![]() |
Dibuat dengan AI (bing.com) |
GENERASI bangsa ini memang dibesarkan oleh ideologi seragam. Seragam pakaian sekolah, seragam pakain kantor, seragam dinas, seragam panitia hari raya, dlsb. Sejak TK kita sudah harus seragam. Pengetahuan pun mesti seragam. Ilmu yang diajarkan dari sana ke sini, seragam.
Tapi, apakah akhirnya tercipta keseragaman yang sesungguhnya? Tidak!
Dalam hal sebagai ideologi, maka tidak juga kemudian terwujud suatu pengakuan terhadap keragaman yang otentik. Sebab, mungkin sudah jadi bawaan manusia, setiap orang butuh penanda-penanda yang sama antara dirinya dengan orang lain.
Jadi, sebetulnya ada dua ideologi yang yang tertancap dalam kesadaran masyarakat kita: keseragaman dan keragaman.
Dalam hal sebagai warga negara, maka keseragaman yang mesti ditonjolkan. Sebagai manusia yang hidup di ranah tertentu dengan sejarah, adat istiadat, keyakinan religius, budaya dan juga sebagai makhluk biologi dengan sifat dan bentuk yang berbeda-beda, maka yang dipromosikan adalah keragaman.
Sebetulnya ketegangan antara keseragaman dan keragaman adalah niscaya. Itu ada dalam kebudayaan kita pada lapisan dasarnya. Tapi, ketika baik tentang keseragaman, maupun keragaman ada dalam satu kontrol ideologi, maka jadilah dia masalah!
Wacana dan fenomena keseragaman dan keragaman kemudian menjadi politis. Ketika saya misalnya hari ini tiba-tiba mengenakan apa yang komunitas sepakati sebagai pakaian adat, maka ini bukan perkara adat lagi. Tindakan saya itu adalah ekspresi politis di ruang publik untuk menyatakan identitas.
Demikian juga ketika tiba-tiba muncul gugatan terhadap keseragaman, dan menuntut pengakuan terhadp hal unik yang kita miliki, jelas itu adalah politis. Sebab, dalam konteks yang berbeda dengan tujuan yang berbeda, kita menggugat keragaman. Sikap yang anti terhadap kehadiran orang atau komunitas lain atas nama menjaga kemurnian agama atau budaya, adalah tindakan politis menolak keragaman.
Jadi, sikap mendukung atau menolak, baik keseragaman maupun keragaman adalah fenomena politisasi identitas. Dan, fenomena ini sendiri adalah produk dari kontrol ideologi terhadap fakta, baik keseragaman, maupun keragaman. Padahal, dua hal itu mestinya adalah keniscayaan pada masyarakat kita, yang secara kultural justru ia adalah daya untuk upaya merawat kehidupan bersama. Itulah sebenarnya spirit Bhineka Tunggal Ika sebelum menjadi ideologi.
Dan, sejatinya keseragaman itu adalah kebutuhan manusia untuk eksis. Kita pada dasarnya selalu merasa aman hidup seragam dengan komunitas untuk dapat menyatakan diri berbeda dengan orang lain. Kebutuhan ini di kemudian hari melembaga menjadi kawanan.
Di dalam barisan kawanan kita memiliki kawan yang bukan saja untuk memberi rasa aman, melainkan juga dukungan untuk memerangi mereka yang bukan sekawanan. Kini kawanan sudah berurusan dengan sumberdaya daya alam, lalu dengan demikian teritori.
Hal kawanan inilah yang kemudian bermetamorfosis menjadi klan, kaum, bangsa, yang menjadi cikal bakal dari negara. (dennipinontoan, 15/08/2024)
Comments
Post a Comment