Skip to main content

171 tahun Sejarah ‘Penatua” dan “Diaken” di Tanah Minahasa



Pengangkatan penatua dan diaken-diaken pertama dalam sejarah kekristenan di Minahasa terjadi tahun 1850. Zending J.G. Schwarz adalah yang melakukan pengangkatan itu untuk orang-orang Minahasa yang sudah Kristen di Kakas dan Remboken. Salah satu nama yang disebutkan telah diangkat sebagai penatua waktu itu adalah John Malonda.

Itu terjadi kurang lebih 30 tahun sejak kedatangannya pertama di Kakas, lalu Langowan bersama J.F. Riedel yang menetap di Tondano. Memang sejarah kekristenan Protestan di tanah Minahasa sudah sejak zaman VOC, namun kedua zendeling inilah yang boleh dikatakan berhasil mendekati orang-orang Minahasa di pegunungan untuk menerima agama itu.

“Penulong” pertama hasil dididikan sistem anak piara yang mereka perkenalkan adalah Silvanus Item dan Adrianus Angkouw. Namun, dengan diangkatnya para penatua dan diaken sebagai majelis jemaat oleh Schwarz ini boleh dikatakan sebagai tanda penerimaan kekristenan yang semakin mantap oleh orang-orang Minahasa.

Namun, lebih dari pada itu, dengan keberanian Schwarz melibatkan orang-orang Minahasa yang belum lama menjadi Kristen itu adalah sesuatu yang sungguh bermakna bagi mereka masa itu. Sebab, zendeling-zendeling lain yang dating menyusul Riedel dan Schawarz dan sudah menetap di beberapa tempat belum bisa menerima keterlibatan orang-orang Minahasa untuk menduduki jabatan gerejawi. Semua berpusat pada zendeling, dan pada hal-hal tertentu dilakukan bersama para ‘penulong’.

Jadi, boleh dikatakan sejarah kemajelisan gerejawi di Tanah Minahasa jika dihitung dari tahun 2021 ini sudah berusia 171 tahun. Mungkin juga dapat dikatakan, sudah selama itupula kekristenan bukan lagi barang asing di tanah ini. Ia telah menjadi bagian dari kebudayaan Minahasa, yang setelah tahun 1850 itu semakin banyak yang menjadi “penulong”, guru-guru, baik di sekolah-sekolah maupun guru-guru Injil. Pada akhir abad ke-19 bahkan ada yang sudah menjadi “utusan” di Tanah Karo.

Kini, tradisi kekristenan para zendeling itu dilanjutkan oleh GMIM, juga KGPM. Jemaat-jemaat GMIM terutama berdiri di hampir semua wanua atau ro’ong se-tanah Minahasa. Terdepan dalam pelayanan GMIM adalah para penatua dan diaken (sebelumnya disebut syamas). Jemaat-jemaat ini tidak hanya sebatas institusi keagamaan, namun juga institusi sosial, politik dan bagian dari dinamika kebudayaan setiap wanua/ro’ong.

Dengan demikian, kedudukan para penatua dan diaken juga bukan sebatas jabatan gerejawi, melainkan juga jabatan sosial, dan bagian dari politik dan budaya komunitas kultural Minahasa. Contoh, pada acara kematian, kita lihat yang sibuk di rumah duka adalah, selain kepala jaga dan meweteng, namun juga penatua dan diaken, terutama jika yang meninggal adalah warga GMIM. Kerena di Minahasa, kematian seseorang adalah peristiwa komunitas, maka peran penatua dan diaken di situ adalah bagian dari keterlibatan pada komunitas setempat.

Demikianlah sehingga setiap perhelatan pemilihan penatua dan diaken GMIM seolah-olah juga adalah suatu pesta demokrasi orang-orang Minahasa. Apalagi, mekanisme elektroral macam ini juga berlaku pada pemilihan pemimpin wanua atau ro’ong, yaitu hukum tua. Artinya, keberadaan GMIM yang paling jelas direpresentasi oleh penatuan dan diaken, mestilah dikatakan selain sudah tentu berdimensi kerohanian, namun yang paling utama di masyarakat ia adalah kultural.  

 

 

  

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...