![]() |
(Gambar: designer.microsoft.com) |
Tiba-tiba muncul
seorang politisi yang mengklaim paling memahami rakyat. Dalam kata-katanya yang
enak didengar, bahwa dia siap berdiri paling depan membela rakyat. Partai
politik si politisi ini, juga sering sekali menyebut sebagai partai yang
berdiri dan bergerak bersama rakyat. Siapa rakyat itu? Semua itu adalah klaim
politis untuk mengatakan, politisi dan partai politik yang lain adalah elitis.
Ini semua terjadi dalam kompetisi politik elektoral.
Itulah fenomena
populisme. Gabor Scheiring, profesor ilmu politik pada Universitas Georgetown,
dalam sebuah tulisannya yang terbit di Theconversation.com mendefinisikan
"populisme" sebagai "ideologi politik yang memposisikan 'rakyat'
sebagai kelompok yang adil secara moral dan baik dalam masyarakat, berbeda
dengan orang-orang lain yang elitis dan tidak peduli dengan masyarakat."
Mark Rice-Oxley dan Ammar Kalia dalam tulisan mereka di Thegurdian.com menyebutkan, "Populisme biasanya digambarkan sebagai pendekatan strategis yang membingkai politik sebagai pertarungan antara massa 'biasa' yang berbudi luhur dan elit yang jahat atau korup."
Demi untuk
mengatakan, A adalah terhebat dan paling bermoral, maka mesti ada pihak lain
yang dikonstruksi sebagai yang tidak hebat dan bermoral buruk. Maka, kita tahu
bersama dalam kamus politik ada istilah "kanan" dan "kiri",
konservatif dan liberal. Sebuah dikotomi yang mengingatkan kita terhadap
doktrin agama-agama semit, ada surga, ada neraka. Tapi soalnya, populisme
sebagai ideologi politik dapat merasuk semua aliran, paham atau tradisi politik
kekuasaan. Dari janji kampanye makan gratis, sampai surga gratis sebagai bagian
dari fenomena populisme dapat muncul pada semua partai politik dan
politisi-politisinya.
Populisme menghadirkan
malaikat dan hantu kesejahteraan bagi rakyat. Maka dengan demikian,
"rakyat" menjadi objek komodifikasi dalam rangka untuk mempertahankan
atau merebut kekuasaan. Sebab dalam populisme, rakyat yang seharusnya subjek
pada dirinya justru sedang didefinisikan dan dikonstruksi oleh narasi kekuasaan
elit. Dengan demikian, dalam politik elektoral, populisme mengkonstruksi rakyat
untuk tampak sibuk dengan katanya pesta demokrasi tapi sebenarnya mereka tidak
sedang berpolitik untuk kepentingannya. Pada akhirnya, populisme bukanlah
tentang rakyat, melainkan tentang elit dengan tujuan berkuasanya.
Tapi, populisme yang terus berusaha menghegemoni rakyat karena sumber daya yang dimiliki oleh partai politik, politisi dan orang-orang yang dipakai atau memanfaatkan mereka sangat besar, seharusnya tidak sampai merusak seluruh tatanan dan kesadaran masyarakat tentang haknya untuk menjadi diri sendiri. Meski sangat terbatas, sangat kecil sekali jumlahnya, pasti masih ada individu atau komunitas yang menyatakan sikap menolak narasi kekuasaan yang tampil dan hadir dalam beragam cara kreatif.
Kita mungkin masih akan menemukan seorang yang menolak politik uang, entah alasan moral agama atau atas nama adat. Sudah pasti, di banyak tempat kita masih akan menemukan ada sebuah komunitas yang berdasarkan identitas adat, atau budaya tertentu yang berkumpul dan mendiskusikan secara kritis praktek politik elektoral yang mengandalkan populisme. Masih juga akan didapati orang-orang yang mengkonsolidasi diri tanpa ikatan identitas adat atau agama, tapi karena hidup di ruang yang sama untuk saling berdiskusi secara terbuka, independen, dan kritis pilihan-pilihan politik mereka.
Dalam situasi ini, untuk melawan populisme sebagai ideologi politik, maka rakyat mesti kuat secara ideologis pula. Rakyat kebanyakan yang hidup di komunitas-komunitas kultural memiliki warisan pengetahuan leluhur yang kaya tentang sejatinya kehidupan itu. Perlu digali dan direvitalisasi nilai-nilai moral-etika dari warisan pengetahuan tersebut untuk kemudian direkonstruksi sebagai narasi komunitas melawan narasi kekuasaan melalui populisme elit. Itu yang dalam tulisan lain saya sebut pendekatan "etnoelektoral". Warisan pengetahuan, praktik dan kebiasaan lokal suatu komunitas etnik, yang tentu mesti melalui interpretasi dan rekonstruksi secara dialogis, dapat menjadi modal ideologis melawan populisme pada setiap Pemilu.
_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan.
Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com.
Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama
'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk
diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap
terlebih dahulu menghubungi penulis.
Comments
Post a Comment