembaga sosial, dlsb sedang giat-giatnya
menghidupkan budaya Minahasa. Seni tari, seni musik, bahasa, sejarah, bahkan
adat, dan simbol-simbol khas budaya Minahasa lainnya tampak sedang dihidupkan
kembali. Semua itu katanya untuk melestarikan budaya Minahasa.
Tapi, apakah semua
ini adalah gejala 'literasi kultural'? Ataukah ini sebatas fenomena berbudaya
secara tekstual atau artifisial? Ini mesti jadi perenungan bersama kita.
Tapi, perlu saya
tegaskan di homilia ini, bahwa literasi
kultural atau pengetahuan budaya mesti berujung pada upaya transformasi. Literasi
kultural mesti membangkitkan gairah hidup masyarakat, ia mesti menggerakkan
orang-orang untuk mengoptimalkan segalanya untuk membangun kehidupan bersama.
Pada level
transformasi, literasi kultural mesti bermakna pembebasan: membebaskan
orang-orang atau masyarakat dari kehilangan harapan hidup, dari kemalasan
berpikir, ia juga mesti menggerakkan orang-orang untuk berinovasi dan
berkreasi, dan juga menginspirasi setiap orang untuk merumuskan visi kehidupan
bersama.(*)
* Disampaikan pada Dies Natalis ke-4
Komunitas Mapatik dan Kuliah Akhir Tahun bertajuk “Literasi Kultural”, Jumat,
13 Desember 2019 di Kebeng Lounge and Eatery, Sasaran Tondano, pelaksana
Komunitas Mapatik.
Comments
Post a Comment