Skip to main content

Buku Walian dan Tuang Pandita





“WALIAN DAN TUANG PANDITA”
Perjumpaan Agama Minahasa dan Agama Kristen pada Abad XIX
© Juli 2019

Penulis: Denni H.R. Pinontoan

Penerbit:
Pustaka Pranala
Alamat: Jl. Magelang km 20, Mlati, Sleman, DI Yogyakarta
Email: pustakapranala@gmail.com

Pinontoan, Denni H.R.,
“WALIAN DAN TUANG PANDITA”
Perjumpaan Agama Minahasa dan Agama Kristen
pada Abad XIX/Denni H.R. Pinontoan – Cet. 1. –  

ISBN: 978-623-7173-26-7



Buku ini membahas tentang kontak dan perjumpaan antara sistem dan praktek religi Minahasa dengan kekristenan melalui kehadiran para zendeling pada abad ke-19, terutama sejak tahun 1830-an hingga tahun 1890-an. Periode ini terutama berkaitan dengan kehadiran para zendeling utusan badan misi NZG yang sudah sejak zaman Joseph Kam (1817/1819), lalu Hellendoorn (1829), dan beberapa zendeling lainnya, lalu terutama sejak kedatangan Johann Gottlieb Schwarz dan Johann Frederik Riedel (1831) hingga masa penyerahan jemaat-jemaat yang dipelihara oleh para zendeling ke Indische Kerk (1875-1885) dan masa setelahnya hingga jelang akhir abad ke-19.

Di antara dua cara pandang dan kesimpulan mengenai sejarah perjumpaan pada periode itu, yaitu pada satu pihak dari badan zending atau zendeling sendiri, dan pada pihak lain tanggapan-tanggapan kritis dari pengkaji sejarah, etnolog dan studi politik kolonial seperti yang sudah diuraikan di atas, sudut pandang ketiga saya kira perlu dimajukan. Yaitu perspektif yang lebih banyak memberi perhatian pada narasi tentangg sikap, reaksi, resistensi, negosiasi dan transformasi yang dilakukan pihak penerima.Judul utama buku ini adalah Walian dan Tuang Pandita. Para walian atau imam memiliki kedudukan dan peran yang sentral dalam praktek religi Minahasa. Para zendeling – yang di sini mereka disapa dalam istilah Melayu, ‘pandita’ atau ‘tuang pandita’ – yang diutus oleh NZG, mulanya sangat kuat dengan pietisme (lalu berkembang ke corak berpikir yang lebih modern), tentu tidak lepas dari semangat kekristenan masa itu, yaitu semangat untuk memahsyurkan Injil Yesus Kristus di tengah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktek kepercayaan/religinya sendiri. Di dalam religi Minahasa sendiri, terutama di kalangan walian pada periode ini sebetulnya sedang mengalami dinamika ke arah yang tidak semata tentang spiritualitas dan religiusitas. Hal yang sama juga berlaku dalam perkembangan kekristenan. Dominasi Indische Kerk dalam pengaruh kuat kepentingan kolonialisme pemerintah Hindia Belanda, telah menyebabkan adanya keragaman corak dan pendekatan, serta dinamika dalam idealisme misi yang dijalankan.

Semua itu telah menjadi konteks perjumpaan antara agama Kristen melalui para tuang pandita Eropa dengan walian atau orang-orang Minahasa pada umumnya. Oleh karena adanya dinamika dalam proses perjumpaan itu, maka hasil-hasilnya juga tidak tunggal. Dengan demikian, tujuan dari buku ini adalah untuk menunjukkan dinamika proses perjumpaan itu, serta kesadaran dan bentuk-bentuk praksis yang dihasilkan. Ini adalah upaya untuk menunjukkan narasi-narasi alternatif dari wacana atau kesimpulan-kesimpulan selama ini yang memandang seolah proses perjumpaan itu terjadi secara sepihak, yang satu aktif memaksa dan yang lain pasif dalam kebodohan. Dengan munculnya tokoh-tokoh penolong dan guru-guru di sekolah zending, serta hadirnya organisasi yang menghimpun mereka yang terjadi selama periode itu maka itu adalah bukti bahwa proses perjumpaan ini telah terjadi secara timbal balik. Sikap kritis dan bahkan menolak di kalangan walian makin membuktikan bahwa proses konversi yang dilakukan oleh para zendeling tidaklah berjalan lurus tanpa negosiasi dan dialog.

Daftar Isi

Pengantar Penulis ~ v

Pengantar Penyunting ~ ix



Pendahuluan ~ 1

Bab 1



Kedatangan Tuang Pandita dari Belanda ~ 16


Bab 2
Walian versus Tuang Pandita ~ 34

Bab 3
Perempuan dan Tuang Pandita ~ 72

Bab 4
Tou Minahasa Menjadi Penolong ~ 94    

Bab 5
Ismael Tiwow, Guru Modern Minahasa Pertama ~ 108

Bab 6
Petrus Kowaas, “Rasul dari Ranowangko” ~ 118

Bab 7
Lambertus Mangindaan Menuntut Persamaan Hak ~ 124

Bab 8
“Karapatan Minahasa” ~ 137

Penutup ~ 160
Lampiran ~ 171
Kepustakaan ~ 174
Penulis ~ 179


*Buku ini tersedia dalam bentuk file PDF. Bagi yang berminat, silakan hubungi nomor WA: 082187097616

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...