Skip to main content

Janji Bung Karno kepada Yurike Sanger, “Adiklah, istri yang terakhir”



KABAR duka itu datang dari California. 17 September 2025. Di sebuah rumah sakit di kota kecil Banning, San Gorgonio Memorial Hospital, seorang perempuan Minahasa berusia delapan puluh tahun telah meninggal dunia. Nama lengkapnya Yurike Mariana Sanger, tapi lebih dikenal dengan nama Yurike Sanger.

Yurike lahir di Paso, Kakas Minahasa tanggal 21 Mei 1945. Ia anak dari pasangan keturunan Jerman dan Minahasa. Ayahnya bermarga Goltmier, ibunya bermarga Sanger dari Kakas, Minahasa. Dialah salah satu perempuan yang pernah menjadi bagian dari lingkaran rumah tangga Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno.


Pertemuan Tak Terduga

Cerita dimulai pada 1963, di Jakarta. Soekarno menghadiri sebuah acara kenegaraan. Seperti biasa, Bung Karno tidak hanya memperhatikan pidato atau upacara. Ia juga sering mengamati sekelilingnya.

Di hadapannya berdiri barisan siswa Bhinneka Tunggal Ika, remaja-remaja yang mengenakan busana tradisional Nusantara. Dari sekian wajah, matanya tertuju pada satu sosok. Seorang gadis Minahasa, baru kelas II SMA VII Jakarta. Itulah Yurike Sanger.

“Pakai nama Yuri saja. Nama dengan embel-embel -ke atau -ce itu kebarat-baratan, tidak sesuai dengan kepribadian nasional kita,” ujar Soekarno saat pertemuan pertamanya dengan Yurike, seperti dikutip Kadjat Adra’i dalam bukunya Percintaan Bung Karno dengan Anak SMA, terbit tahun 2012. 

Sejarawan Peter Kasenda bersama Sigit Suryanto dan Uji Prastya dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014) menuliskan bahwa sejak pertemuan itu, Bung Karno jatuh hati. Ia bahkan langsung melamar Yurike dengan kalimat:

“Adiklah, istri yang terakhir.”

Kalimat sederhana, tetapi begitu kuat untuk seorang remaja belia. Yurike percaya, seolah menemukan takdir hidupnya.

Tak lama kemudian, Bung Karno datang ke rumah Yurike di Jakarta. Kedatangan itu membuat keluarga kaget. Ayah dan ibu Yurike ragu. Putrinya masih sekolah, sementara Soekarno adalah presiden, jauh lebih tua, dan sudah beristri banyak.

Akhirnya, meski hati keluarga berat, mereka merestui. Pada 6 Agustus 1964, Soekarno dan Yurike menikah. Pernikahan ini dihadiri keluarga Yurike, meski di balik senyum tetap tersimpan rasa was-was. Ketika menikah dengan Bung Karno, nama Yurike diganti menjadi Yuriwati. Sepertinya nama ini disukai oleh Yurike, terbukti nama akun Facebooknya menggunakan nama Yuriwati Soekarno.

Pernikahan mereka berjalan singkat. Menurut Kasenda dkk,, Yurike sempat mengandung setahun setelah menikah, tetapi melahirkan bayi prematur. Dokter melarangnya hamil selama tiga tahun. Itu membuat hubungan mereka jarang diceritakan lagi dalam catatan keluarga besar Bung Karno. 

Sementara itu, dunia internasional mulai mengendus keberadaan istri-istri Bung Karno. Majalah Time edisi 1967 menulis dalam artikel “Divorced” menulis, “Pada saat yang sama, Sukarno mengumumkan pernikahan rahasianya, kemungkinan tiga tahun lalu, dengan Yurike Sanger, 21 tahun, dari Celebes Utara...”

Namun media Barat menulisnya dengan nada sinis, seolah hanya skandal. Tidak banyak yang mau melihat sisi personal dari seorang gadis bermarga Minahasa yang jatuh cinta pada presiden bangsanya.

Sementara Adrian Vickers dalam A History of Modern Indonesia (2005) menulis bahwa setelah Ratna Sari Dewi dan Haryati, Bung Karno menikahi Yurike pada tahun 1964, dan Heldy Jafar pada 1967. Itu berarti Yurike tercatat sebagai istri ketujuh.

Surat Natal

Meski badai politik makin kencang, Bung Karno masih menyempatkan diri menulis surat untuk Yurike. Artikel di VOI mengutip salah satunya, tertanggal 25 Desember 1964.

“Yury dear, bersama ini saya kirim tanda mata dan sedikit uang untuk Natal. Selamat Natal, semoga Tuhan selalu menyertai engkau dengan rahmat-Nya. Sesungguhnya saya sangat rindu, tetapi kesibukan belum memberi kesempatan menjenguk. Semoga Senin depan saya bisa menemuimu. Cinta, 25/12/64.”

Surat sederhana, tetapi menyimpan keintiman. Banyak informasi menyebutkan bahwa ketika menikah dengan Bung Karno Yurike memeluk agama Islam. Tapi surat ini sepertinya membuktikan bahwa Yurike tetap Kristen. Postingan foto dan video Yurike di akun Facebooknya memperlihatkan bahwa dia aktif dalam kegiatan-kegiatan gerejawi di California. Ia juga aktif berkumpul dengan orang-orang Minahasa atau Kawanua di Amerika.  

Yurike kemudian mengenang, “Bung Karno itu laki-laki sejati. Ia tahu bagaimana memperlakukan perempuan.”

Namun kemudian, satu per satu istri Bung Karno meninggalkannya. Dewi Soekarno bercerai tahun 1970, Hartini pun menjauh, Haryati lebih dulu mundur. Fatmawati bahkan menegaskan, seperti dikutip Theodore Friend, dalam bukunya “Indonesian Destinies” (2003), mengutip pernyataan Fatmawati yang berkata kepada Shimizu, penerjemah Jepang,  “Big Daddy can build a nation, but he can’t form his own character,” “Bung Besar bisa membangun bangsa, tetapi ia tidak bisa membentuk karakternya sendiri.”

Kalimat ini seolah mewakili perasaan Yurike. Ia pun akhirnya tercerabut dari lingkar rumah tangga Bung Karno. Setelah bercerai dengan Bung Karno, beberapa tahun kemudian Yurike menikah dengan seorang pengusaha bernama Subekti Didi dan memiliki dua anak, yaitu Lita dan Ramadhian. 

Menepi ke Amerika 

Sejak tahun 1998, Yurike pindah dan menetap di Amerika. Setelah kejatuhan Soekarno pada 1967, Yurike perlahan hilang dari sorotan. Tidak seperti Ratna Sari Dewi yang tetap tampil glamor di media internasional, atau Fatmawati yang dikenang sebagai ibu negara, nama Yurike semakin jarang disebut.

Ia memilih menepi. Hidupnya kemudian berpindah ke Amerika Serikat. Di negeri itu, Yurike menjalani kehidupan sederhana, jauh dari gemerlap masa mudanya di Istana Merdeka.

Theodore Friend menulis, “Sukarno’s edifice of marriages would collapse in the end” (Bangunan pernikahan Soekarno akhirnya runtuh). Runtuhnya bukan hanya untuk Soekarno, tetapi juga bagi para istrinya, termasuk Yurike, yang akhirnya harus membangun hidup sendiri di negeri asing.

Tahun-tahun senjanya dihabiskan dalam kesunyian. Tidak banyak yang tahu detail kehidupannya di Amerika. Sesekali namanya muncul dalam tulisan sejarawan atau artikel media, seperti artikel VOI yang mengenang surat Natal Soekarno untuknya. Sesekali ia memposting foto bersama Soekarno di akun Facebooknya.

Hingga akhirnya, 17 September 2025, berita kematiannya datang. Tidak ada gemuruh. Hanya kabar singkat: “Yurike Sanger meninggal dunia di San Gorgonio Memorial Hospital, California, pada usia 80 tahun,” tulis media.

Feky Goni asal Minahasa yang menetap di Amerika pada tahun 2023 bertemu dengan Yurike dan mewawancarainya yang kemudian diposting di Facebook. 

“Bagaimana kesan menjadi istri presiden pertama”? Tanya Feky 

“Sebenarnya sama saja. Cuma perbedaannya bahwa saya istri dari Presiden pertama, Bung Karno. Tapi kalau dilihat dari kehidupan, saya rasa itu sama. Jadi tidak ada perbedaan. Tapi hanya mungkin ada satu perbedaan, bahwa kalau kita ke mana-mana sebagai istri presiden, tentu ada pengawal presiden. Pada waktu terjadinya G30S, ya walaupun kita masih dikawal oleh Patwal, tapi terutama saya merasa seperti orang penjara. Karena antara saya dengan orang penjara, sama-sama dikawal,” ujar Yurike.

“Bagaimana Soekarno itu menurut tante Yurike?” Tanya Feky. 

“Beliau itu orangnya romantis, dan orangnya betul-betul penyayang.  He is very very lovers,” ujar Yurike.  

Di masa tuanya, Yurike rupanya menikmati hidupnya sebagai berkat dari Tuhan. Sikap religius ini dia nyatakan dengan penuh makna. “Kita dilahirkan telanjang, kita juga pergi menghadap ke Yang Maha Esa, juga telanjang,” kata Yurike kepada Feky Goni (***)


Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...