Skip to main content

B.A.B.I.


Seorang dosen menulis di papan tulis “B.A.B.I.” lalu bertanya kepada mahasiswanya, apa ini? Serempak para mahasiswa menjawab: “Babi!”
Lalu ia bertanya lagi, apa itu “babi?”. Ada mahasiswa yang menjawab, “hewan”; “binatang”; “hewan yang dagingnya haram; “hewan jorok”; “dagingnya enak buat ragey”.
Lalu si dosen mengatakan, pertanyaan saya apa ini. Para mahasiswa terdiam.
“Sekali lagi, apa ini?” Dosen kembali bertanya.
Para mahasiswa masih terdiam. Bingung.
Lalu si dosen menunjuk satu persatu huruf dan tanda baca.
“Huruf apa ini?” Tanya si dosen.
“B” para mahasiswa kompak menjawab.
“Lalu ini?”
“Titik.”
“Kemudian…”
“A”
Para mahasiswa kemudian melanjutkan sendiri.
“Titik”
“B”
“Titik”
“I”
“Titik”
Selesai para mahasiswa mengeja si dosen bertanya, “Jadi, apa ini?”
“Huruf dan tanda baca ‘B titik A titik B titik I titik.”
“Ok”.
Kemudian dia menunjukkan selembar kertas yang ada gambar hewan babi. Lalu bertanya, “Apa ini”?
Lagi-lagi para mahasiswa serempak menjawab, “Babi!”
Si dosen tersenyum geli. “Para mahasiswa ini terkena doktrin babi,” gumamnya.
Tapi seorang mahasiswa berkata, “Itu gambar binatang babi.”
“Ya,” balas si dosen.
Ilustrasi di atas menggambarkan cara berpikir kita manusia makhluk sosial, ya makhluk ideologis, politis dan agamis yang berkembang dengan pengetahuan yang normatif. Si dosen hendak memfasilitasi mahasiswa tentang cara berpikir deskriptif-dekonstruktif yang mestinya merupakan ciri berpikir ilmiah. Tapi dia mengalami kesulitan karena berhadapan dengan mahasiswa yang telah terlanjur dibentuk oleh cara berpikir atau cara berpengetahuan normatif.
Dari sisi epistemologi, cara berpikir normatif menekankan pada apa yang “seharusnya” diketahui atau diyakini. Pengetahuan normatif bersumber dari aturan, doktrin, norma, nilai, maupun konsensus sosial. Dengan demikian, kebenaran diukur bukan pertama-tama dari kesesuaian dengan realitas, melainkan dengan standar normatif yang sudah ditetapkan sebelumnya—baik oleh agama, ideologi, hukum, maupun kebiasaan.
Sebaliknya, cara berpikir deskriptif berangkat dari realitas sebagaimana adanya. Epistemologi deskriptif menekankan proses pengamatan, pencatatan, dan pemahaman tanpa intervensi nilai yang terlalu dini. Kebenaran diukur dari seberapa tepat suatu deskripsi menggambarkan fenomena. Dengan kata lain, epistemologi deskriptif tidak menanyakan “seharusnya”, melainkan “apa adanya”.
Dari sisi ontologi, cara berpikir “normati” menempatkan objek pengetahuan dalam kerangka nilai tertentu. Misalnya, babi dipandang bukan sekadar binatang, melainkan binatang haram, najis, atau sebaliknya, makanan enak. Ontologi normatif selalu menempelkan makna yang bersifat ideologis atau religius kepada objek.
Sedangkan cara berpikir “deskriptif” menempatkan objek pengetahuan secara netral: babi adalah hewan mamalia, berkaki empat, omnivora, memiliki ciri biologis tertentu. Ontologi deskriptif tidak menilai baik–buruk, halal–haram, mulia–hina, melainkan berusaha memahami hakikat objek dalam kenyataan empirisnya.
Metodologi berpikir “normatif” biasanya bergerak dari prinsip atau doktrin terlebih dahulu, lalu menafsirkan realitas sesuai kerangka itu. Metodenya lebih deduktif: dari norma ke fenomena. Sementara cara berpikir “deskriptif” lebih induktif: dari fenomena ke generalisasi. Ia menuntut observasi, pengumpulan data, verifikasi, dan analisis obyektif sebelum sampai pada penilaian.
Karena itu, dosen dalam ilustrasi di atas berusaha menggeser mahasiswanya dari metode normatif (langsung menafsirkan tulisan B.A.B.I. sebagai “babi”) menuju metode deskriptif (mengurai satu per satu: huruf, titik, simbol, lalu makna).
Konsekuensi dari dominasi cara berpikir normatif adalah terbentuknya pola pikir yang cepat menghakimi, eksklusif, dan sering kali ideologis. Pengetahuan normatif yang tidak diawali dengan deskripsi obyektif berpotensi menutup ruang dialog, memperkuat prasangka, bahkan melanggengkan kekerasan simbolik atau fisik.
Sebaliknya, cara berpikir deskriptif membuka ruang etis yang lebih inklusif dan dialogis. Dengan mengawali pengetahuan dari pengamatan obyektif, manusia belajar menunda penilaian, mengakui keragaman, serta memahami realitas dari perspektif orang lain. Etika yang lahir dari cara berpikir deskriptif adalah etika keterbukaan, penghargaan, dan penghormatan terhadap fakta sebelum menarik kesimpulan normatif.
Paul Tillich memberikan kerangka yang sangat relevan untuk menjembatani cara berpikir normatif dan deskriptif. Dalam metode teologi korelasionalnya, ia menekankan bahwa kesimpulan teologis normatif tidak boleh lahir secara instan, tetapi melalui tiga tahap, yaitu:
Pertama analisis eksistensial, tahap deskriptif, di mana realitas manusia, pengalaman, dan problem eksistensial dipahami terlebih dahulu tanpa prasangka normatif. Ini sejalan dengan epistemologi deskriptif.
Kedua abstraksi filosofis, yaitu tahap hasil analisis eksistensial diolah dalam kategori filosofis, sehingga realitas yang berserak dapat ditangkap dalam konsep yang lebih umum. Ini tahap ontologis dan metodologis yang mencoba membangun jembatan dari deskripsi ke refleksi.
Ketiga refleksi teologis. Baru setelah memahami realitas secara deskriptif dan mengabstraksinya secara filosofis, teologi memberikan jawabannya yang normatif. Dengan begitu, kebenaran normatif tetap memiliki dasar obyektif dan reflektif. Dengan kata lain, Tillich ingin mengingatkan bahwa teologi pun sebagai ilmu normatif tidak boleh mengabaikan langkah deskriptif. Jika tidak, teologi (dan ilmu pengetahuan pada umumnya) jatuh pada dogmatisme.
Ilustrasi sederhana “B.A.B.I.” yang ditulis dosen itu sebenarnya menggemakan pergulatan epistemologis umat manusia: antara kecenderungan normatif yang cepat menghakimi dengan upaya deskriptif yang sabar memahami. Perbedaan epistemologi, ontologi, dan metodologi dari dua cara berpikir itu menunjukkan betapa pentingnya kesadaran kritis dalam membangun pengetahuan. Konsekuensi etisnya pun besar: pengetahuan normatif tanpa dasar deskriptif dapat menjerumuskan pada eksklusivisme, sedangkan pengetahuan deskriptif membuka ruang bagi etika keterbukaan.
Tillich akhirnya mengajarkan bahwa bahkan kebenaran normatif teologis harus melewati jalan deskripsi, analisis, dan refleksi. Dengan demikian, normativitas bukanlah titik awal, melainkan titik akhir dari sebuah proses pengetahuan yang jujur terhadap kenyataan. (dennipinontoan, 16 Agustus 2025)

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...