Skip to main content

Pilkada sebagai Praktik Kebudayaan

Dibuat dengan AI (bing.com)


HINGGA kini, publik, para intelektual, dan para aktivis demokrasi masih mendiskusikan tentang praktek dan fenomena politik uang, politisasi identitas, mobilisasi massa PNS, calon yang dinilai tidak berkualitas, dll di Pemilihan Umum (Pemilu), dan lebih khusus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Katakanlah, dari segi prosedur tentu semakin hari semakin baik, apalagi jika dibandingkan sebelum era reformasi, tapi praktek dan fenomena “penyakit demokrasi” tersebut, jelas adalah indikator bahwa demokrasi di negara kita ini belum substansial. 

“Penyakit demokrasi” tersebut terjadi dalam sebuah konteks sosio-kultural. Para peserta Pilkada, yaitu partai politik, para pasangan calon, baik yang diusung oleh partai politik, maupun independen berhadapan dengan rakyat pemilih, kemudian tim sukses yang bekerja mempromosikan para calon dengan segala cara adalah anggota masyarakat. Semua pihak ini adalah bagian dari kehidupan sosial-budaya suatu komunitas atau masyarakat. Demikian bahwa praktik dan aktivitas politik elektoral adalah fenomena sosial dan budaya di dalam masyarakat. Dengan kata lain, Pilkada adalah juga fenomena kebudayaan.  

Memilih pemimpin dengan didasari kesadaran dan gagasan tertentu adalah bagian dari sejarah peradaban manusia. Di banyak bangsa besar, pemimpin tertingginya, raja atau kaisar keterpilihannya memang dianggap sebagai peristiwa teologis, sebagai kehendak para dewa atau Tuhan. Tapi, di banyak komunitas pemimpin dipilih oleh anggotanya melalui perwakilannya. Demokrasi modern pada akhirnya menetapkan mekanisme, yaitu pemilihan umum, bahwa setiap individu adalah subjek hukum dan politik. 

Pilkada sesungguhnya melanjutkan tradisi penataan kehidupan sosial, terutama dalam hal memilih pemimpin. Sejak makhluk bernama manusia menemukan cara hidup bersama untuk mengatasi berbagai ancaman kehidupan, sejak saat itulah manusia membutuhkan pemimpin. Tidak mungkin semua anggota komunitas menjadi pemimpin, tidak mungkin pula semuanya adalah anggota. Maka, terbentuklah kesadaran, bahwa satu atau beberapa anggota komunitas dapat dipercaya untuk menjadi pemimpin mereka. Dari proses belajar yang terjadi terus menerus, maka di kemudian hari dirumuskan dan ditetapkan syarat bagi anggota komunitas yang dapat dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Demikianlah sehingga sekarang ini kita mesti menyatakan bahwa praktik memilih pemimpin adalah tindakan kebudayaan masyarakat. 

Dalam pemahaman demikianlah maka mesti pula dikatakan, bahwa Pilkada adalah upaya manusia menata kehidupan bersama yang mestinya bukan sebatas rutinitas politik apalagi mekanisme konstitusional yang hanya menjadi arena bagi parpol dan politisi untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Tapi, sebagai praktik politik elektoral, kenyataanya Pilkada memang seolah hanya sebagai ajang pertarungan kekuasaan bagi para elit. Rakyat tampaknya hanya menjadi objek kekuasaan. Padahal, selalu diwacanakan, bahwa Pilkada adalah ajang untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana nilai utama demokrasi. 

Jika Pilkada adalah bagian dari praktik kebudayaan, dan semua yang terkait denganya ada dalam suatu konteks sosio-kultural, maka rakyat pemilih yang hidup dan menghidupi nilai-nilai moral dan kulturalnya mesti menjadi subjek. Pilkada mesti menjadi ajang rakyat dengan nilai pengetahuan, moral dan etika yang dimiliki di dalam komunitas. Rakyat pemilih mesti memproyeksikan dan mengkonstruksikan visi politik dan cara-caranya berdasarkan warisan pengetahuan, moral dan etika komunitasnya dalam mengusahakan Pilkada yang berkualitas, yang pada satu pihak berkaitan dengan prosedur kepemiluan, namun kemudian lebih daripada itu adalah untuk menghasilkan demokrasi yang substansial. 

Pilkada adalah pesta demokrasi rakyat, bukan gelanggang pertarungan para gladiator. Prosedur kepemiluan memfasilitasi dan memastikan hak-hak politik rakyat secara konstitusional. Tapi, yang paling menentukan kualitas hasilnya adalah rakyat pemilih sebagai subjek demokrasi atau sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat sebagai subjek demokrasi berarti partisipasinya mestilah berdasarkan kesadaran dan pengetahuan, bukan karena dimobilisasi oleh politik uang dan politisasi identitas. 

Tentu, partisipasi aktif dan kritis ini mesti menjadi kultur demokrasi untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Politik transaksional menumpulkan daya kritis rakyat terhadap jalanya pemerintahan, tetapi politik substansial yang aktif dan kritis adalah modal untuk mengontrol kekuasaan yang selalu cenderung korup. 


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.


Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...