J. Alb. T. Schwarz dalam Tontemboansche Teksten (Leiden: E. J. Brill, 1907), buku berisi 141
cerita rakyat Minahasa (terutama di wilayah Tontemboan) ditambah dengan
peribahasa dan pantun-pantun mengkoleksi satu cerita berjudul “Sinisil an
doro’ I Wewene Nimatuama wo Nimindo Kolano” (Tuturan tentang Perempuan yang Mengambil Rupa Laki-laki, yang telah diangkat
menjadi Pemimpin)). Cerita ini dituturkan oleh Servius Rawung. Semua cerita,
peribahasa dan pantun di dalam buku ini ditulis dalam bahasa Tontemboan.
Berikut cerita tersebut yang telah saya terjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia:
Pernah terjadi bahwa ada
seorang pria miskin yang menikahi seorang wanita yang juga sangat miskin.
Beberapa bulan kemudian,
wanita itu memiliki seorang anak perempuan, tetapi beberapa hari setelah
kelahiran anak itu suami sang istri atau ayah dari si bayi meninggal dunia.
Ketika anak menjadi dewasa,
ia melihat bahwa ibunya adalah seorang
perempuan miskin. Kemudian si Anak berkata kepada ibunya, “Bagaimana kita bisa
begitu miskin? Makanan kita hanya tersedia untuk satu hari."
Ibunya menjawab:
"Beginilah ibumu dari dulu sampai sekarang."
Anak itu lalu berkata,
"Jika kau berkenan, belikan aku kain untuk dijahit.”
Si ibu membelikannya
kain, lalu menjahitnya menjadi pakaian. Satu celana dan kemeja.
Kemudian
anak perempuannya itu berkata, “Jika engkau berkenan, guntinglah rambutku.”
Ibunya
berkata, “Apa gunanya itu? Seolah-olah kau anak orang Belanda sehingga harus
menggunting rambut?”
Si anak
berkata, “Guntinglah rambutku jika kau berkenan.”
Ibunya
menjadi kesal dengan permintaan anaknya, tapi kemudian mengikuti permintaan
anaknya.
Lalu si anak
memakai pakaian yang telah dijahit ibunya dan menghadap pemimpin negeri itu.
Ketika tiba di rumah kepala negeri itu dia berkata kepadanya, “Jika kau
menghendaki, aku ingin menjadi prajuritmu (suraro).”
Si pemimpin
negeri menjawab, “Baik. Jika kau mau menjadi prajuritku.”
Adapun
pemimpin negeri ini memiliki seorang anak perempuan yang cantik yang telah dia
asuh secara baik. Banyak orang yang menyukainnya tapi tidak ada satupun dari
mereka yang membuat dia tertarik.
Pada suatu pagi,
para prajurit keluar dan disuruh berbaris di depan rumah pemimpin itu. Gadis
anak pemimpin negeri itu melihat seorang prajurit baru itu.
Sang gadis
kemudian berkata kepada ayahnya, “Ayah, sekarang aku ingin menikah, tetapi
tidak ada orang lain yang bisa menikah denganku kecuali dia.” Si gadis menunjuk
ke prajurit baru itu.
Ketika
pemimpin negeri mendengar itu, dia segera berkata kepada prajurit baru bahwa
dia harus menikahi Putrinya karena putrinya mengingini dia.
Si putri dan
si prajurit baru itu pun menikah. Si pemimpin negeri lalu mengangkat menantunya
menjadi komandan pasukan.
Setelah
beberapa bulan berlalu, sang Putri pergi ke rumah orang tuanya dan menceritakan
apa yang terjadi dalam pernikahan mereka. Dia berkata kepada pemimpin negeri dan
istrinya: “Bahwa aku sekarang adalah istri dari prajurit, itu luar biasa, tetapi tidak pernah sekalipun
kita membuktikan cinta kami satu sama lain."
Pemimpin negeri,
ayahnya itu khawatir tentang ini, dan karena itu ia mencari cara untuk menghancurkan
pernikahan anaknya. Dia kemudian teringat, bahwa di sebelah Timur, arah terbitnya
matahari, ada sebuah negeri pemakan orang. Siapa pun yang pergi ke tempat itu tidak
akan dapat kembali lagi. Jadi pemimpin negeri mengirim suami putrinya dengan
beberapa prajurit untuk pergi dan mengambil uang dan sebotol air hidup dari
Timur.
Maka mereka
pergi ke Timur. Setelah berjalan beberapa hari, mereka tiba di sana. Ketika mereka tiba di rumah pemimpin negeri
di Timur itu, mereka tidak ditawan, tetapi mereka selalu diperlakukan dengan
hormat hanya karena mereka mengenakan pakaian kerajaan. Ketika menatu pemimpin
negeri yang adalah komandan prajurit dan
teman-temannya makan dan menyiapkan apa yang akan mereka bawa, mereka pergi dan
kembali ke pemimpin mereka.
Di tengah
jalan, menantu pemimpin negeri berkata,
“Kita tidak akan mengikuti lagi jalan seperti yang kita lewati, tetapi kita
akan melewati jalan lain.”
Ketika
mereka melanjutkan perjalanan, mereka tiba di sebuah gubuk milik seorang janda,
tetapi janda itu tidak ada di gubuk itu karena ia sedang memetik sayuran di
tengah-tengah kebun. Itu sebabnya mereka tinggal di gubuk. Di sana, mereka
melihat nasi yang sedang dipanggang.
Karena
pemilik pondok kebun tidak ada di sana, mereka mencuri nasi dan memakannya
dengan tergesa-gesa. Setelah mereka makan, mereka melarikan diri secepat
mungkin, kembali berjalan.
Ketika
mereka sampai di pinggiran kebun, mereka
mendengar janda itu menjerit. Ketika Janda itu berteriak, dia terus menerus
mengutuk para pencuri itu, sambil berkata dengan suara keras,
"Terkutuklah mereka yang makan nasi yang telah aku masak;
jika mereka laki-laki, mereka harus menjadi perempuan, dan jika mereka
perempuan, mereka harus menjadi laki-laki."
Mendengar
teriakan janda itu, para prajurit ketakutan. Masing-masing orang melihat diri
mereka sendiri. Para prajurit yang laki-laki, oleh kutukan itu telah menjadi
perempuan. Komandan mereka, menantu raja yang perempuan (telah menjadi
laki-laki), kini benar-benar telah menjadi laki-laki. Mereka kemudian
melanjutkan perjalanan dengan penuh keheranan.
Merekapun
tiba kembali di rumah pemimpin negeri dan menyerahkan apa yang telah mereka
peroleh. Tapi pemimpin negeri sangat terheran-heran
melihat bahwa para prajurit yang telah dia utus itu tidak tampak lagi, kecuali
menantunya yang kini telah benar-benar menjadi laki-laki.
Beberapa
hari kemudian sang Putri kembali ke rumah pemimpin negeri dan memberi tahu dia
dan istrinya lagi bahwa ada kebahagiaan dan cinta dalam pernikahan mereka,
karena suaminya benar-benar telah menjadi laki-laki. Kemudian pemimpin negeri bersukacita,
sehingga dia memberikan suaminya jabatan tinggi.
Ketika pemimpin
negeri sudah tua, dia mengundurkan diri dari jabatannya. Dia lalu mengangkat
menantunya sebagai pemimpin negeri menggantikan dia.
Dengan
demikian, anak perempuan janda miskin itu, kini telah menjadi laki-laki dan
pemimpin negeri.
***
J. Alb. T. Schwarz dalam pengantarnya pada buku itu (ditulis di Kolongan Atas Sonder, tempat dia bertugas sebagai hulpprediker) tertanggal Desember 1904 menuliskan, teks-teks (yang berjumlah 141
cerita itu) di dalam buku itu adalah hasil dokumentasinya selama melaksanakan
tugasnya sebagai zendeling NZG di Minahasa, terutama wilayah Tontemboan dari tahun
1861 hingga 1903.
Cerita-cerita itu, kata Schwarz, sebagian direkamnya
langsung dari tuturan para pencerita; beberapa
di antaranya ditulis oleh pencerita sendiri atau ditulis oleh orang-orang
Minahasa yang telah telah maju secara pendidikan.
Maksud awal Schwarz mengumpul cerita-cerita ini adalah
dalam rangka studi bahasa di tempat dia melakukan pekerjaan sebagai zendeling.
Dalam studi ini termasuk adalah untuk mempelajari tradisi, agama dan pemikiran
serta sejarah.
Menurut Schwarz, cerita ini memiliki kemiripan dengan
beberapa cerita di beberapa daerah lain di pulau Celebes, semisal di Toraja.
Biasanya cerita seperti ini menggambarkan seorang perempuan yang menyamar
menjadi laki-laki supaya dapat bekerja untuk membayar hutang keluarga.
Salah satu yang digambarkan dalam cerita-cerita tersebut
adalah konteks masyarakat yang membedakan jenis kelamin dalam dalam
fungsi-fungsi dan kerja. Perempuan yang mau bekerja di ranah publik, menurut
cerita itu mesti mengambil rupa laki-laki.
Gagasan yang sama ditemukan pada cerita "Wewene
Nituama" tersebut. Ada keluarga, janda miskin, anak perempuan, lalu
keluarga pemimpin negeri, suami, ayah dan anak gadis. Ini gambaran masyarakat
heteronormativitas.
Laki-laki adalah pekerja. Pemimpin adalah laki-laki. Ini
ciri masyarakat patriakhi. Sepertinya cerita ini bertolak belakang dengan
pandangan umum masyarakat Minahasa modern, bahwa tradisi leluhur menempatkan
perempuan dan laki-laki secara setara.
Ini seolah memberi indikasi konteks waktu cerita.
Tersebut dicerita "seperti anak Walanda (Belanda)” yang mengindikasikan
bahwa cerita rakyat ini mengambil konteks waktu masa kolonial. Masa di mana masyarakat
Minahasa sudah sangat dipengaruhi oleh ideologi patriakhi Eropa, baik politik
pemerintahan terutama melalui kehadiran keluarga-keluarga zendeling.
Keluarga zendeling memperkenalkan pembedaan jenis kelamin
dalam fungsi dan kerja. Zendeling yang semua laki-laki, dalam sistem "anak
piara" memperlakukan pemuda-pemuda Minahasa yang direkrut untuk
dipersiapkan menjadi penolong, sebagai
calon pelayan publik di bidang keagamaan. Mereka diajar pengetahuan agama dan kerja
mereka yang lain adalah mengawal zendeling ketika melakukan pelayanan publik.
Para pemudi bersama dengan istri zendeling. Mereka diajar ketrampilan memasak,
membersihkan rumah dan kerajinan-kerajinan tangan.
Di masa kolonial pejabat-pejabat publik pemerintahan dan
keagamaan semuanya adalah laki-laki. Tapi, tradisi Mapalus yang masih terus
dijalankan di pegunungan selama abad itu melibatkan perempuan dan laki-laki
bekerja bersama-sana di kebun.
Cerita ini dituturkan oleh seorang Minahasa. Seorang yang
hidup dalam masyarakat hetero dan patriarkhi. Dengan demikian, cerita justru
mau menggambarkan apa yang benar-benar hidup dalam alam pemikiran masyarakat
waktu.
“Wewene Nimatuama”
adalah seorang perempuan muda yang
telah mengambil rupa sebagai laki-laki dengan alasan untuk bekerja. Dalam arti
ia sebagai penyamaran, cerita ini tampaknya masuk akal dan biasa. Tapi kisah
cinta antara seorang perempuan dengan seorang perempuan (yang berpenampilan
laki-laki), lalu berakhir bahagia, ini yang menarik.
Proses "perempuan menjadi laki-laki" dalam
cerita ini terjadi dalam dua tahap. Pertama untuk maksud berpura-pura, kedua
terjadi karena tidak dikehendaki, yang dalam cerita ini disebut oleh kutukan.
Dalam hal ia sebagai penyamaran, rupanya ia mendapat
penolakan. Heteronormativitas dan ideologi patriarkhi telah mengkonstruksi
pembedaan jenis kelamin dalam dunia kerja, bahwa perempuan di wilayah domestik
dan laki-laki di wilayah publik. Cerita ini seolah mau memberi gambaran tentang
masyarakat patriakhi yang memaksa perempuan untuk mengambil rupa laki-laki agar
dapat diterima dalam masyarakat.
Tapi, berbeda ketika perubahan itu karena kutukan,
sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki. Pada banyak cerita rakyat atau mitos,
kutukan adalah hukuman yang mengerikan, menyebabkan kematian atau penderitaan. Tapi,
pada cerita ini, kutukan tidak bermakna hukuman yang mengerikan. Tidak
disebutkan dalam cerita yang terkena kutukan mengalami penderitaan.
Alur cerita kemudian mengantar kita pada penerimaan dan
pengakuan terhadap eksistensi ‘wewene nimatuama’ (perempuan yang mengambil rupa
laki-laki), yaitu ketika pada akhirnya keberadaan dirinya terungkap dan
benar-benar telah menyatakan diri sebagaimana ia ada. Masyarakat pada akhirnya
mengakui dirinya dengan segala keberadaaan seksualitasnnya.
Kutukan itu justru digambarkan telah membuat "wewene
nimatuama" dapat membahagiakan
istrinya. Bahkan justru cerita berakhir dengan diangkatnya dia menjadi pemimpin
negeri.
Barangkali pesannya adalah, sebagai fakta dalam
masyarakat maka adanya anggota masyarakat yang demikian, oleh kesadaran dan
pemahaman kultural, mesti diterima dan diakui eksistensinya.
Artinya, cerita ini seolah hendak mau memberikan
gambaran, bahwa pada akhirnya seksualitas adalah sesuatu yang penting, tapi
lebih penting dari itu adalah kualitas masing-masing orang dalam menyatakan
fungsi, peran dan kebaikan-kebaikan untuk kehidupan bersama.
Meski cerita ini rupanya menggambarkan konteks masa
kolonial, tapi sejumlah mitos Minahasa lain dari masa yang jauh ke belakang,
utamanya mitos Lumimuut-Toar-Karema, Keke Pandagiyan, dan lain sebagainya memang
memberi indikasi adanya penerimaan pada perubahan yang tidak biasa pada manusia
dan pengakuan bahwa selalu ada kemungkinan bagi setiap orang untuk berkembang
atau berubah menjadi berbeda. (*dennipinontoan)
Comments
Post a Comment