Skip to main content

Darah, Leluhur dan Identitas

 

Tahukah anda warisan genetis apa yang mengalir dalam darah penyanyi asal Papua, Edo Kondologit? Menyimak hasil tes DNAnya, mungkin kita semua akan terkejut.

Hasil tes DNA Edo oleh Lembaga Eijkman menemukan bahwa ada gen Taiwan pada darah yang mengalir dalam tubuhnya.  

Lalu bagaimana dengan Najwa Shihab? Dirinya sendiri terkejut, dan mungkin juga kita, gen Arab pada dirinya hanya 3,4 persen. Najwa Shihab memiliki 10 fragmen DNA dari 10 leluhur berbeda. DNA-nya didominasi gen South Asian dengan jumlah 48,54 persen. (selengkapnya anda dapat membaca hasil tes DNA untuk sejumlah tokoh publik ini di situs kompas.com dan Historia.id.)

Bagi saya orang awam untuk studi genetis, pastilah akan terkejut dengan dua tokoh tadi. Edo berkulit hitam, tapi memiliki gen Taiwan. Najwa Shihab yang mengaku pernah diolok ‘onta’, justru memiliki kadar gen Arab yang minim.

Intinya, dua orang ini memiliki warisan gen yang beragam. Mengapa? Para ahli genetis menjawab bahwa leluhur kedua tokoh itu,  yang dapat dilacak melalui DNA telah melalui proses migrasi, perjumpaan, persilangan dengan banyak leluhur yang lain. Begitulah, karena apa yang kemudian menjadi negara Indonesia ini adalah tempat tujuan dari banyak kelompok imigran leluhur, maka TIDAK ADA YANG ASLI di sini.

Demikianlah dengan diri kita masing-masing Tou Minahasa. Siapa yang pernah tahu, setelah orang tua kita, opa-oma kita, hingga orang tua dari buyut, orang tua dari orang tua buyut kita, dan seterusnya: para leluhur kita yang hidup di masa sangat lampau dalam proses imigrasinya telah melakukan persilangan darah (kawin-mawin) dengan kelompok-kelompok leluhur yang lain.

Para ahli studi genetis berpendapat bahwa data genetik DNA tidak pernah berubah. Ia tersimpan/terdokumentasi secara alamiah di dalam darah setiap individu. Tapi, kebudayaan manusia selalu berubah. Bahasa misalnya. Studi tentang asal usul, juga dapat dilakukan dengan pendekatan studi bahasa. Bahasa itu sangat beragam.  

Prof Herawati Sudoyo, PhD, periset Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, dalam suatu seminar tahun 2016 menegaskan, “secara riset genetik, termasuk kolaborasi dengan peneliti di dunia, asal-usul manusia di Bumi diketahui berasal dari Afrika, yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, melalui daratan China hingga menuju Australia.” (News.detik.com, 16/10/2016).

Studi genetis yang dilakukan di Indonesia waktu lalu dengan melibatkan tokoh-tokoh publik, termasuk para aktor dan aktris itu, sepertinya salah satunya dimaksudkan untuk merespon wacana bias yang berkembang dalam masyarakat kita soal ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’ itu.

Wacana itu tentu sangat kental bernuansa politik. Ini sudah muncul sejak zaman kolonial. Wacana kolonial membeda-bedakan warga negara secara ras: Eropa, Indo-Eropa, China, Arab, lalu struktur paling bawah adalah ‘pribumi’ atau ‘Inlanders”.

Studi genetis ingin menampik ini. Tapi, sebagaimana wacana kolonial yang rasis itu adalah politis, demikian juga dengan wacana kini. Pertama karena adanya paham yang rasis, tapi kedua, ini yang mendasar bahwa konsep warga negara di negara-negara modern, memang mengkonstruksi wacana itu demi tujuan politis pula, yaitu muncul dalam bahasa hukum negara yang modern, yaitu “Warga Negara Asli” dan “Warga Negara Asing”.

Ini sesuatu yang tak terhindarkan, sebab memang demikian, syarat adanya sebuah negara sangat berkaitan dengan ‘kewarganegaraan’. Ini seolah-olah netral-netral saja. Tapi, sesungguhnya, konsep ini melanjutkan wacana kolonial pula, yang dikotomis, dan sering sekali diskriminatif. Di zaman pemerintahan kolonial juga mengenal kewarganegaraan, yaitu warga negara kolonial. Dalam konteks kolonialisme, untuk penguasaan/penaklukan, maka politik populasi yang dilandasi oleh ideologi yang rasis juga mesti mengkonstruksi stratifikasi warga negara.

Dalam konteks Indonesia modern ini, wacana ‘pribumi’ dan ‘non pribumi’ memang tidak relevan, tapi bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan politik identitas, ini menurut mereka adalah cara paling jitu untuk menyingkirkan yang lain. Namun, sebetulnya memang buku-buku pelajaran sejarah dan geografi mulai dari SD dan SMA di negara ini juga mengajarkan adanya ‘yang asli’ dan ‘yang pendatang’ meskipun dibahasakan seolah-olah ilmiah.   

Nah, problem ini tidak menjadi urusan studi-studi genetis yang melacak warisan-warisan genetis melalui DNA individu-individu. Studi genetis ini, sebagai studi-studi eksak lainnya sesungguhnya terasa kering. Studi ini tidak berurusan dengan pertanyaan, “Mengapa orang-orang secara bangga mengidentifikasi diri secara kultural sebagai Minahasa, Batak, Jawa, Toraja, Bugis, Sangihe, Talaud, Papua, Tionghoa, Arab, dlsb?” Padahal, ini adalah soal yang faktual dalam konteks Indonesia.

Permasalahan di seputar konstruksi identitas ini tak dapat dijawab dengan teori bahwa semua bangsa yang ada di Indonesia leluhurnya semua adalah pendatang. Mereka adalah imigran-imigran primodial yang di masa puluhan ribu tahun lalu dari Afrika, menyebar melalui daratan China ke Australia lalu datang ke kepulauan Indonesia.

Sebabnya adalah, konstruksi identitas itu tidak pertama-tama berdasarkan hubungan genetis, dan itu justru dibuktikan oleh studi genetis tadi, bahwa antara dua orang yang misalnya mengidentifikasi diri secara kultural sebagai Minahasa, ternyata bisa saja berdasarkan data genetiknya menunjukkan bahwa asal leluhur primordial mereka tidak sama. Artinya, isu identitas di era modern ini tidak pertama-tama karena ‘darah’.

Tapi, Minahasa, Batak, Jawa, dlsb sebagai identitas kaum adalah faktual. Apa yang membuat identitas-identitas etnis  ini faktual dan tetap penting? Bukan pertama-tama darah. Bukan pertama-tama karena dari dulu orang Minahasa, misalnya sudah punya warisan pusaka ‘darah yang menjadi bukti bahwa Lumimuut dan Toar itu adalah cucu penguasa di sana atau di situ, melainkan pertama-tama karena ada narasi bersama yang terus dipercayai, diinterpretasi dan direkonstruksi makna-maknanya.  Narasi itu melampaui yang historis dan yang fiksi.  Itu adalah mite, cerita suci Lumimuut-Toar-Karema. (dennipinontoan, 13.11.2020)  

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun denga

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika semua disi

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero