Sunday, January 26, 2020

Bagian Kedua: Papendangan





PERCAKAPAN yang tak menyenangkan dengan tuang pandita Duverman tak membatalkan rencana Mandey pergi ke rumah tonaas Pandei. Ia terlambat.

Mandey kini berada di depan sebuah rumah panggung. Pekarangan rumah ini ditumbuhi beberapa jenis tanaman. Tanaman tawaang terdapat di hampir setiap pinggiran pekarangan.

Tepat di bagian depan rumah, sebuah patung manusia terbuat dari kayu setinggi orang dewasa berdiri. Patung ini menandakan bahwa pemilik rumah ini adalah tona’as atau walian sebab ia terkait dengan foso-foso yang dilakukan.

Sebuah watu lonjong meruncing ke atas berdiri di sudut pekarangan. Saat melakukan foso tertentu yang dipimpim walian, orang-orang mengitari watu itu.  

Di sebelah rumah panggung itu,  seorang lelaki tua sedang duduk di bale-bale bulu[1]. Pohon-pohon yang tumbuh di situ membuat sinar matahari tak langsung mengenai orang-orang di bawahnya. Lelaki tua itu  mengenakan celana setinggi lutut. Kepalanya ditutupi poporong[2] terbuat dari kain Bentenan. Tabaku terselip di jari jemarinya. Bau tembakau, kemenyan dan karimenga khas di  rumah ini. Sekira empat orang muda membentuk setengah lingkaran duduk berhadapan dengan Tonaas Pandei. 

Mandey tampak ragu memasuki pekarangan rumah.  Tapi suara seorang perempuan tua menyapanya. Nenek Ringkan. Ia istri tonaas Pandey. Nenek Ringkan adalah salah satu walian di  ro’ong Tamberan. 

"Mandey, mengapa baru datang. Sudah terlambat," kata Nenek Ringkan yang dari mulutnya kentara ia sedang mengunyah sirih-pinang.

Mandey hanya diam. Dia tak mungkin berterus terang kalau dia terlambat karena bercakap dengan tuang pandita tadi.

Nenek Ringkan lalu diam. Tapi dari gerak tubuhnya seolah memberi isyarat agar Mandey segera bergegas masuk. Tanpa bertanya lagi, Mandey pun segera merapat ke kelompok papendangan.

Ketika Mandey mengambil posisi duduk, tonaas Pandei sedang berbicara serius. Diapun tidak memedulikan kehadiran Mandey yang terlambat. Di samping tempat duduknya terdapat wadah kecil berisi sirih-pinang.

“Koemiit in sisil, se touw ririor an tana im Malesung. Sapake, ‘se tou Maasa’, sera se mësembo-sembongan sumaru se Mongondou wo se Tasikela kaapa Walanda[3],” tonaas Pandei menjelaskan tentang arti maasa.

Sebelum datangnya kompeni atau VOC lalu kemudian pemerintah Hindia Belanda, orang-orang di Tanah Malesung beberapa kali berperang besar melawan kekuatan-kekuatan dari luar. Namun, di saat tidak ada musuh atau kekuatan dari luar yang mengancam, perang justru terjadi antara walak-walak.

Maasa adalah persatuan dari walak-walak dan pakasaan-pakasaan Minahasa di masa berperang melawan pasukan kerajaan Mongondow, lalu Tasikela dan kaum Bantik. Kaum Toumpakëwa, Tombulu, Toulour dan Tonsea bersatu menghadapi kekuatan-kekuatan musuh.

Tonaas Pandei rupanya sedang memberi pelajaran tentang sejarah asal mula se Maasa. Sebagai pelajaran yang penting bagi para pahayowan[4] yang nanti akan menjadi bekal pengetahuan bagi mereka untuk menjadi tonaas atau walian.

Para murid yang lain mendengar secara seksama apa yang dituturkan oleh tonaas Pandei. Hanya Mandey yang tampak tak tenang, meskipun dia berusaha untuk menunjukkan bahwa dia menyimak secara seksama pula.

“Tumötol ai a niïtu se touw isera itumuul in ngaran era kaapa imindo ngaran ‘Maësa’ kaapa ‘Maasa’. An somoj oka mai ja ën ngaran anió imamuali ‘Minahasa kaapa Minaesa’[5]," kata tonaas Pandei sambil mengunyah sirih-pinang.

Di masa Spanyol, leluhur yang mendirikan negeri Tamberan dan beberapa negeri lainnya adalah pemasok tali gomutu[6] untuk dipakai di kapal. Beberapa negeri lainnya di lembah memasok padi. Kesemuanya itu dibawa ke  Benteng di Uwuran, Amurang.

Pada suatu masa orang-orang se Maasa di bagian Selatan tanah Malesung merasa bahwa hubungan mereka dengan Spanyol tidak adil. Maka, merekapun menyatakan perlawanan, yaitu menolak memasok tali gomutu[7] dan beras. Spanyol marah, lalu kemudian terjadi perang yang hebat.

Salah satu pemimpin perang itu adalah leluhur Mandey bernama Ririmbeng. Ia terkenal dengan kemampuannya menggunakan wengkow[8]. Meski waraney-waraney yang dipimpin teterusan dari negeri dan walak-walak lain datang membantu, tapi perang itu dimenangkan oleh Spanyol. Mawale, pemukiman pertama leluhur Tamberan hancur dibakar oleh pasukan Spanyol. Meski kalah, orang-orang Maasa tidak mau tunduk. Mereka kemudian menyingkir ke hutan. Setelah Spanyol tidak lagi memiliki kuasa karena dikalahkan oleh pasukan Belanda, para leluhur kemudian mendirikan pemukiman baru yang tidak jauh dari Mawale. Itulah Tamberan kini.

Setelah menguraikan panjang lebar tentang Se Maasa, tonaas Pandei lalu berhenti berbicara. Istrinya walian Ringkan kini telah duduk di sampingnya di bale-bale itu.

Kecuali Mandey, para murid yang lain segera mengerjakan apa yang mereka bisa kerjakan  sebagaimana biasanya mereka di rumah itu. Tonaas Pandei kemudian memanggil Mandey untuk duduk di sampingnya.

“Kaitu, Mandey[9]?” Tanya tonaas Pandei.

“Raica sapa-sapa, tonaas.[10]

Keluarga Mandey dan keluarga tonaas Pandei sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga. Suru[11] mereka adalah teterusan Ririmbeng. Sehingga, bagi tonaas Pandei dan walian Ringkan, Mandey adalah seperti anak mereka sendiri. 

Lantaran itu juga Mandey akrab dan sering tidak segan-segan mengutarakan apa yang dia gelisahkan. Mandey lalu cerita soal percakapannya dengan tuang pandita Duverman, kemarin dan tadi pagi.

Se waraney tumeir  ro’ong wo kanaramenta. Sera si pekua kelung um banua. Se tou maasa rior, sera apota keter, niatean, wo nga’asan. Si’itu sera mamuali apo[12],” kata tonaas Pandei.

Mandey lalu mengatakan yang dia dengar dari tuang pandita Duverman tentang luasnya dunia ini. Mandey berkata lagi, bahwa menurut tuang pandita itu, foso dan kanaramen kaumnya tidak memberi faedah sebab banyak yang tidak benar.

“Sia si ca wutul. Sia si lumewo  ro’ongta. Lumewo kinatowanta wo kanaramenta[13],” tegas tonaas Pandei.

“Ne, sapa ema’anta?[14]

Sementara mereka bercakap, tiba-tiba terdengar suara orang masuk ke pekarangan. Empat orang datang dengan marah-marah. Dua kepala jaga, satu opas, seorang yang lain adalah mandor kebun kopi.

Tonaas Pandei dan Mandey serta beberapa orang lainnya di situ segera berkumpul dan menemui orang-orang yang datang itu. Nenek Ringkan tampak berdiri di dekat suaminya.

“Slamat siang, tuang,” sapa tonaas Pandei kepada rombongan itu.

“Apa yang sedang tuang buat ini? Ini hari kerja, bukan kumpul-kumpul,” kata Mandor Jopi.

“Orang-orang muda ini adalah penanggong. Marika harus karja di kebun kopi,” kata opas Brons menyambung.

Dua kepala jaga yang beserta mereka hanya diam. Mereka berdiri di belakang opas dan mandor.

“Kapala jaga, kita orang harus bawa ke kebun ini orang-orang muda,” ujar mandor sambil menunjuk kepada para murid papendangan.

“Tuang-tuang. Marika itu belum kena wajib karja,” kata tonaas Pandei.

“Apa kamu orang trada dengar plakat malam tiga hari lalu. Kepala jaga, coba liat nama-nama penanggong di negeri ini,” kata mandor.

“Iya tuang. Ini ada nama Mandey, Endos, deng Wongken,” kepala jaga membacakan daftar nama wajib kerja.

“Mana orang yang punya nama-nama tadi?” tanya Mandor tegas.

Ketiga nama yang disebut menyahut serentak.

“Capat, pigi ka kobong kamu-kamu orang,” opas berkata sambil hendak menarik Mandey dan teman-temannya.

“Nembole, tuang. Marika itu ada sama kita,” kata tonaas Pandei sambil maju ke depan menghalau opas.

“Eits, tetek tua mo melawan pemerentah?!”

“Nyanda bagitu tuang.”

“Persetang...!!! Capat, bajalang.”

“Mari maso jo dulu. Torang bacirita bae-bae, tuang-tuang,” kata tonaas Pandei.

“Trada carita, tonaas!” kata opas mulai marah.

“Kita orang trada mau karja siksa itu,” kata Wongken yang tampaknya mulai berani.

“Apa ngana bilang! Kamu orang mo suka maso bui? Mo malawang!” Mandor marah.

Walian Ringkan mencoba menenangkan Wongken yang mulai panas hatinya. Endos tampak berdiri dengan sigap.

Tapi opas ternyata sudah marah betul. Dia maju ke depan mendekati Wongken dan memegang tangannya dengan kasar. Wongken lalu menarik tangannya dan terlepas.

“Ngana ini mo malawang!” opas berkata marah. Suaranya meninggi.

“Tabea tuang-tuang, sodara-sodara. Ada apa ini?” Tuang pandita yang kebetulan lewat di situ menyapa mereka.

“Eh, tuang pandita. Siang bae, tuang pandita,” mandor menyapa tuang pandita Duverman.

Melihat kedatangan tuang pandita Duverman, opas melangkah mundur.

“Ini orang-orang muda nyanda ka kobong. Dorang itu penanggong, tuang pandita,” kata mandor.

Tuang pandita Duverman melangkah maju dan mengambil posisi di tengah kerumunan itu.

“Maar, trada boleh baku-baku hela bagitu, tuang mandor. Nyanda bagus toh?” kata tuang pandita.

Tonaas Pandei dan walian Ringkan tampak tidak nyaman dengan kehadiran tuang pandita. Mandey merapat ke Wonken dan Endos.

“Kamu-kamu orang, pulang jo dulu, nanti kita orang yang bacirita dengan dorang,” kata tuang pandita menenangkan.

“Maar, tuang pandita...” Mandor mencoba menyanggah.

“Sudahlah tuang. Nanti saya yang bicara sama marika,” ujar tuang pandita.

Tuang pandita Duverman berhasil membujuk mandor, opas dan dua kepala jaga agar tidak memaksa Mandey, Wongken dan Endos bekerja di kebun kopi. Rombongan itu pun pulang dengan kecewa. Bagaimanapun mereka menghormati tuang pandita Duverman sebagai pendeta mereka.

Tonaas Pandei agaknya tidak terlalu terpengaruh oleh tindakan tuang pandita yang untuk sementara menyelamatkan murid-muridnya dari wajib kerja di kebun kopi. Mandey menjadi serba salah. Jika ia mendekat ke tuang pandita untuk katakanlah menyapanya, mungkin akan timbul kecurigaan dari tonaas Pandei bahwa ia sudah terpengaruh oleh tuang pandita. Tapi, di hati kecilnya Mandey sejujurnya merasakan sedikit kebaikan dari tuang pandita. Terhadap tuang pandita ia justru sedikit merasa terbeban karena percakapan tadi pagi ia bilang akan ke kebun tapi kedapatan ia ada di pendangan tonaas Pandei.

Tuang pandita diam-diam memperhatikan suasana itu. Pada satu pihak ia merasa ini kesempatan baik untuk berbicara dengan tonaas Pandei dan istrinya. Ini rencananya yang sudah lama. Tapi, ia merasakan ada penolakan dari suami istri itu. Tuang pandita Duverman pun berlalu dari situ.

Selain tonaas Pandei dan istrinya, tuang pandita Duverman juga sudah lama ingin bertemu dan bercakap dengan hukum tua  ro’ong itu. Orang-orang inilah yang bagi tuang pandita masih kuat dengan kepercayaan fosonya.

Memang sudah berdiri gereja dan midras di Tamberan, serta sudah semakin banyak orang-orang yang menjadi Kristen, tapi bagi tuang pandita Duverman, kunci untuk makin membuat Kristen di sini kuat adalah dengan mendekati pemimpinnya, tonaas, walian dan hukum tua. Untuk kaum mudanya, ia sementara berusaha mendekati Mandey.

Ketika tuang pandita Duverman berlalu dari tempat itu, tonaas Pandei kemudian mengumpul murid-muridnya. Walian Ringkan juga bersama mereka di bale-bale.

Ia lalu berbicara kepada mereka dalam bahasa Tompekawa. Ia mengatakan, bahwa situasi mereka yang mau terus menjaga kanaramen se Maasa semakin sulit. Orang-orang ditekan untuk bekerja rodi di kebun kopi. Zendeling terus memaksa mempengaruhi setiap orang agar menerima kekristenan.

"Kita berhadapan dengan ka ro’ong kita sendiri. Lihat tadi itu, kepala jaga, opas dan mandor mereka-mereka itu adalah saudara-saudara kita sendiri," ujar tonaas Pandei.

"Tapi tadi malam masih banyak orang yang mengikuti pesta foso," sambung walian Ringkan.

"Betul. Tapi sebagian dari mereka sudah Kristen.   Berapa lama lagi mereka tetap mempertahankan kanaramenta," balas tonaas Pandei.

"Untung hukum tua masih tetap mempertahankan kanaramen," kata Mandey.

"Apakah kita perlu mengatakan ini kepada hukum tua?" Kata Wongken.

"Iya..Perlu itu," sambung Endos.

"Tapi, hukum tua kita, seperti kapala-kapala di  ro’ong lain, mereka itu bekerjsama dengan mandor. Bukankah tanah-tanah kita yang sekarang telah menjadi perkebunan kopi karena hukum tua telah bekerjsama dengan mandor?" Kata Mandey.

"Ia menikmati kedudukannya. Karena ia juga mendapat untung dari pemerentah," kata tonaas Pandei.

"Hukum tua kita tidak dipilih lagi seperti apo kita memilih ukung atau pamatuan," ujar walian Ringkan.

"Mereka pasti akan kembali lagi ke sini," sambung Endos.

"Sampe papedangan ini tidak ada lagi," kata Mandey.

"Apakah kita harus melawan?" Kata Wongken.

"Jangan. Percuma. Ingatkah kalian apa jadinya Ruindung dan teman-temannya di  ro’ong Lowatan yang melawan pemerentah waktu lalu," tonaas Pandei berkata.

Sambil menyalakan tabakunya, ia melanjutkan, "Lowatan ditembak oleh opas. Teman-temannya dibui. Kita perlu memikirkan cara lain."

Lalu semua terdiam.

Dalam diam itu, tiba-tiba terdengar bunyi burung dari arah belakang rumah. Bunyi suara mulai dengan pelan dan perlahan lalu menyusul suara yang kuat dengan tarikan panjang. Bunyi itu berasal dari burung yang berbulu hitam, paruh kuning, ekor panjang berbuku kuning, leher berwarna merah.

"Wara ni endo..." kata walian Ringkan.

"Ehemm..." tonaas Pandei berdehem sambil menghetakkan kakinya tiga kali ke tanah.

Mandey, Wongken dan Endos terdiam.

"Awean kelewoan mamuali ang  ro’ongta[15]," kata walian Ringkan.(bersambung)


Nantikan bagian III: Si Mangalitow wo Si Mangalaun



[1] Bambu.
[2] Penutup kepala dari kain.
[3] Menurut tuturan, para pendahulu di tanah Malesung (sebutan lain untuk tanah Minahasa). Bahwa, ‘se tou Maasa’, mereka adalah telah saling membantu melawan orang-orang Mongondow, dan Tasikela (Spanyol/Portugis) atau Belanda.
[4] Sebutan untuk murid papendangan.
[5] Mulai sejak itu mereka memulai dengan menyebut diri atau mengambil nama ‘Maesa’ atau ‘maasa’. Nanti kemudian nama ini menjadi ‘Minahasa’ atau ‘Minaesa’.   
[6] Tali yang terbuat dari ijuk enau.
[7] Tali dari ijuk enau.
[8] Tombak khas Minahasa.
[9] Mengapa kau Mandey?
[10] Tidak apa-apa, tonaas
[11] Leluhur.
[12] Para prajurit yang menjaga kampung dan dan tradisi kita. Mereka disebut kelung um banua. Orang-orang maasa di masa lalu, mereka adalah leluhur kita kuat, teguh dan cerdas/pandai. Karena itulah mereka menjadi pendahulu kita.
[13] Dialah yang tidak benar. Dialah yang akan merusak kampung kita. Merusak kehidupan dan tradisi kita.
[14] Jadi, apa yang akan kita buat?
[15] Ada yang tidak baik akan terjadi di kampung kita.

No comments :

Post a Comment