Kebersamaan di negara ini bukan sudah tidak ada melainkan sedang mengalami krisis. Bersama dengan itu adalah krisis persatuan pula. Kebersamaan justru sedang menguat ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki keyakinan agama dan ideologi yang sama. Wujudnya di permukaan, persatuan yang lintas agama, keyakinan dan tradisi mengalami masalah besar. Kita sementara menyaksikan bagaimana kebersamaan itu sedang didesain hanya berlaku antar orang-orang yang secara ideologis telah berhasil dipusatkan pikiran dan kesadarannya di bawah satu komando segelintir orang. Persatuan digaungkan tapi untuk menyerang kebersamaan yang majemuk.
Jadi, krisis kebersamaan dan persatuan menunjuk pada gejala sosiologis pada masyarakat kita yang mana orang-orang justru makin terfragmenstasi berdasarkan ideologi agama hasil tafsir dan rekonstruksi sekelompok orang yang telah berhasil mengangkat dirinya sebagai elit di kelompok besar itu. Jelas tampak di permukaan, bahwa kebersamaan dan persatuan kelompok tersebut adalah untuk menyerang atau bermaksud menaklukan kelompok lain.
Dengan demikian, kebersamaan dan persatuan yang berdasarkan satu ideologi tunggal sesungguhnya dapat membahayakan kehidupan bersama di ruang publik. Kita ambil contoh misalnya ambisi Hitler yang mau membangun 'kebersamaan' dan 'persatuan' ras Arya yang memakan korban jutaan orang. Rasisme yaitu 'kebersamaan' dan 'persatuan' ras sudah terbukti berbahaya bagi peradaban. Demikian juga, perang dan kerusuhan-kerusuhan yang telah menggunakan agama sebagai 'senjata' dengan doktrin 'kebersamaan' dan 'persatuan' di antara orang-orang seiman. Ideologi fundamentalisme agama berhasil menciptakan musuhnya dengan mengambil sentimen keagamaan yang disampaikan dengan khotbah-khotbah yang cukup meyakinkan.
Di tingkat lokal, Tanah Minahasa ini misalnya seruan-seruan 'kebersamaan' dan 'persatuan' kelompok berdasarkan kesamaan denominasi gereja juga telah menggejala sejak beberapa tahun terakhir. Terutama, kita lihat itu justru dari denominasi gereja dengan umat terbanyak di Sulut, yaitu GMIM. Jargon 'Aku Bangga GMIM', 'GMIM Pilih GMIM' dan salam yang dibuat menjadi khas GMIM, yaitu 'Syalom' yang dibalas dengan ucapan 'Damai di Hati' disertai gerakan tangan adalah gejala-gejala simbolik upaya menciptakan kebersamaan dan persatuan eksklusif tersebut.
Kebersamaan dan persatuan kelompok yang eksklusif ini sungguh dapat memberi kebanggaan dan kenyamanan diri. Sulit kita menolak seruan dan ajakan untuk makin mempererat kebersamaan dan persatuan ke dalam kelompok kita karena ia juga menyentuh wilayah psikologis, yaitu semacam kenyamanan diri meskipun pada banyak hal ia semu. Tapi, ketika kebersamaan dan persatuan kelompok berdasarkan agama dan keyakinan itu didesain menjadi agenda politik untuk penguasaan ruang sosial dan ekonomi, maka jadilah ia sebuah perjuangan dengan agenda meminggirkan atau bahkan menguasai kelompok yang lain.
Dengan kebersamaan dan persatuan yang militan tersebut, maka sulit kita berharap kelompok-kelompok eksklusif ini merancang, merumuskan apalagi mengambil bagian dalam aksi-aksi untuk kepentingan banyak orang, yaitu perjuangan menegakkan keadilan dan perdamaian. Bahkan, demi ambisi elit yang telah berhasil diindoktrinasi kepada massa dan juga diyakini seolah-olah itu adalah juga visi mereka, secara gelap mata mereka akan menabrak prinsip-prinsip kebaikan yang universal.
Inilah bahaya dari proyek kebersamaan dan persatuan yang eksklusif. Ia tentu terbalik dan berlawnan dengan prinsip kebersamaan dan persatuan yang lintas suku, agama, ras, ideologi dan seksualitas. Yang terakhir ini mestinya menjadi agenda kita bersama, yaitu kebersamaan dan persatuan dalam keragaman. (12 Januari 2017)
- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment