Skip to main content

Lelaki Tua di Sudut Pertokoan

(sebuah cerpen)


Pagi itu, sudut pertokoan yang biasanya ditempati seorang lelaki tua tampak kosong. Matahari baru saja menembus sela-sela atap toko-toko tua, membentuk bayangan miring di lantai trotoar yang basah oleh sisa hujan semalam. 

Bau roti hangat dan kopi dari rumah kopi sebelah masih sama, begitu pula suara engsel pintu toko yang berderit setiap kali dibuka. Hanya saja, kali ini tidak ada tubuh renta berselimut kain usang. Tak ada lagi tatapan kosong yang mengamati lalu-lalang orang tanpa benar-benar melihat. Warga yang melintas seperti tak sadar kekosongan itu. Seolah sudut itu memang sejak awal tak pernah memiliki penghuni.

Seorang pedagang kaki lima sempat menoleh, ragu, mencari-cari sosok yang biasanya duduk di sana dengan lutut ditekuk dan tangan merangkul tubuh sendiri. Ia mengedarkan pandangan, tapi yang ada hanya plastik bekas kopi, puntung rokok lembap, dan bau asam yang samar tertinggal di udara. Kehadiran lelaki tua itu, yang oleh sebagian orang dianggap gila, telah menjadi bagian tak terucap dari denyut pagi kota ini. Namun pagi itu, ketidakhadirannya justru terasa seperti sebuah berita yang belum sempat ditulis, sebuah kehilangan yang tidak akan ada siapa pun yang mau mengakuinya.

Berti, lelaki penjual rokok yang lapaknya menempel di dinding toko tua, sudah bertahun-tahun berbagi pagi dengan Nori, perempuan paruh baya penjual nasi kuning yang meja kecilnya hanya berjarak beberapa langkah darinya. Mereka tak pernah benar-benar dekat, tapi cukup sering bertukar pandang atau saling melempar satu-dua kalimat singkat di sela kesibukan. Di antara mereka, ada pemandangan yang nyaris tak pernah absen: seorang lelaki tua duduk bersila di lantai, bersandar pada papan reklame usang di sudut pertokoan. Sosok itu menjadi latar diam dari hari-hari mereka, seperti bangunan tua yang tak pernah dipedulikan, namun terasa aneh ketika tiba-tiba menghilang.

Berti mengangkat bahu, menepuk-nepuk bungkus rokok yang baru dibuka.

 “Tapi dia jarang minta-minta. Kalau lapar, kadang saya kasih sebungkus nasi, dia cuma angguk, terus makan diam-diam,” ujarnya sambil menatap sudut kosong itu, seperti berharap sosok renta itu tiba-tiba muncul dari balik tiang listrik.

Nori meletakkan panci berisi nasi kuning di atas bangku kayu pendek. 

“Saya pernah lihat dia menangis waktu hujan besar tahun lalu. Dia duduk di situ, basah kuyup, tapi matanya seperti melihat sesuatu yang jauh sekali.” Nori menarik napas, menahan sesuatu di tenggorokannya. 

“Entah kenapa, pagi ini rasanya aneh. Bukan cuma karena dia tak ada,  tapi karena seperti ada cerita yang tiba-tiba putus," ujar Nori melanjutkan.

Hari semakin siang. Jalanan mulai padat, penuh bunyi langkah dan deru mesin. Tukang parkir sibuk mengatur kendaraan yang datang silih berganti. Satpam berkeliling mengawasi. Pelayan toko membuka pintu dan merapikan dagangan, sementara pedagang kaki lima menyeruput kopi cepat-cepat sebelum melayani pembeli. Perempatan di samping sudut pertokoan itu seperti perut kota yang baru saja bangun. Menggeliat, riuh, dan tak pernah berhenti bergerak.

Namun di tengah hiruk pikuk itu, ada ruang kosong yang diam-diam terasa. Beberapa orang yang biasa menghabiskan pagi di sekitar situ, entah sambil berjualan, merokok, atau sekadar menunggu waktu, menyadari ada yang hilang. Lelaki tua yang biasanya lenyap entah ke mana di tengah malam dan kembali lagi sebelum matahari menyingkap kabut, pagi ini tak menampakkan diri. Mereka saling bertanya dengan nada setengah heran, setengah tak peduli. Ironisnya, di hari-hari sebelumnya mereka justru jarang benar-benar melihatnya, karena bagi sebagian besar dari mereka, lelaki itu bukan siapa-siapa. Dia seperti hanya sebongkah tubuh yang mengisi sudut kota, gelandangan, atau lebih gampang lagi: “orang gila.”

Ketika matahari sudah meninggi dan bayangan bangunan menyusut, kehebohan mendadak meledak di antara deru kendaraan dan suara pedagang. Seorang pemuda berlari dari gang sempit di belakang pertokoan, napasnya terengah, matanya terbelalak. 

“Ada mayat! Di belakang!” teriaknya, membuat beberapa orang spontan menghentikan aktivitas. Kata-kata itu cepat menyebar, seperti riak air yang menjalar ke segala arah. Dengan cepat orang-orang berkerumun, rasa penasaran mengalahkan kesibukan.

Di belakang pertokoan, di sebuah lorong yang jarang dilewati orang, lelaki tua itu ditemukan. Ia duduk di lantai yang kasar dan kotor, punggungnya bersandar pada dinding yang catnya terkelupas, kepala miring seolah tertidur. Namun wajahnya pucat dingin, dan matanya—yang dulu kerap kosong memandang—kini terpejam rapat. Tangan kirinya tergeletak di pangkuan, sementara tangan kanannya memegang sebuah kantong kain lusuh. Bau lembap dan besi karat memenuhi udara lorong itu, bercampur dengan keheningan. Tak ada yang menangis. 

Orang-orang berdiri melingkar, sebagian menutup mulut, sebagian lagi membicarakan berbagai kemungkinan. Ada yang mengatakan mungkin ia sakit, ada pula yang menuduh ia kelaparan. Namun tak seorang pun benar-benar tahu kapan ia meninggalkan sudut pertokoan. Entah tengah malam seperti biasanya atau subuh. Tak ada yang tahu.

Berti berdiri agak di belakang, menatap tubuh yang dulu menjadi bagian dari pemandangan hariannya. Ada perasaan aneh yang menyelip, seperti menyadari kehilangan sesuatu yang tak pernah ia anggap penting. Hingga kini.

Nori datang beberapa menit kemudian, tergesa-gesa. Matanya langsung mencari sosok yang kini sudah terbujur diam. Ia menatap lama, lalu menunduk, seperti mengakui sesuatu pada dirinya sendiri. 

“Setidaknya… dia pulang dengan tenang,” gumamnya pelan, tak jelas ditujukan kepada siapa. 

Suara sirene polisi terdengar mendekat, memecah udara siang. Di sudut pertokoan, lantai tempat lelaki tua itu biasa duduk kini benar-benar kosong. Tapi, sepertinya untuk pertama kalinya, kosong itu punya arti.

Ketika jasad lelaki tua itu akhirnya diangkat oleh petugas dan dimasukkan ke dalam mobil polisi, kerumunan mulai bubar. Sirene menjauh, meninggalkan jejak sunyi yang aneh. Perlahan, suara kota kembali: klakson, tawa pedagang, derit gerobak. Sudut pertokoan itu, yang baru saja menjadi pusat perhatian, kini seperti tak pernah menyimpan kisah apa pun. Berti merapikan lapak rokoknya, sedangkan Nori kembali mengaduk nasi kuning di panci. Namun dari wajah mereka, ada gurat tanya yang tak terjawab, seperti lembar kosong di tengah cerita yang seharusnya lengkap.

“Berti,” Nori membuka suara sambil menatap kursi kecil kosong di dekat papan reklame, “Menurutmu, siapa sebenarnya lelaki tua itu?”

Berti menghela napas, matanya tak lepas dari sudut itu. “Saya tidak tahu. Lima tahun saya di sini, dia sudah ada. Tidak pernah pergi lama. Selalu balik ke situ.”

“Pernah bertanya siapa namanya?”

“Pernah. Tapi dia cuma senyum, lalu berkata, ‘Tidak penting.’ Setelah itu diam lagi.”

Nori menggigit bibir, mencoba mengingat sesuatu, lalu berkata, “Dulu, saya pernah dengar dia bicara sendiri. Menyebut nama Robert. Saya tidak tahu itu siapa. Tapi dari cara dia mengatakan nama itu, sepertinya dia sedang mengingat seseorang yang sangat berarti baginya."

Berti menoleh. “Robert? Keluarganya?”

“Mungkin. Tapi kalau punya keluarga, kenapa dia di sini? Kalau pun tidak punya rumah, mestinya ada yang mencari, kan?”

Berti mengangkat bahu. “Kadang ada orang yang memilih hilang. Atau dipaksa hilang.”

Hening sejenak menyusup di antara suara motor dan teriakan penjual. Nori menatap trotoar yang kotor, lalu berkata pelan, “Saya rasa dia pernah punya hidup yang jauh lebih baik dari ini. Caranya duduk, cara dia makan… bukan seperti orang yang lahir di jalan.”

Berti mengangguk tipis. “Ya. Dan kalaupun kita tidak tahu namanya, kota ini akan melupakannya dalam sehari. Besok, orang-orang bakal duduk di situ, taruh barang, atau buang sampah. Seakan dia tidak pernah ada.”

Nori menarik napas panjang. “Mungkin itu yang bikin saya sedih. Dia pergi, tapi kisahnya ikut terkubur. Kita cuma sempat lihat akhirnya.”

Berti menatap sudut itu sekali lagi, lalu berkata lirih, “Entah kenapa, saya yakin dia tidak cuma seorang gelandangan. Dia membawa sesuatu yang tidak sempat dia bagi.” 

Nori menatap Berti, lalu kembali pada dagangannya, tapi pikirannya terus melayang pada sosok yang kini sudah terbujur di ruang dingin rumah sakit. Kota kembali sibuk, tapi bagi mereka berdua, sudut itu kini tak lagi sama karena kosongnya meninggalkan gema.

Di seberang sudut pertokoan, seorang perempuan tua itu berdiri memegang payung hitam, menunggu lampu penyeberangan bersama cucunya yang menggenggam kantong plastik berisi obat. Panas matahari tak terasa. Bukan terutama karena dia bernaung di bawah payung, melainkan karena sebuah ingatan yang membuat dia menjadi sedih.

Ketika dia datang bersama cucunya ke apotek orang-orang masih membicarakan penemuan jasad lelaki tua itu. Ia mendengarkan tanpa menanggapi. Tatapannya tertuju pada sudut yang kini kosong. Hatinya merasakan sesuatu yang jauh lebih berat daripada sekadar kabar tentang seorang gelandangan yang meninggal. Sebab ia mengenal lelaki itu, jauh sebelum dunia menghapus namanya.

Wajahnya masih menyimpan bayangan masa muda mereka, dua orang yang pernah duduk berdampingan di teras rumah sekolah desa, membicarakan cita-cita memajukan anak-anak kampung lewat pengetahuan. Lelaki tua itu dulu adalah guru yang dihormati, wibawanya memancar dari kesederhanaan dan keluhuran yang tak dibuat-buat. Namun segalanya berubah sepuluh tahun lalu, ketika anak semata wayangnya terbunuh dan keadilan tak pernah datang.

Perempuan tua itu ingat, suatu sore lelaki itu datang padanya, suaranya pecah di tengah upaya menahan air mata, bercerita tentang luka yang tak terobati. Ia juga ingat kata-kata terakhirnya sebelum pergi: "Kalau hukum tak berpihak pada yang benar, aku akan hidup di luar semua itu. Jangan ceritakan siapa aku pada siapa pun.”

Janji itu ia genggam sekuat tangan yang memegang payung hari ini. Ia menyaksikan bagaimana sahabatnya itu perlahan melepaskan semua yang dimilikinya: rumah, tanah, pakaian yang layak, hingga akhirnya hanya menyisakan tubuh renta dan nama yang dikubur dalam diam. Istrinya meninggal lima tahun kemudian, dan sejak itu lelaki itu benar-benar hidup tanpa siapa-siapa. Ia memilih menjadi sosok yang tidak dikenali, bahkan rela dianggap gila, hanya untuk membuktikan bahwa ia tak lagi percaya pada sistem yang telah merenggut segalanya.

Perempuan tua itu tahu, banyak orang hanya melihatnya sebagai bayang-bayang di sudut pertokoan. Seorang pengganggu pemandangan kota yang sedang berlari menuju gemerlapnya kemajuan. Mereka tak tahu bahwa lelaki tua itu pernah mengajar anak-anak membaca di bawah lampu minyak, menulis di papan tulis reyot, dan menanamkan pada generasi mudanya rasa hormat pada kebenaran. Mereka tak tahu bahwa “kegilaannya” hanyalah cara untuk tetap berdiri di dunia yang telah menyingkirkannya.

Perempuan tua itu menggenggam lebih erat payungnya, sementara matanya mulai basah. Ia tak pernah menangis untuk siapa pun sejak kematian suaminya bertahun-tahun lalu. Tapi pagi ini, ia menangis untuk lelaki tua yang telah memilih perlawanan dengan caranya sendiri. Tangis itu bukan sekadar kesedihan, melainkan penghormatan terakhir pada seorang sahabat yang tak pernah menyerah pada keyakinannya, meski harus membayar dengan seluruh hidupnya. (Denni Pinontoan, 10 Agustus 2025)

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...