![]() |
Rumah Sakit Sipil di Manado yang dibangun tahun 1902 (sumber: colonialhospitals.com/KITLV) |
Flu Spanyol atau pandemi influenza yang melanda dunia tahun 1918 juga menyebabkan banyak korban meninggal di Minahasa. Ini terjadi di masa baik tenaga maupun fasilitas medis masih sangat minim
FLU Spanyol
atau pandemi influenza yang disebabkan oleh virus H1N1 yang menimpa masyarakat
dunia pada tahun 1918 juga menyebar hingga ke Minahasa. Diperkirakan pandemi
ini telah menyebabkan 20 sampai 40 juta orang sedunia meninggal dunia. Sementara
jumlah korban meninggal di Hindia Belanda diperkirakan mencapai 1,5 juta.
Menurut Priyanto Wibowo, dkk dalam buku mereka Yang Terlupakan, Sejarah Pandemi Influenza
1918 di Hindia Belanda (terbit tahun 2009), virus influenza telah hadir di Hindia
Belanda pada bulan Juli. Pada bulan Januari, Konsul Belanda di Hongkong
melaporkan kepada konsul Belanda di Singapura bahwa penguasa koloni Inggris di
sana telah mengeluarkan peringatan kepada warga untuk mewaspadai penyebaran virus
influenza tersebut. Itu berarti virus telah menyebar hingga ke Hongkong.
Lalu pada bulan April, Konsul Belanda di Singapura
memberi peringatan kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk mencegah
kapal-kapal dari Hongkong. Tapi peringatan itu tidak diindahkan oleh
pemerintah. Pada bulan Juli, dilaporkan telah ditemukan sejumlah pasien
influenza di beberapa rumah sakit.
A. C. N. Bouvy, seorang
dokter Belanda yang bertugas di Minahasa selama 4 tahun pada artikelnya “De Minahassa En De Geneeskunst”
dalam Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië Deel 80, 2/3de Afl terbit tahun 1924 menulis,
flu Spanyol di wilayah keresidenan Menado mulai menular pada Juli dan Agustus
1918. Itu artinya bersamaan dengan Batavia atau kota-kota pelabuhan lainnya di
Hindia Belanda.
Bouvy menulis, penyakit ini dimulai di Manado, sebagai
pusat keresidenan dalam skala yang kecil dan jinak. Sudah pasti, orang-orang
pembawa virus datang ke Manado melalui jalur laut. Pada bulan Oktober ia telah
meluas dan menjadi sulit dikontrol dan ditangani.
Epidemi Influenza
rupanya sangat berdampak pada orang-orang Minahasa. “Ketika saya memeriksa epidemi
atau penyakit menular mana yang berkobar di Menado selama saya tinggal, gambar
dalam memori yang
berlaku saat ini dibentuk oleh penyakit Flu Spanyol,” tulis
Bouvy.
Kata Bouvy, oleh karena penyakit ini tidak memiliki obat,
maka perawatan dilakukan dengan cara simtomatik atau pengobatan untuk
mengurangi rasa sakit. Kesembuhan terutama adalah dengan perawatan dan cara
pasien menghadapi penyakit tersebut.
Pandemi Flu Spanyol di Minahasa, dan begitu pada umumnya
di Hindia Belanda terjadi pada masa fasilitas dan tenaga medis masih sangat
minim. Bouvy menggambarkan keadaan ini dengan mengatakan, di Minahassa masa
itu terdapat seorang
dokter Eropa, dua dokter Pemerintah dan beberapa orang
perawat.
Rumah Sakit Sipil Menado yang dibangun tahun
1902, sebagai satu-satunya rumah sakit pemerintah waktu itu, sungguh
memprihatinkan. Terdapat empat bangsal, tapi dengan loteng yang buruk. Menurut
penilaian Bouvy, rumah sakit ini sebenarnya tidak memenuhi syarat.
Nanti setelah pandemi itu, baru terjadi perubahan. Ada
enam enam gadis
pribumi yang dilatih sebagai perawat, juga penunjukkan seorang seorang perawat berkualifikasi
Eropa ditunjuk.
Rumah sakit
diperluas; nutrisi
ditingkatkan, dan pembangun ruang khusus untuk penyakit serius.
Karena minimnya tenaga medis, maka banyak pasien Flu
Spanyol yang meninggal karena terlambat dirawat. “Saya telah menyelidiki dan merawat
ribuan kasus, sering disebut ketika sudah terlambat,” tulis
Bouvy.
Tidak terdapat jumlah pasti orang Minahasa yang meninggal
karena flu ini. Tapi berdasarkan sejumlah sumber menyebutkan bahwa kematian di
Menado dan Minahasa cukup tinggi, terutama pada gelombang kedua yaitu dimulai
bulan Oktober. David Henley dalam Fertility,
Food and Fever: Population, Economy and Environment in North and Central
Sulawesi, 1600-1930 mengutip F.H.W.J.R. Logeman (dalam laporannya berjudul ‘Memorie
van overgave van de residentie Menado’, terbit tahun 1922) menyebutkan, salah satu
penyebab tingkat kematian di Menado tinggi adalah karena infeksi penyakit
malaria yang sebelumnya adalah pembunuh nomor satu di daerah ini. Malaria telah
melemahkan imunitas atau daya resistensi terhadap virus yang menyebabkan
penyakit flu tersebut.
Selain warga yang meninggal, Bouvy menyebutkan, penyakit
ini juga telah membunuh banyak rekan pekerja medisnya. “Banyak rekan telah meninggal secara
terhormat dalam
perjuangan melawan penyakit ini, meninggalkan janda mereka tanpa pensiun yang cukup,”
tulis Bouvy.
Di kalangan orang-orang Minahasa sendiri, menurut Bouvy,
kebanyakan tidak mengerti penyakit ini. Ketika terpapar virus banyak yang tidak
mengetahui apa yang terjadi. Ketika gejala mereda di masa awal sejak pertama terpapar
virus, banyak yang merasa sudah sembuh. Padahal, bahaya dari penyakit ini baru
dimulai. “Selama
demam dan setidaknya delapan hari setelah itu, seseorang harus tetap
beristirahat,” tulis Bouvy.
Orang-orang belum mengerti pentingnya ‘bed rest’ atau tirah baring,
yaitu beristirahat di tempat tidur secara berkualitas untuk merawat penyakit
yang diderita di rumah sakit. Menurut Bouvy, salah satu penyebab orang-orang
tidak betah tidur lama karena tempat tidur yang tidak diperuntukkan bagi orang
sakit. Tempat tidur yang disebut Bouvy itu terdapat di rumah sakit yang
menurutnya tidak layak itu. Tapi, ternyata orang pribumi yang sakit suka tidur
di ranjang yang berkasur.
“Dalam
pengalaman saya, pribumi yang
sakit selalu merasa nyaman di ranjang dengan kasur,” tulis
Bouvy.
Setelah beberapa tahun pandemi Flu Spanyol usai, yaitu
tahun 1924, jumlah penduduk Minahasa mengalami peningkatan cukup signifikan.
Abdul Rasyid Asba dalam bukunya berjudul Kopra
Makassar: Perebutan Pusat Dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional
di Indonesia terbit tahun 2007 mengutip data P. Boomgaard dan A.J. Gooszen (dalam
buku mereka berjudul Population trends
1795-1942: Changing Economy in Indonesia,
terbit tahun 1991) menyebutkan, bahwa pada tahun 1915 jumlah penduduk
Minahasa adalah 200 ribu jiwa, pada tahun 1924 meningkat menjadi 250 ribu jiwa.(*)
_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.
*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui:
082187097616
Comments
Post a Comment