PADA tanggal 20 Juli 1927, di sebuah jalan kecil dekat gereja di Romo’ong bawah, Amurang, suasana tenang tiba-tiba berubah menjadi awal dari sebuah tragedi yang kelak mengguncang publik di Minahasa dan bahkan sampai ke Batavia. F.H.O. van Emmeloort Stein, seorang pejabat kolonial Belanda yang baru kembali dari Motoling, hampir saja menabrak seorang anak kecil yang sedang bermain di jalan. Beruntung, pengemudi yang membawanya—disebut sebagai Pak S.—berhasil mengerem tepat pada waktunya, sehingga kecelakaan bisa dihindari.
Namun, insiden kecil itu ternyata memicu rangkaian peristiwa tragis. Tidak lama setelah itu, seorang pria Minahasa bernama E. Rimper, yang sedang berjalan menuju kali untuk mandi, dipanggil oleh Van Emmeloort Stein. Rimper, kala itu masih setengah telanjang dengan hanya membawa handuk, berjalan perlahan dan tampak enggan mendekat.
“Mungkin dia takut atau malu karena dia setengah telanjang,” tulis surat kabar Nieuwe Rotterdamsche edisi 25 September 1927.
Van Emmeloort Stein, sang menier Belanda itu marah besar. Dengan emosi, sang pejabat mencengkeram telinga Rimper, menendangnya dari belakang, lalu menyeretnya masuk ke dalam mobil dinas.
Rimper dibawanya ke kantor distrik Amurang. Rimper dibawa ke sebuah ruangan yang kemudian dikunci bersama beberapa pejabat pribumi. Dari luar terdengar suara gaduh dan teriakan "tolong!". Tidak lama kemudian, Rimper dilepaskan, namun kondisinya mengenaskan. Ia pusing, muntah, dan berulang kali pingsan dalam perjalanan pulang. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada hari kelima, Rimper meninggal dunia.
Dokter Masokko, yang melakukan operasi otopsi, melaporkan adanya gegar otak akibat pukulan, diagnosis yang kemudian diperkuat oleh Dr. Weck. Kematian Rimper segera menjadi isu serius, bukan hanya di Minahasa, tetapi juga di Batavia, karena menyangkut perilaku seorang pejabat kolonial terhadap rakyat bumiputra.
Pada 9 Agustus 1927, surat kabar Het Volk melaporkan bahwa Sam Ratulangi, anggota Dewan Rakyat (Volksraad) asal Minahasa, mengajukan pertanyaan resmi kepada pemerintah Hindia Belanda. Ratulangi mempertanyakan kebenaran berita mengenai tindakan kekerasan Van Emmeloort Stein yang berujung pada kematian Rimper.
Jawaban pemerintah, yang dikutip oleh kantor berita Aneta, menyatakan bahwa benar Van Emmeloort Stein telah menangkap Rimper pada tanggal 20 Juli, dan bahwa Rimper meninggal lima hari kemudian. Namun, pemerintah berusaha meredam isu dengan menyatakan bahwa investigasi awal “tidak menghasilkan bukti yang memberatkan terdakwa” dan bahwa hasil penyelidikan lebih lanjut akan diumumkan kemudian,
Pernyataan resmi ini jelas bernuansa defensif, memperlihatkan kecenderungan pemerintah kolonial melindungi pejabatnya. Padahal, Rimper sebelum meninggal sudah sempat menuduh Stein sebagai pelaku pemukulan.
Meskipun kasus ini mendapat perhatian luas, hasil akhirnya mengecewakan banyak pihak. Jaksa penuntut umum sempat mengajukan banding, tetapi pengadilan menjatuhkan hukuman yang sangat ringan: hanya satu bulan penjara untuk Van Emmeloort Stein (Het Volk, 09-08-1927). Hukuman tersebut dinilai tidak sebanding dengan akibat perbuatannya—hilangnya nyawa seorang warga sipil Minahasa.
Lebih ironis lagi, hukuman ringan itu tidak menghentikan karier administratif Stein. Laporan media pada Februari 1928 menyebutkan bahwa setelah kasusnya mereda, ia untuk sementara dipindahkan dari layanan administrasi di Menado dan ditugaskan di Kementerian Keuangan untuk mempersiapkan pendirian tiga kantor akuntansi di Padang, Palembang, dan Medan. Tidak lama kemudian, pada Maret 1928, ia bahkan diangkat menjadi sekretaris daerah di Pekalongan. Artinya, bukannya terhenti, kariernya justru berlanjut di jalur birokrasi kolonial yang lebih luas.
Comments
Post a Comment