PIHAK Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Utara meminta saya untuk berbicara pada kegiatan Lawatan Sejarah Daerah 2019 ini diseputar topik, “Menguatkan Pendidikan, Memajukan Kebudayaan, Memelihara Sejarah”. Topik ini memuat tiga variabel yang dapat dibicarakan sendiri-sendiri yaitu: “pendidikan’; “kebudayaan’, dan “Sejarah”. Tapi sesungguhnya tiga variabel ini memiliki hubungan satu sama yang lain. Dalam konteks ini, saya membicarakan tiga variabel tersebut dalam konsep, bahwa upaya memajukan kebudayaan, salah satu cara, dan ini penting, adalah menguatkan pendidikan dan memelihara sejarah.
Saya
akan membicarakan topik ini dalam alur pemikiran seperti yang terumus di atas.
Olehnya, saya akan mengawali keseluruhan pembahasan dengan subtopik tentang
pendidikan, lalu sejarah yang kesemuanya akan bermuara pada konsep tentang
memajukan kebudayaan sebagai sebuah proses. Karena hal-hal ini saling
berkaitan, maka alurnya tidak akan bergerak dari satu penjelasan ke penjelasan
yang berikut. Tetapi dalam rangka untuk mensistematisasi pembahasan, sub-sub
topik hanyalah untuk memudahkan alur pembahasan.
Pendidikan
sebagai Praktek Kebudayaan
“Sekolah
adalah pusat kebudayaan”. Ini moto yang sering kita baca di atas pintu gerbang
sekolah-sekolah kita. Sekolah yang dimaksud di sini tentu adalah wadah atau
ruang di mana proses belajar-mengajar dilakukan. Dan keseluruhan hal yang
terkait dengan hal berpengetahuan, proses, metode, maupun paradigma itulah yang
disebut pendidikan.
Secara
filosofis apa yang kita sebut ‘sekolah’ (dari kata Latin schole, yang
berarti ‘waktu senggang’) adalah ruang di mana orang dapat menggunakan waktu
yang terbebas dari beban-beban kerja atau kehidupan pada umumnya untuk
memberdayakan sumber daya yang dia miliki, yaitu akal, fisik, intuisi,
imajinasi, kepekaan, cita rasa, kreatifitas. Kesemuanya itu adalah untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan bersikap.
Kata Latin ‘educare’ (Inggris: education; Indonesia: pendidikan) –
secara harafiah berarti ‘memunculkan dan menyuburkan, melatih atau membentuk.’
Pada pengertian ini, educare, education, pendidikan menunjuk pada sebuah upaya
memberdayakan, mengembangkan. Atau
dengan kata lain, ia adalah upaya memaksimalkan pengetahuan dan daya yang manusia miliki dalam kehadirannya di tengah
realitas kehidupan. Sebagai bagian dari praktek kebudayaan,
pendidikan dapat diartikan sebagai keseluruhan proses manusia dalam
memberdayakan hidupnya melalui dengan cara berpikir dan berimajinasi untuk
memperoleh pengetahuan dan ketrampilan.
Paulo Freire mendefinisikan, “pendidikan sebagai proses
pemerdekaan atau kesadaran akan kebebasan hidup yang memiliki potensi-potensi
tertentu dalam hidupnya berhadapan dengan alam sekitarnya.” Definisi pendidikan
Freire tampaknya berorientasi pada kesadaran intelektual dan mental yang
memungkinkan seorang individu bersama kelompoknya melakukan tindakan-tindakan
dan praxis pembebasan.
Menurut H.A.R. Tilaar, “Hasil
pendidikan demikian adalah manusia yang kreatif yang menjadi pendukung dari
kebudayaan dinamis”.[1] Jadi, dengan pendidikan yang
berorientasi pada pemerdekaan, dengan antara lain melalui upaya memampukan
manusia memiliki kesadaran kritis, maka ia adalah juga praktek kebudayaan.
Maksudnya, dengan pendidikan maka manusia secara rasional, kreatif, kritis tapi
etis mengusahakan keberlanjutan hidup bersama.
Dengan demikian, perlu ada upaya terus
menerus untuk mengusahakan revitalisasi atau penguatan makna, arti dan siginifikansi
pendidikan bagi masyarakat.
Pendidikan mesti selalu berorientasi pada upaya untuk menjawab segala problem kehidupan, memberi alternatif-alternatif yang kreatif terhadap kebuntuan-kebuntuan hidup, memberi pencerahan pada kesuraman hidup, memberi kemampuan mengusahakan hal-hal baru untuk meneruskan kehidupan, dan tentu pendidikan mesti menghasilkan nilai-nilai etis yang hanya berorientasi makna kehidupan yang luhur.
Memelihara
Sejarah untuk Merencanakan Masa Depan
Tak
ada kehidupan di masa kini yang tak punya awal. Kehidupan kini akan kemudian
menjadi sejarah pada masa depan. Perencanaan kehidupan masa depan mesti selalu
memiliki wawasan sejarah. Jadi, ketika kita berbicara sejarah, posisi kita
tidak di masa lalu, tapi masa kini. Tujuannya bukan untuk kembali ke masa lalu,
melainkan untuk ke masa depan.
Sejarah
adalah sumber pengetahuan yang tak terbatas, seperti tidak terbatasnya bayangan
kita dalam memandang masa depan. Sejarah sudah terjadi, ia telah meninggalkan
banyak jejak dan warisan, namun masa depan masih ada dalam perencanaan. Jadi,
ketika kita berbicara upaya ‘memelihara sejarah’ itu sama dengan upaya untuk
memelihara kehidupan. Mengapa?
Sejarah
adalah ‘teks’ kehidupan. Ada yang sudah terungkap, ada yang masih misteri, ada
yang akhirnya hanya dapat diterima sebagai ‘cerita’. Meskipun, keseluruhan
sejarah bagi kita kini semuanya adalah ‘cerita’. Ia terdokumentasi dalam banyak
hal, tulisan, lisan, aftefak, seni, agama, praktek ekonomi, politik, kuliter,
dlsb. Jadi, sejarah adalah kehidupan yang kompleks itu, yang waktu kejadiannya
pada masa lalu, yang kebanyakan di antara masih memengaruhi kehidupan kita
kini.
Handphone/smartphone yang kita miliki sekarang ini ia adalah jejak
sejarah tentang upaya manusia di masa lalu untuk maksud berkomunikasi secara
jarak jauh pada lalu. Dari telegram, ke telepon, lalu ia ke handhone.
Smarthpone, juga menjadi penanda, untuk sejarah itu tadi, dan sejarah
internet.
Demikian
pula dengan gedung gereja tua, sebuah tempat, rumah tua, goa buatan manusia,
makam tua, dlsb sebagainya, baik ia berbentuk artefak maupun situs,
kesemuannya menceritakan kepada kita tentang apa, bagaimana, siapa dan kapan,
dan mengapa itu semua dibuat atau ada di masa lalu.
Tentu
agar semua itu bermakna, maka kita tidak hanya berhenti dengan dengan berselfie ria
di tempat-tempat itu. Kita perlu belajar sejarah. Itu dapat kita lakukan
melalui pendidikan. Dengan demikian, dapat kita katakan, belajar sejarah atau
segala hal yang meliputi upaya manusia untuk meneliti, menganalisis/menafsir,
menulis/mempublikasikan, membaca, mendiskusikan dan merefleksikan
peristiwa-peristiwa masa lalu adalah upaya manusia untuk memahami keberadaan dirinya
di masa kini, yang bersama dengan itu dalam upayanya merencanakan kehidupan di
masa depan.
Kesadaran
terhadap sejarah, menghasilkan pengetahuan dan sikap yang selalu berupaya
memelihara apa saja yang menjadi penanda atau jejak-jejak sejarah.
Dengan
memelihara sejarah, belajar sejarah maka kita akan memiliki pengetahuan,
wawasan dan kemampuan kritis memahami masa kini. Contoh:
Masyarakat Indonesia masa kini sedang terpolarisasi berdasarkan identitas
agama, etnis, ras, gender, yang bukan pertama-tama kehendak kelompok-kelompok
masyarakat itu, melainkan karena apa yang diistilahkan dengan ‘polisasi
identitas’. Wawasan historis menjadi penting untuk menyikapi polarisasi itu,
karena dengan belajar sejarah, maka kita akan sadar bahwa di lampau kita memiliki
satu jaringan kebudayaan bersama, antara lain melalui perdagangan, bahasa,
dlsb. (Coba cari tahu mengapa kata-kata ini dikenal di banyak wilayah
di Indonesia: ‘wanua-banua-benua’; ‘to-ta-tou’; ‘wale-bale-balai’,
‘tabik-tabe-tabea’, dlsb. Sejarah kuliner: Contoh: sup brenebon,
peda’al-miedal-tinutuan-bubur Manado’, dlsb.
Akhirnya
adalah Upaya Memajukan Kebudayaan
Kegiatan
manusia/masyarakat dalam memajukan kebudayaan adalah upaya untuk membuat
kehidupan bersama menjadi lebih baik, lebih bermakna, lebih berdaya
guna.
Memajukan
kebudayaan, berarti upaya yang tak pernah henti untuk memberdayakan,
mengoptimalkan, mendayagunakan pengetahuan, yaitu antara antara lain sarana dan
proses berpengetahuan, yaitu pendidikan, lalu sumber pengetahuan yang tanpa
batas yaitu sejarah.
Jadi,
baik upaya menguatkan pendidikan, maupun upaya memelihara sejarah, keduanya
bertemu pada upaya untuk memajukan kebudayaan, itu sama dengan upaya untuk
membuat kehidupan lebih bermakna, lebih berarti, lebih berdayaguna.
Ahli filsafat, C.A. van Peursen, seorang yang di tahun 1948-1950
menjabat wakil ketua pada Kementerian Pendidikan Belanda, pada tahun 1970 dalam
bukunya The Strategy of Culture, dengan sangat yakin
mengeluarkan pernyataan, “Seluruh kebudayaan
merupakan satu proses belajar yang besar.” Belajar, menurut Peursen, berarti
mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Dari pertanyaan-pertanyaan biasa dan praktis
hingga pertanyaan-pertanyaan mendalam.[2] Keseluruhan
proses belajar itu tujuannya untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan baru bagi
masa depan yang lebih baik dalam kehidupan bersama manusia.
Melalui
pendidikan kita difasilitasi untuk belajar dan memelihara sejarah. Proses ini
adalah upaya untuk memajukan kebudayaan. Pendidikan yang kontekstual di masa
‘post truth’ ini mestilah memiliki wawasan historis. Artinya, dengan memahami
dan memelihara sejarah maka kita memiliki pengetahuan dan ketrampilan bersikap
untuk menemukan alternatif-alternatif dalam menjawab masalah-masalah kehidupan
kini yang kompleks.(*)
______________________________
*
Makalah yang disampaikan diskusi kegiatan Lawatan
Sejarah Daerah (Laseda) di Provinsi Sulut dengan topik “Menguatkan Pendidikan, Memajukan
Kebudayaan, Memelihara Sejarah” , Senin, 29 April 2019 di Balai Pelatihan Teknis Dan
Penyuluhan Pertanian Kalasey, Sulut (BLPP)
[1] H.A.R. Tilaar, Kekuasaan dan
Pendidikan: Manajemen Pendidikan Nasional dalam Pusaran Kekuasaan, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2009), 52.
Comments
Post a Comment