Skip to main content

CILEGON

KAMPUNG Kumaraka, Manado, 20 Maret tahun 1934. Seorang ulama berusia seratus tahun lebih baru saja meninggal sehari sebelumnya. Ini adalah hari pemakamannya.

Ribuan orang ikut mengantar sang ulama ke pemakaman. Bukannya hanya kaum muslim, tapi juga orang-orang Kristen di kota itu. Sepertinya, mereka sangat kehilangan seorang tokoh yang dihormati. Separuh lebih usianya dihabiskan di Manado.
Ulama itu adalah Arsyad Thawil. Seorang yang telah melewati masa-masa sulit di usia mudanya. Pernah di penjara Glodok, Batavia. Lalu tahun 1888 ke Kema, kemudian akhirnya menetap di Manado
Suatu masa ia adalah orang asing di sini. Ia beda agama dengan kebanyakan orang-orang di mana dia hidup. Dia juga di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Namun, sang ulama rupanya suka berkawan. Dia dekat dengan tokoh-tokoh setempat.
Arsyad Thawil mesti dibilang sosok ulama yang berani. Ia tak takut keislamannya luntur hidup di daerah di mana para zendeling Eropa sedang bergiat dengan misi Kristennya. Ketika ia datang tahun 1888 itu, kekristenan di sini sedang dalam perkembangan yang signifikan.
Karena keberaniannya itu pula, sehingga ia adalah ulama Islam yang juga diterima dan dihormati oleh orang-orang Kristen. Kematiannya di bulan Maret tahun 1934 adalah juga duka bagi banyak orang berbeda-beda agama itu.
Orang-orang akrab menyapanya dengan nama Haji Banten. Haji Arsyad Thawil adalah seorang yang diasingkan Belanda dari Banten. Ia dihukum oleh Belanda karena memimpin pemberontakan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1888. Dikenal sebagai "Pemberotakan Petani Banten". Atau pula "Geger Cilegon".
Sejarawan Roger Kembuan dalam bukunya menyebutkan, sebenarnya para pelaku pemberontakan tidak semua dari kalangan petani. Justru banyak dari mereka adalah ulama atau tokoh masyarakat.
Para pemberontak ditangkap oleh pasukan tentara Belanda. Mereka dipenjara, lalu beberapa di antaranya diasingkan.
Haji Banten, atau Haji Arsyad Thawil adalah satunya. Ia dibuang ke Manado hingga meninggal jauh dari tanah kelahiran. Jauh dari Cilegon, kota ia dan ratusan orang lainnya melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Waktu sudah jauh bergerak. Tapi kenangan terhadap sang tokoh terus hidup. Umat muslim di Manado mengabadikan namanya pada sebuah mesjid yang terletak di Jln. Sudirman, Kel. Komo Luar, Kec. Wenang. Mesjid bernama KH. Arsyad Thawil ini berdiri di Manado, "Kota Seribu Gereja", seperti judul buku Ilham Daeng Makkelo, sejarawan dari Makassar itu.
Para peminat sejarah keulamaan dan kepahlawanan Banten, terutama yang masih tergolong masih terikat darah selalu merindukannya. Beberapa kali mereka datang berziarah ke makam KH Arsyad Thawil di Manado.
Tanggal 26 April 2021 terbit di media online Serangnews .com sebuah berita berjudul "Arsyad Thawil, dari Geger Cilegon hingga Potret 'Dakwah' Toleransi di Tengah Komunitas China dan Nasrani". Foto pada berita salah satunya menampilkan gambar Helldy Agustian, kini walikota Cilegon yang ikut berziarah di makam Arsyad Thawil di Lawangirung, Manado.
Tertulis pada berita itu: Helldy Agustian adalah Cicit KH Arsyad Thawil.

--oo00oo--

(dennipinontoan, 12/092022)

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...