PERCAKAPAN yang tak menyenangkan dengan tuang pandita Duverman tak membatalkan rencana Mandey pergi ke rumah tonaas Pandei. Ia terlambat.
Mandey kini berada di depan sebuah rumah panggung. Pekarangan
rumah ini ditumbuhi beberapa jenis tanaman. Tanaman tawaang terdapat di hampir setiap pinggiran pekarangan.
Tepat di bagian depan rumah, sebuah patung manusia terbuat
dari kayu setinggi orang dewasa berdiri. Patung ini menandakan bahwa pemilik
rumah ini adalah tona’as atau walian sebab ia terkait dengan foso-foso yang dilakukan.
Sebuah watu lonjong
meruncing ke atas berdiri di sudut pekarangan. Saat melakukan foso tertentu yang dipimpim walian, orang-orang mengitari watu itu.
Di sebelah rumah panggung itu, seorang lelaki tua sedang duduk di bale-bale bulu[1].
Pohon-pohon yang tumbuh di situ membuat sinar matahari tak langsung mengenai
orang-orang di bawahnya. Lelaki tua itu mengenakan
celana setinggi lutut. Kepalanya ditutupi poporong[2]
terbuat dari kain Bentenan. Tabaku terselip di jari jemarinya. Bau tembakau,
kemenyan dan karimenga khas di rumah ini. Sekira empat orang muda membentuk
setengah lingkaran duduk berhadapan dengan Tonaas Pandei.
Mandey tampak ragu memasuki pekarangan rumah. Tapi suara seorang perempuan tua menyapanya.
Nenek Ringkan. Ia istri tonaas Pandey. Nenek Ringkan adalah salah satu walian di ro’ong
Tamberan.
"Mandey, mengapa baru datang. Sudah terlambat,"
kata Nenek Ringkan yang dari mulutnya kentara ia sedang mengunyah sirih-pinang.
Mandey hanya diam. Dia tak mungkin berterus terang kalau
dia terlambat karena bercakap dengan tuang pandita tadi.
Nenek Ringkan lalu diam. Tapi dari gerak tubuhnya seolah
memberi isyarat agar Mandey segera bergegas masuk. Tanpa bertanya lagi, Mandey
pun segera merapat ke kelompok papendangan.
Ketika Mandey mengambil posisi duduk, tonaas Pandei
sedang berbicara serius. Diapun tidak memedulikan kehadiran Mandey yang
terlambat. Di samping tempat duduknya terdapat wadah kecil berisi sirih-pinang.
“Koemiit
in sisil, se touw ririor an tana im Malesung. Sapake, ‘se tou Maasa’, sera se mësembo-sembongan
sumaru se Mongondou wo se Tasikela kaapa Walanda[3],” tonaas Pandei menjelaskan tentang arti maasa.
Sebelum datangnya kompeni atau VOC lalu kemudian
pemerintah Hindia Belanda, orang-orang di Tanah Malesung beberapa kali
berperang besar melawan kekuatan-kekuatan dari luar. Namun, di saat tidak ada
musuh atau kekuatan dari luar yang mengancam, perang justru terjadi antara walak-walak.
Maasa adalah persatuan dari walak-walak
dan pakasaan-pakasaan Minahasa di
masa berperang melawan pasukan kerajaan Mongondow, lalu Tasikela dan kaum
Bantik. Kaum Toumpakëwa, Tombulu, Toulour dan Tonsea bersatu menghadapi kekuatan-kekuatan
musuh.
Tonaas Pandei rupanya sedang memberi pelajaran tentang
sejarah asal mula se Maasa. Sebagai
pelajaran yang penting bagi para pahayowan[4]
yang nanti akan menjadi bekal pengetahuan bagi mereka untuk menjadi tonaas atau walian.
Para murid yang lain mendengar secara seksama apa yang
dituturkan oleh tonaas Pandei. Hanya Mandey yang tampak tak tenang, meskipun
dia berusaha untuk menunjukkan bahwa dia menyimak secara seksama pula.
“Tumötol
ai a niïtu se touw isera itumuul in ngaran era kaapa imindo ngaran ‘Maësa’
kaapa ‘Maasa’. An somoj oka mai ja ën ngaran anió imamuali ‘Minahasa kaapa
Minaesa’[5]," kata tonaas Pandei sambil mengunyah sirih-pinang.
Di masa Spanyol, leluhur yang mendirikan negeri Tamberan
dan beberapa negeri lainnya adalah pemasok tali gomutu[6] untuk
dipakai di kapal. Beberapa negeri lainnya di lembah memasok padi. Kesemuanya
itu dibawa ke Benteng di Uwuran, Amurang.
Pada suatu masa orang-orang se Maasa di bagian Selatan tanah Malesung merasa bahwa hubungan
mereka dengan Spanyol tidak adil. Maka, merekapun menyatakan perlawanan, yaitu
menolak memasok tali gomutu[7] dan beras.
Spanyol marah, lalu kemudian terjadi perang yang hebat.
Salah satu pemimpin perang itu adalah leluhur Mandey
bernama Ririmbeng. Ia terkenal dengan kemampuannya menggunakan wengkow[8].
Meski waraney-waraney yang dipimpin teterusan
dari negeri dan walak-walak lain
datang membantu, tapi perang itu dimenangkan oleh Spanyol. Mawale, pemukiman pertama leluhur Tamberan hancur dibakar oleh
pasukan Spanyol. Meski kalah, orang-orang Maasa
tidak mau tunduk. Mereka kemudian menyingkir ke hutan. Setelah Spanyol
tidak lagi memiliki kuasa karena dikalahkan oleh pasukan Belanda, para leluhur
kemudian mendirikan pemukiman baru yang tidak jauh dari Mawale. Itulah Tamberan kini.
Setelah menguraikan panjang lebar tentang Se Maasa, tonaas Pandei lalu berhenti
berbicara. Istrinya walian Ringkan kini telah duduk di sampingnya di bale-bale
itu.
Kecuali Mandey, para murid yang lain segera mengerjakan
apa yang mereka bisa kerjakan sebagaimana
biasanya mereka di rumah itu. Tonaas Pandei kemudian memanggil Mandey untuk
duduk di sampingnya.
Keluarga Mandey dan keluarga tonaas Pandei sebenarnya masih
memiliki hubungan keluarga. Suru[11]
mereka adalah teterusan Ririmbeng. Sehingga, bagi tonaas Pandei dan walian
Ringkan, Mandey adalah seperti anak mereka sendiri.
Lantaran itu juga Mandey akrab dan sering tidak
segan-segan mengutarakan apa yang dia gelisahkan. Mandey lalu cerita soal
percakapannya dengan tuang pandita Duverman, kemarin dan tadi pagi.
“Se waraney tumeir ro’ong wo kanaramenta. Sera si pekua kelung um
banua. Se tou maasa rior, sera apota keter, niatean, wo nga’asan. Si’itu sera
mamuali apo[12],”
kata tonaas Pandei.
Mandey lalu mengatakan yang dia dengar dari tuang pandita
Duverman tentang luasnya dunia ini. Mandey berkata lagi, bahwa menurut tuang
pandita itu, foso dan kanaramen kaumnya tidak memberi faedah
sebab banyak yang tidak benar.
“Sia si ca
wutul. Sia si lumewo ro’ongta. Lumewo
kinatowanta wo kanaramenta[13],” tegas tonaas Pandei.
Sementara mereka bercakap, tiba-tiba terdengar suara orang
masuk ke pekarangan. Empat orang datang dengan marah-marah. Dua kepala jaga, satu opas, seorang yang
lain adalah mandor kebun kopi.
Tonaas Pandei dan Mandey serta beberapa orang lainnya di
situ segera berkumpul dan menemui orang-orang yang datang itu. Nenek Ringkan
tampak berdiri di dekat suaminya.
“Slamat siang, tuang,” sapa tonaas Pandei kepada
rombongan itu.
“Apa yang sedang tuang buat ini? Ini hari kerja, bukan
kumpul-kumpul,” kata Mandor Jopi.
“Orang-orang muda ini adalah penanggong. Marika harus karja di kebun kopi,” kata opas Brons
menyambung.
Dua kepala jaga yang beserta mereka hanya diam. Mereka
berdiri di belakang opas dan mandor.
“Kapala jaga, kita orang harus bawa ke kebun ini
orang-orang muda,” ujar mandor sambil menunjuk kepada para murid papendangan.
“Tuang-tuang. Marika itu belum kena wajib karja,” kata
tonaas Pandei.
“Apa kamu orang trada dengar plakat malam tiga hari lalu.
Kepala jaga, coba liat nama-nama penanggong di negeri ini,” kata mandor.
“Iya tuang. Ini ada nama Mandey, Endos, deng Wongken,”
kepala jaga membacakan daftar nama wajib kerja.
“Mana orang yang punya nama-nama tadi?” tanya Mandor
tegas.
Ketiga nama yang disebut menyahut serentak.
“Capat, pigi ka kobong kamu-kamu orang,” opas berkata
sambil hendak menarik Mandey dan teman-temannya.
“Nembole, tuang. Marika itu ada sama kita,” kata tonaas
Pandei sambil maju ke depan menghalau opas.
“Eits, tetek tua mo melawan pemerentah?!”
“Nyanda bagitu tuang.”
“Persetang...!!! Capat, bajalang.”
“Mari maso jo dulu. Torang bacirita bae-bae,
tuang-tuang,” kata tonaas Pandei.
“Trada carita, tonaas!” kata opas mulai marah.
“Kita orang trada mau karja siksa itu,” kata Wongken yang tampaknya mulai berani.
“Apa ngana bilang! Kamu orang mo suka maso bui? Mo
malawang!” Mandor marah.
Walian Ringkan mencoba menenangkan Wongken yang mulai
panas hatinya. Endos tampak berdiri dengan sigap.
Tapi opas ternyata sudah marah betul. Dia maju ke depan
mendekati Wongken dan memegang tangannya dengan kasar. Wongken lalu menarik
tangannya dan terlepas.
“Ngana ini mo malawang!” opas berkata marah. Suaranya
meninggi.
“Tabea tuang-tuang, sodara-sodara. Ada apa ini?” Tuang
pandita yang kebetulan lewat di situ menyapa mereka.
“Eh, tuang pandita. Siang bae, tuang pandita,” mandor
menyapa tuang pandita Duverman.
Melihat kedatangan tuang pandita Duverman, opas melangkah mundur.
“Ini orang-orang muda nyanda ka kobong. Dorang itu
penanggong, tuang pandita,” kata mandor.
Tuang pandita Duverman melangkah maju dan mengambil
posisi di tengah kerumunan itu.
“Maar, trada boleh baku-baku hela bagitu, tuang mandor.
Nyanda bagus toh?” kata tuang pandita.
Tonaas Pandei dan walian Ringkan tampak tidak nyaman dengan kehadiran tuang pandita. Mandey merapat ke Wonken dan Endos.
“Kamu-kamu orang, pulang jo dulu, nanti kita orang yang
bacirita dengan dorang,” kata tuang pandita menenangkan.
“Maar, tuang pandita...” Mandor mencoba menyanggah.
“Sudahlah tuang. Nanti saya yang bicara sama marika,”
ujar tuang pandita.
Tuang
pandita Duverman berhasil membujuk mandor, opas dan dua kepala jaga agar tidak
memaksa Mandey, Wongken dan Endos bekerja di kebun kopi. Rombongan itu pun
pulang dengan kecewa. Bagaimanapun
mereka menghormati tuang pandita Duverman sebagai pendeta mereka.
Tonaas
Pandei agaknya tidak terlalu terpengaruh oleh tindakan tuang pandita yang untuk
sementara menyelamatkan murid-muridnya dari wajib kerja di kebun kopi. Mandey
menjadi serba salah. Jika ia mendekat ke tuang pandita untuk katakanlah
menyapanya, mungkin akan timbul kecurigaan dari tonaas
Pandei bahwa ia sudah terpengaruh oleh tuang pandita. Tapi, di hati kecilnya Mandey sejujurnya merasakan
sedikit kebaikan dari tuang pandita. Terhadap tuang pandita ia justru sedikit
merasa terbeban karena percakapan tadi pagi ia bilang akan ke kebun tapi
kedapatan ia ada di pendangan tonaas Pandei.
Tuang
pandita diam-diam memperhatikan suasana itu. Pada satu pihak ia merasa ini
kesempatan baik untuk berbicara dengan tonaas Pandei dan istrinya. Ini
rencananya yang sudah lama. Tapi, ia merasakan ada penolakan dari suami istri
itu. Tuang pandita Duverman pun berlalu dari situ.
Selain
tonaas Pandei dan istrinya, tuang pandita Duverman juga sudah lama ingin
bertemu dan bercakap dengan hukum tua ro’ong itu. Orang-orang inilah yang bagi
tuang pandita masih kuat dengan kepercayaan fosonya.
Memang sudah berdiri gereja dan midras di Tamberan, serta
sudah semakin banyak orang-orang yang menjadi Kristen, tapi bagi tuang pandita
Duverman, kunci untuk makin membuat Kristen di sini kuat adalah dengan
mendekati pemimpinnya, tonaas, walian dan hukum tua. Untuk kaum mudanya, ia
sementara berusaha mendekati Mandey.
Ketika
tuang pandita Duverman berlalu dari tempat itu, tonaas Pandei kemudian
mengumpul murid-muridnya. Walian Ringkan juga bersama mereka di bale-bale.
Ia
lalu berbicara kepada mereka dalam bahasa Tompekawa. Ia mengatakan, bahwa
situasi mereka yang mau terus menjaga kanaramen
se Maasa semakin sulit. Orang-orang
ditekan untuk bekerja rodi di kebun kopi. Zendeling terus memaksa mempengaruhi
setiap orang agar menerima kekristenan.
"Kita
berhadapan dengan ka ro’ong kita sendiri. Lihat tadi itu, kepala jaga, opas dan
mandor mereka-mereka itu adalah saudara-saudara kita sendiri," ujar tonaas
Pandei.
"Tapi tadi malam masih banyak orang yang mengikuti pesta foso," sambung walian Ringkan.
"Betul.
Tapi sebagian dari mereka sudah Kristen.
Berapa lama lagi mereka tetap mempertahankan kanaramenta," balas
tonaas Pandei.
"Untung hukum tua masih tetap mempertahankan kanaramen," kata Mandey.
"Apakah
kita perlu mengatakan ini kepada hukum tua?" Kata Wongken.
"Iya..Perlu
itu," sambung Endos.
"Tapi,
hukum tua kita, seperti kapala-kapala di ro’ong lain,
mereka itu bekerjsama dengan mandor. Bukankah tanah-tanah kita yang sekarang
telah menjadi perkebunan kopi karena hukum tua telah bekerjsama dengan
mandor?" Kata Mandey.
"Ia
menikmati kedudukannya. Karena ia juga mendapat untung dari pemerentah,"
kata tonaas Pandei.
"Hukum
tua kita tidak dipilih lagi seperti apo kita memilih ukung
atau pamatuan," ujar walian
Ringkan.
"Mereka
pasti akan kembali lagi ke sini," sambung Endos.
"Sampe papedangan ini tidak ada
lagi," kata Mandey.
"Apakah
kita harus melawan?" Kata Wongken.
"Jangan.
Percuma. Ingatkah kalian apa jadinya Ruindung dan teman-temannya di ro’ong
Lowatan yang melawan pemerentah waktu lalu,"
tonaas Pandei berkata.
Sambil
menyalakan tabakunya, ia melanjutkan, "Lowatan ditembak oleh opas.
Teman-temannya dibui. Kita perlu memikirkan cara lain."
Lalu
semua terdiam.
Dalam
diam itu, tiba-tiba terdengar bunyi burung dari arah belakang rumah. Bunyi suara mulai dengan pelan dan perlahan lalu menyusul
suara yang kuat dengan tarikan panjang. Bunyi itu berasal dari burung yang berbulu hitam, paruh kuning, ekor panjang berbuku
kuning, leher berwarna merah.
"Wara
ni endo..." kata walian Ringkan.
"Ehemm..."
tonaas Pandei berdehem sambil menghetakkan kakinya tiga kali ke tanah.
Mandey,
Wongken dan Endos terdiam.
"Awean kelewoan mamuali ang ro’ongta[15],"
kata walian Ringkan.(bersambung)
Nantikan bagian III: Si Mangalitow wo Si
Mangalaun
[1] Bambu.
[2] Penutup kepala dari kain.
[3] Menurut tuturan, para pendahulu di tanah Malesung
(sebutan lain untuk tanah Minahasa). Bahwa, ‘se tou Maasa’, mereka adalah telah
saling membantu melawan orang-orang Mongondow, dan Tasikela (Spanyol/Portugis)
atau Belanda.
[4] Sebutan untuk murid papendangan.
[5]
Mulai sejak itu mereka memulai
dengan menyebut diri atau mengambil nama ‘Maesa’ atau ‘maasa’. Nanti kemudian
nama ini menjadi ‘Minahasa’ atau ‘Minaesa’.
[6] Tali yang terbuat dari ijuk enau.
[7] Tali dari ijuk enau.
[8] Tombak khas Minahasa.
[9] Mengapa kau Mandey?
[10] Tidak apa-apa, tonaas
[11] Leluhur.
[12] Para
prajurit yang menjaga kampung dan dan tradisi kita. Mereka disebut kelung um
banua. Orang-orang maasa di masa lalu, mereka adalah leluhur kita kuat, teguh
dan cerdas/pandai. Karena itulah mereka menjadi pendahulu kita.
[13] Dialah
yang tidak benar. Dialah yang akan merusak kampung kita. Merusak kehidupan dan
tradisi kita.
[14] Jadi, apa yang akan kita buat?
[15] Ada yang tidak baik akan terjadi di
kampung kita.
Comments
Post a Comment