Skip to main content

SERAGAM

 

Dibuat dengan AI (bing.com)


GENERASI bangsa ini memang dibesarkan oleh ideologi seragam. Seragam pakaian sekolah, seragam pakain kantor, seragam dinas, seragam panitia hari raya, dlsb. Sejak TK kita sudah harus seragam. Pengetahuan pun mesti seragam. Ilmu yang diajarkan dari sana ke sini, seragam.
Tapi, apakah akhirnya tercipta keseragaman yang sesungguhnya? Tidak!
Ideologi bhineka juga sudah ditanamkan sejak pertama menjadi warga negara. Cuma, sebagai ideologi tentu berbeda dengan fakta biologis dan kultural pada setiap orang Indonesia yang terdiri dari ciri, sifat dan bentuk-bentuk ekspresi yang berbeda-beda.
Dalam hal sebagai ideologi, maka tidak juga kemudian terwujud suatu pengakuan terhadap keragaman yang otentik. Sebab, mungkin sudah jadi bawaan manusia, setiap orang butuh penanda-penanda yang sama antara dirinya dengan orang lain.
Jadi, sebetulnya ada dua ideologi yang yang tertancap dalam kesadaran masyarakat kita: keseragaman dan keragaman.
Dalam hal sebagai warga negara, maka keseragaman yang mesti ditonjolkan. Sebagai manusia yang hidup di ranah tertentu dengan sejarah, adat istiadat, keyakinan religius, budaya dan juga sebagai makhluk biologi dengan sifat dan bentuk yang berbeda-beda, maka yang dipromosikan adalah keragaman.
Sebetulnya ketegangan antara keseragaman dan keragaman adalah niscaya. Itu ada dalam kebudayaan kita pada lapisan dasarnya. Tapi, ketika baik tentang keseragaman, maupun keragaman ada dalam satu kontrol ideologi, maka jadilah dia masalah!
Wacana dan fenomena keseragaman dan keragaman kemudian menjadi politis. Ketika saya misalnya hari ini tiba-tiba mengenakan apa yang komunitas sepakati sebagai pakaian adat, maka ini bukan perkara adat lagi. Tindakan saya itu adalah ekspresi politis di ruang publik untuk menyatakan identitas.
Demikian juga ketika tiba-tiba muncul gugatan terhadap keseragaman, dan menuntut pengakuan terhadp hal unik yang kita miliki, jelas itu adalah politis. Sebab, dalam konteks yang berbeda dengan tujuan yang berbeda, kita menggugat keragaman. Sikap yang anti terhadap kehadiran orang atau komunitas lain atas nama menjaga kemurnian agama atau budaya, adalah tindakan politis menolak keragaman.
Jadi, sikap mendukung atau menolak, baik keseragaman maupun keragaman adalah fenomena politisasi identitas. Dan, fenomena ini sendiri adalah produk dari kontrol ideologi terhadap fakta, baik keseragaman, maupun keragaman. Padahal, dua hal itu mestinya adalah keniscayaan pada masyarakat kita, yang secara kultural justru ia adalah daya untuk upaya merawat kehidupan bersama. Itulah sebenarnya spirit Bhineka Tunggal Ika sebelum menjadi ideologi.
Dan, sejatinya keseragaman itu adalah kebutuhan manusia untuk eksis. Kita pada dasarnya selalu merasa aman hidup seragam dengan komunitas untuk dapat menyatakan diri berbeda dengan orang lain. Kebutuhan ini di kemudian hari melembaga menjadi kawanan.
Di dalam barisan kawanan kita memiliki kawan yang bukan saja untuk memberi rasa aman, melainkan juga dukungan untuk memerangi mereka yang bukan sekawanan. Kini kawanan sudah berurusan dengan sumberdaya daya alam, lalu dengan demikian teritori.
Hal kawanan inilah yang kemudian bermetamorfosis menjadi klan, kaum, bangsa, yang menjadi cikal bakal dari negara. (dennipinontoan, 15/08/2024)

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...