Skip to main content

Asal usul Judul Novel karya Marianne Katoppo, "Raumanen"



Nama "Raumanen" sebagai judul sebuah novel ternyata menyimpan jejak yang panjang dan personal bagi penulisnya, Marianne Katoppo. Ia bukan sekadar bunyi yang indah atau karakter rekaan biasa. Nama ini lahir dari pertemuan yang nyaris kebetulan, namun sarat makna, dan kemudian menjadi titik tumpu seluruh kisah yang berkembang dari serpihan catatan hidup dan nostalgia masa muda.
Awalnya, kisah "Raumanen" hanyalah salah satu bab dalam novel pertama Katoppo yang berjudul "Dunia Tak Bermusim". Namun karena dirasa memiliki fokus dan napas yang berbeda, bagian itu dipisahkan dan dikembangkan menjadi novel sendiri. Pada tahun 1974, Katoppo baru kembali ke Indonesia setelah tujuh tahun bermukim di luar negeri: Jepang, Inggris, dan Swedia. Ia merasa asing di negeri sendiri. Kawan-kawan lamanya sudah menjadi pakar, pejabat, pengusaha, sementara ia merasa ada kesenjangan pengalaman yang tak mudah dijembatani. Dalam kesunyian itu, dorongan untuk menulis menjadi pelampiasan dan cara menyentuh kembali jejak masa muda yang hampir hilang.
Penulisan "Raumanen" berkembang menjadi catatan kehidupan mahasiswa awal 1960-an—sebelum Jembatan Semanggi, Monas, dan Gelora Bung Karno berdiri. Tapi tokoh utamanya belum punya nama. Katoppo ingin nama yang khas, Minahasa, yang mengandung kekuatan identitas. Namun, kuliahnya di bidang teologi masih menyita banyak tenaga dan pikirannya—tentang Nicaea, skisma besar, dan transsubstansiasi.
Sampai pada suatu hari, datanglah seorang sahabat lama: "Pdt. Aart van der Poel", pensiunan Kepala Pendeta Angkatan Udara Belanda yang kini melayani jemaat di Stockholm. Ia datang ke Jakarta bersama istrinya, Liete Rotty, seorang perempuan Minahasa, yang juga masih kerabat keluarga Katoppo. Saat mereka makan siang di rumah ipar Pdt. Poel, peristiwa kecil namun menentukan itu terjadi.
“Aart mengajakku makan siang ke rumah iparnya, dan di situlah saya bertemu seorang gadis kecil yang lincah dan lucu, yang bernama 'Romanen', kenang Katoppo. Saat ibunya, Francine, menjelaskan bahwa nama itu adalah nama Minahasa kuno, Katoppo berseru, “Ini nama yang kucari!”
Demikian Katoppo menulis pengalaman itu dalam pengantar novelnya, Raumanen.
Nama itu pun segera melekat pada tokoh utama novelnya. Dalam bentuk ejaan yang lebih tua dan asli: "Raumanen". Ia berasal dari bentuk "Raun-manen", yang berarti “gadis pembawa panen.” Nama ini bukan hanya indah secara fonetik, tetapi juga kaya simbol: harapan, kesuburan, kelahiran baru. Dalam sejarah Minahasa sendiri, pernah ada tokoh perempuan pejuang dari Kinilow yang bernama Raumanen.
Pertemuan itu menjadi pemantik. Tapi api semangat menulisnya ditiup juga oleh dorongan seorang sastrawan: M. Rustandi Kartakusuma, yang datang pagi-pagi ke rumah Katoppo hanya untuk berkata, “Jangan kecewa karena naskahmu tidak diterima. Saya datang untuk mendorongmu menulis lagi, dan lagi. Kau betul-betul punya bakat dan banyak cerita yang bisa kau bagi.”
Dan pada suatu sore yang tenang, Katoppo melihat dalam benaknya seorang gadis berdiri di taman sunyi, menunggu tamu-tamu yang tak kunjung datang. Ia tulis semua itu, dan cerita "Raumanen" pun selesai, seperti datang dalam satu tarikan napas. Dari sebuah nama, dari pertemuan yang sederhana, lahirlah kisah yang menggurat dalam sejarah sastra Indonesia. (***)

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...