MIMPI ini menjadi candaan karena terkesan konyol. Mimpi agama murni, bersih, tidak bercampur dengan hal-hal 'najis', 'kotor' atau 'kafir'. Padahal, zaman sudah bergerak terlalu jauh. Orang-orang sudah bermigrasi ke sana ke mari. Berketurunan saling silang. Budaya sudah lama saling berbagi. Agama sudah mengambil bentuk dan nilai dari banyak tradisi dan kearifan.
Yang 'najis', 'kotor' atau 'kafir' pun, pengertiannya tidak lagi murni seperti ketika para nabi atau rasul mencetuskannya pertama kali. Hakikat kenajisan, kekotoran dan kekafiran itu mestinya tetap tapi wujud atau bentuknya tentu sudah berubah pula. Objeknya tidak lagi sama.
Masihkah ada yang murni? Seperti ketika sesuatu itu lahir dan mengada pertama kali? Adakah telur ayam akan abadi, jika induk ayam tidak mengeraminya untuk mengubah ia menjadi ayam? Iman yang selama ini sekuat tenaga dijaga oleh umat beragama pun harus menubuh dalam kebudayaan agar ia menjadi nyata dan abadi.
Namun perubahan oleh macam-macam hal, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem sosial-politik dan ekonomi – dan itu adalah dinamika kebudayaan manusia yang niscaya terus hadir – telah membuat orang-orang beragama (tertentu) menjadi gamang. Sekularisasi konon menjadi momok bagi agama. Dikhawatirkan, sekularisasi ditambah rasionalisme dapat membuat agama lenyap dan berakhirlah kehidupan.
Namun, proyek sekularisasi sebagai bagian dari modernisasi, di beberapa peradaban yang menjaga kekokohan kuasa agama diperkenalkan bersama-sama dengan kolonialisme. Maka jadilah, sekularisasi, rasionalisme atau modernisasi itu sama dengan penaklukan. Ini bencana bagi peradaban-peradaban itu! Bagi mereka modernisasi sama dengan kolonialisme, keduanya trauma. Cara menyembuhkan luka trauma peradaban itu adalah kembali pada kemurnian agama.
Agama kemudian menjadi identitas politis untuk melawan kolonialisme yang disamakan dengan modernisasi, dan karena ia datang dari Barat yang Kristen maka disebutlah 'westernisasi' sama dengan sekularisasi, dan kekristenan adalah kekafiran. Dalilnya memang ditemukan pada ungkapan-ungkapan yang lahir pada suatu masa di kitab suci.
Sejarah berulang. Kita sementara menyaksikan wacana kafir dihadirkan lagi. Ini diperhadapkan dengan tafsir yang berubah menjadi ideologi, yaitu perjuangan menjaga kemurnian agama dan bahkan ras. Di negara ini, sekelompok orang beragama menyerukan anti asing, baik ideologinya yang tidak jelas itu maupun produknya; anti kafir dan bahkan anti tradisi agama sendiri yang bukan dari penafsiran kelompok.
Di belakang wacana anti ini anti itu, terdengar pula seruan 'persatuan', 'bela agama' dan ‘lawan’. Kedengarannya seperti seruan-seruan revolusi. Agaknya, memang demikian adanya, ini sebuah perlawanan. Tapi, sejatinya ini bukan semata-mata agama atau iman. Dari alasan-alasan yang dikemukakan, perlawanan ini menyangkut ekonomi, politik dan psikologi. Khas ekspresi orang-orang kalah.
Memperjuangkan kemurnian dan tegaknya martabat agama, dan nama Tuhan adalah simbolnya, saya kira bagi orang-orang yang sedang memperjuangkannya pun sadar, ini adalah sebuah kemustahilan. Ketika pertama kali pun sebuah agama ‘diturunkan dari surga’ atau didirikan oleh orang-orang suci, agama itu sudah harus mengambil bahasa, unsur-unsur budaya tertentu dari sebuah kebudayaan. Pun yang diyakini sebagai kebenaran firman dari surga itu, ketika ditulis dengan media tertentu dan dituturkan serta diwariskan dari mulut ke mulut ia pasti akan mengalami proses ‘tambah-kurang’ sesuai konteks ruang dan waktunya. Proses ini adalah sejatinya agama itu karena ia ada untuk manusia bumi dengan kebudayaanya.
Dengannya menjadi sedikit jelas, bahwa persoalan kita sekarang tidak sekadar menghadapi orang-orang yang sedang marah karena agama atau kitab sucinya benar-benar dinistakan. Kisruh sekarang ini sebenarnya sedang menggambarkan kegagalan-kegagalan negara dan masyarakat kita mengembangkan kualitas kehidupan bersama. Ada kesenjangan ekonomi, kesenjangan antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat, diskriminasi dan marginalisasi masyarakat miskin perkotaan, kegagalan ilmu pengetahuan dalam praxisnya, yang kesemuanya itu telah melahirkan reaksi dengan terbentuknya sebuah kelompok masyarakat yang menyimpan dendam karena trauma-trauma itu. Orde baru yang berkuasa selama 32 tahun saya kira sebagai penyumbang luka trauma terbesar itu. Selebihnya adalah ketidakmampuan pemerintah pasca orde baru untuk menyembuhkan luka-luka warisan tersebut.
Lalu mengapa pemurnian agama yang tampak dipermukaan? Agama sudah lama menjadi identitas politik lebih dari sekadar jalan damai bersama Tuhan. Di nusantara ini, entah bagaimana kemudian lahir teori bahwa, relasi antara Islam dan Kristen antara lain bermasalah karena beban-beban sejarah selain masalah doktrinal. Telah terkonstruksi rapih, bahwa bangsa-bangsa penjajah itu adalah Kristen dan pribumi nusantara diidentikkan dengan Islam. Sehingga, dengan mudah terus dibangun kebencian dan dendam keagamaan Islam-Kristen. Padahal, kolonialisme ada di ranah politik-ekonomi dalam hal penaklukan dan eksploitasi, Kristen adalah agama, sama halnya Islam, juga agama. Mendefinisikan produk-produk dari Barat misalnya seperti yang lagi ramai sekarang sebagai bagian dari konspirasi keagamaan dalam hal ini Kristen dan Yahudi untuk menguasai Islam adalah juga sebuah kekeliruan. Proyek kapitalisme global, benar ia ada, tapi keliru kalau mengatakan ia adalah misi keagamaan. Korban dari kapitalisme global ini menyasar semua orang lemah, tidak pandang agama.
Dengan diterima dan digunakannya agama sebagai identitas politik, maka lestarilah permusuhan antar agama. Agama memang dapat dengan mudah dimanfaatkan untuk ‘perlawanan’ politik-ekonomi itu. Dalam sejarah, beberapa revolusi sebagai reaksi massif atas ketidakadilan memakai simbol agama atau identitas kebangsaan (ras) sebagai pintu masuk untuk membangun kekuatan massal. Ini cara jitu untuk membangun sebuah perlawanan yang militan. Meskipun, di kemudian hari setelah pertarungan usai, entah menang atau kalah, cara ini justru menimbulkan masalah baru bagi upaya-upaya membangun kehidupan bersama yang lebih baik sebagai tujuan dari perjuangan itu. Sebab, identitas agama itu rapuh. Di dalam sebuah agama ada begitu banyak kelompok. Berikut agama cenderung irasional sehingga ia tidak dapat diandalkan untuk membangun kehidupan yang kompleks, yang lebih banyak membutuhkan penalaran dan imajinasi-imajinasi bebas serta kebebasan itu sendiri.
Oleh sebab itu, perjuangan membangun peradaban yang lebih baik sebagai reaksi atas kehidupan yang penuh ketidakadilan, membutuhkan kecerdasan, pengetahuan dan keterbukaan. Sejatinya, setiap orang dan setiap peradaban memiliki mimpi kehidupan yang adil, damai dan sejahtera. Ini adalah proyek peradaban yang harus terus ada, dan semestinya tidak boleh menjadi tugas eksklusif sekelompok orang saja dengan identitas tertentu. Dengan demikian jalan dialog adalah jalan yang masuk akal dan bijaksana di era ‘serba campur’ ini. Dialog lintas agama, budaya dan tradisi untuk proyek peradaban ini dapat menghindarkan kita dari hal-hal tidak perlu, seperti prasangka, kebencian dan kekonyolan. Ini mimpi yang lebih masuk akal ketimbang kita bermimpi ‘kemurnian agama dan ras’ di era yang sudah serba saling berjumpa dan berbagi ini.
Talete, 05/01/2017
- Get link
- X
- Other Apps
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment