
Di tengah bayang pendudukan Jepang yang mengekang gereja dan menawan pemimpin Belanda, GMIM menemukan wajah barunya lewat kepemimpinan pendeta Minahasa, Ds. A.Z.R. Wenas.
AWAL tahun 1942. Laut Sulawesi bergemuruh. Dari Davao, Filipina, kapal-kapal perang Jepang berlayar menuju selatan. Di langit, pesawat-pesawat tempur melintas seperti kawanan burung hitam. Pada 11 Januari, mereka mendarat di Manado dan Kema. Sehari itu juga, langit Minahasa dipenuhi terjun payung Jepang—operasi pertama mereka di Asia Tenggara.
Mayor Ben Schillmöller, komandan Belanda, mencoba bertahan. Bersama pasukan KNIL, milisi Eropa, dan warga lokal Minahasa, ia mendirikan barikade di Pineleng, Tinoör, hingga Tomohon. Dentuman senjata terdengar. Namun kekuatan mereka terlalu kecil. Dalam dua hari, Manado, Tomohon, dan Langoan jatuh. Bendera matahari terbit berkibar di bumi Minahasa.
Kehidupan berubah seketika. Laurens Th. Manus, dkk dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan Daerah Sulawesi Utara (1945–1949) buku hasil penelitian Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1991/1992 menuliskan, ketika Jepang menduduki Minahasa sekolah-sekolah yang dulu berdiri megah dengan bahasa Belanda sebagai pengantar kini diambil alih Jepang. Bahasa Jepang diwajibkan. Kurikulum diganti. Anak-anak belajar menyanyikan lagu-lagu Kaisar. Guru-guru disiapkan di sekolah khusus, Kyooin Kanri Yooseisyo, agar bisa menjadi alat propaganda.
Tak hanya pendidikan. Agama pun masuk dalam cengkeraman. Jepang tahu, gereja memiliki pengaruh besar. Karena itu mereka membuat aturan ketat. Ibadah boleh berjalan, tetapi khotbah hanya boleh tentang doa dan pengajaran rohani. Bicara politik dilarang. Meminta derma dengan paksaan dilarang. Semua kegiatan diawasi, bahkan soal kesehatan jemaat pun diperiksa aparat.
Pada Juni 1942, Jepang memanggil semua pemimpin Kristen di Minahasa. Dari berbagai denominasi mereka dikumpulkan. Lalu lahirlah sebuah wadah bernama Majelis Agama-agama Kristen (MAK). Maksudnya persatuan, tetapi sesungguhnya kontrol. Organisasi itu tak bertahan lama. Tahun 1944, Jepang menggantinya dengan Menado Syu Kirisutokyo Kyookai (MSKK), atau Persatuan Agama Kristen Sulawesi Utara. Pimpinan barunya, seorang pendeta Jepang bernama Hamazaki. Di balik nama indah “persatuan”, tersimpan maksud lain: pengawasan yang lebih ketat.
Di tengah bayang-bayang itu, Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) terkena pukulan keras. Ketua Sinode, Ds. G.Ph. Locher, seorang Belanda, ditangkap. Ia bersama Uskup Panis dijadikan interniran. Sosok yang selama ini menjadi panutan jemaat kini hilang di balik jeruji. Jemaat gamang. Gereja seakan kehilangan gembalanya.
Namun sejarah tidak berhenti. Dari tengah rakyat sendiri, muncul pendeta Minahasa, Ds. A.Z.R. Wenas. Tahun 1942, ia ditunjuk memimpin GMIM sebagai ketua Sinode menggantikan Ds. Locher. Kepemimpinannya baru disahkan dalam Sidang Sinode 1945, tetapi sejak saat itu wajah gereja berubah. Untuk pertama kalinya sejak berdiri tahun 1934, GMIM dipimpin oleh pendeta Minahasa, bukan pendeta Belanda.
Puncak kontrol pemerintah Jepang terhadap gereja terjadi pada Juni 1943. Saat itu Menado Syucosyo mengeluarkan sebuah aturan tertulis yang disampaikan ke semua gereja. Bunyi peraturan itu jelas dan tegas:
“Gereja diizinkan melaksanakan ibadah, tetapi isi khotbah hanya boleh mengenai hal-hal rohani. Tidak boleh memuat hal politik atau sesuatu yang menghasut.”
“Pengumpulan derma dengan paksaan tidak diperkenankan. Semua pemberian jemaat harus sukarela.”
“Kebersihan dan kesehatan gedung serta jemaat harus selalu diperhatikan. Gereja berada dalam pengawasan Pemerintah.”
“Setiap kegiatan di luar ibadah harus dilaporkan lebih dahulu kepada Pemerintah, untuk mendapat izin.”
Ds. Wenas bukan hanya seorang pendeta. Ia menjadi tanda zaman. Tugasnya berat. Ia harus menjaga iman jemaat, sementara di luar sana mata-mata Jepang mengintai. Bersama H.J.D. Tinangon, ia berjuang membuka kembali gereja-gereja yang ditutup. Perjuangan itu membuahkan hasil. Sejak 18 Juni 1942, pintu-pintu gereja kembali terbuka. Jemaat bisa beribadah, meski dengan hati-hati.
Hari Minggu tetap tiba. Jemaat berdiri menyanyikan pujian, doa dipanjatkan, Alkitab dibacakan. Tetapi rasa cemas selalu hadir. Apakah khotbah hari itu akan dianggap melanggar aturan? Apakah pintu gereja akan ditutup lagi? Di balik ketakutan itu, iman justru semakin teguh. Solidaritas antar denominasi tumbuh, meski awalnya dipaksa oleh kebijakan Jepang.
Dalam situasi ini, peran Ds. Wenas sangat berarti. Ia bukan hanya gembala jemaat, melainkan juga simbol identitas. Kehadirannya membuktikan bahwa gereja Minahasa bisa berdiri di atas kaki sendiri. Tidak lagi bergantung pada misionaris Belanda, tetapi dipimpin oleh darah dan daging Minahasa. Dari sini lahir semangat otonomi yang kelak menjadi ciri khas GMIM pasca perang.
Masa Jepang bukanlah masa yang mudah. Itu adalah tahun-tahun penuh tekanan. Namun di balik penindasan, ada sebuah kelahiran baru. GMIM menemukan wajahnya sendiri. Dari balik penderitaan, gereja belajar berdiri.(***)
Comments
Post a Comment