Skip to main content

Pancasila dan Kebhinekaan dari Perspektif Minahasa

 

Bendera Merah Putih berkibar di Halaman Watu Pinawetengan


Dr. G.S.S.J. Ratu Langi:

Persatuan nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan politis. Kenyataan ini didasarkan pada kemauan politis yang sukarela untuk membentuk suatu persatuan bangsa dan Negara Indonesia yang berdaulat. Dengan mengakui dan menghormati akan perbedaan etnis dan budaya pluralitas bangsa Indonesia yang bersatu dengan segala konsekuensinya, kita semua harus menerima, menghormati dan berjuang untuk persatuan politis bangsa Indonesia tersebut – Namun, dilain pihak adalah suatu keharusan yang seimbang bahwa Persatuan Indonesia juga harus mengakui dan menghormati hak asasi dari tiap kelompok etnis untuk mempertahankan otonomi mereka dalam batas wilayah kelompok etnis tersebut.” (Fikiran” 31 Mei 1938).

Ø  Bagi Ratu Langi, Indonesia merdeka adalah suatu persatuan politis, dasarnya adalah kemaun politis. Indonesia sebagai persatuan politis ini mesti mengakui dan menghormati perbedaan etnis dan pluralitas.

 

Soekarno:

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.

Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Pidato 1 Juni 1945).

Ø  Konsep Soekarno adalah ‘ber-Tuhan secara kebudayaan’. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari bangsa-bangsa memiliki kesadaran religius yang tinggi. Jadi, ‘Sila Ketuhanan Yang Maha Esa’, bukan ‘satu Tuhan’ dari satu agama tertentu, melainkan ‘sifat religius’ masyarakat Indonesia yang bermacam-macam agama.

 

Hamka:

Ketuhanan Jang Maha Esa adalah pengakuan akan adanja kekuasaan diatas seluruh kekuasaan manusia. Ketuhanan Jang Maha Esa adalah asas dari satu kepertjajaan atas Kesatuan Allah, dalam Ketuhanannja, dalam perbuatannja dan dalam kekuasaannja.

Ketuhanan Jang Maha Esa adalah meEsakan tudjuan hidup dari seluruh 'alam ini, baik jang bernjawa atau jang tidak bernjawa. Ketuhanan Jang Maha Esa tiga perkara kepada satu. Jang tiga perkara itu ialah manusia, hidup manusia, dan 'alam. Kepada hanja satu Tuhan.

Sila dari Ketuhanan Jang Maha Esa itu telah mengadjarkan, bahwasanja seluruh bangsa adalah kawan, seluruh manusia adalah sahabat, dan tudjuan jang paling achir ialah perdamaian kemanusiaan menegakkan dunia jang baru jang 'adil dan makmur. (risalah Hamka, “Urat Tunggang Pantja Sila”, Djakarta: Pustaka Keluarga, 1951).  

Ø  Bagi Hamka lima sila Pancasila adalah satu kesatuan. Sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa menegaskan kepercayaan kepada kesatuan Allah, dalam Ketuhanannya. Di dalam sila pertama ini terkandung tiga perkara dalam satu, yaitu: manusia, hidup manusia dan alam. 

 

Kongres Minahasa Raya, 5 Agustus 2000

Poin ke II : Menolak segala kecenderungan dan usaha yang hendak memecah-belah keutuhan dan kebersamaan bangsa Indonesia di dalam NRI dengan cara memasukkan gagasan "Piagam Djakarta" dan bentuk-bentuk sejenisnya dalam bentuk apa pun ke dalam UUD 1945 - Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya. Keinginan politik sektarian berbasis agama seperti ini hanya akan membatalkan seluruh komitmen kebangsaan Indonesia yang telah melahirkan NRI bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Jika keinginan untuk membatalkan komitmen proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 diluluskan atau bahkan dikompromikan sedikit pun, maka pada saat yang sama eksistensi keberadaan NRI berakhir. Pada saat itu juga rakyat Minahasa terlepas dari seluruh ikatan dengan ke-Indonesia-an dan berhak membatalkan komitmen ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an. Dengan demikian, maka RAKYAT MINAHASA BERHAK MENENTUKAN NASIBNYA SENDIRI UNTUK MASA DEPAN.

 

Beberapa catatan penutup

1.     Sikap politik Minahasa terhadap Indonesia merdeka, yang antara lain diwakili oleh Sam Ratu Langi, memahami bahwa ‘bangsa Indonesia’ adalah suatu persatuan politis karena didasarkan pada kemauan politis. Indonesia merdeka adalah persatuan nasional dalam keragaman etnik. Indonesia merdeka harus mengakui dan menghormati hak-hak dari setiap etnik.

2.      Pancasila menegaskan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman, baik secara politis (Soekarno) maupun teologis (Hamka).

3.      Sikap politik Minahasa masa kini: 1. Negara Republik Indonesia (NRI) adalah komitmen dalam kesetaraan dan keadilan.  Jika itu dilanggar, maka komitmen keminahasaan terhadap keIndonesiaan berakhir (Kongres Minahasa Raya thn 2000). 2. NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika mesti menolak kelompok-kelompok radikal dan intoleran. 

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...