Pengantar
Ide untuk menulis pokok ini
muncul dalam diskusi Mawale Cultural Center di "Wale Kalutay"
(kediaman saya dan keluarga), Sabtu, 20 September 2025. Topik diskusi seputar
rencana penulisan dan penerbitan buku "Memerdekakan (Tou) Minahasa part
2". Buku part 1 terbit tahun 2010. Maksud diskusi ini adalah mendiskusikan
tentang perkembangan kebudayaan kontemporer yang nanti menjadi konteks kajian
dan penulisan artikel oleh masing-masing penulis. Dari macam-macam ide yang
muncul, isu yang mengundang diskusi hangat adalah tentang epistemologi dan
metodologi, dan bagian darinya menyinggung tentang teori poskolonial dan
dekolonisasi metodologi. Meskipun tidak ada kesimpulan yang terumus, tapi hal
menarik yang sempat muncul dalam percakapan adalah tentang pentingnya cara
pandang yang melampaui dari wacana, teori atau pendekatan-pendekatan yang tidak
menjadikan tou dan kebudayaan Minahasa secara umum sebagai subjek.
“Kolonialisme”
yang Masih Perlu Disoal
Sejarah Indonesia sering kali
dibuka dengan pernyataan bahwa bangsa ini dijajah Belanda selama tiga setengah
abad. Soekarno menggunakan angka itu sebagai retorika moral-politik, menekankan
penderitaan panjang bangsa sebagai pelajaran untuk menjaga kesatuan, sementara
Mohammad Yamin memasukkannya ke dalam historiografi dan pendidikan nasional
agar menjadi memori kolektif. Klaim tersebut, meskipun faktualnya telah
dibantah oleh sejarawan seperti G. J. Resink dalam History Between
the Myths, berfungsi kuat sebagai mitos nasional yang membentuk
kesadaran kebangsaan. Justru karena sifatnya yang mitis itulah narasi “350
tahun dijajah” dapat dijadikan pintu masuk untuk mengkritisi persoalan yang
lebih mendasar: bagaimana istilah kolonialisme itu
sendiri bekerja dalam pengetahuan kita, baik di tingkat politik maupun
akademik.
Resink mengingatkan bahwa
kolonialisme bukanlah kategori sejarah yang tunggal dan linear, melainkan
konstruksi yang sering lahir dari proyeksi ke belakang demi kepentingan
ideologis. Kritik ini membuka jalan bagi refleksi yang lebih luas: apakah
istilah “kolonialisme” yang begitu dominan dalam wacana akademik benar-benar
menggambarkan kerumitan sejarah penaklukan, perlawanan, negosiasi, dan kerja
sama antara bangsa-bangsa? Ataukah ia lebih tepat dibaca sebagai kerangka
konseptual yang sudah terlanjur hegemonik, lahir dari pengalaman Barat, dan
kemudian dipaksakan sebagai kacamata universal? Pertanyaan ini penting karena
studi poskolonial dan dekolonisasi metodologi, meskipun bertujuan membongkar
warisan kolonial, kerap terjebak dalam totalisasi: seolah-olah semua aspek
politik, ekonomi, dan budaya di masyarakat bekas jajahan hanya dapat dijelaskan
melalui kategori “kolonial.”
Edward Said dalam Orientalism
menunjukkan bagaimana kolonialisme tidak hanya bekerja melalui dominasi
militer, tetapi juga melalui produksi pengetahuan yang membingkai Timur sebagai
liyan. Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth
menyebut kolonialisme sebagai “peniadaan sistematis terhadap yang lain.”
Sementara itu, Ania Loomba menekankan bahwa kolonialisme selalu terkait dengan
produksi wacana yang menjustifikasi dominasi. Akan tetapi, para pemikir ini pun
tetap menjadikan “kolonialisme” sebagai kategori utama, yang kadang
diperlakukan terlalu menyeluruh. Hal inilah yang menimbulkan persoalan
epistemologis: jika istilah yang dipakai sejak awal problematis, bagaimana
mungkin ia menjadi fondasi bagi metodologi yang disebut “dekolonial”?
Tulisan ini bermaksud menelusuri
dan mengkritisi titik-titik rapuh tersebut. Ia tidak hanya akan mengulang kisah
penaklukan dan perlawanan, tetapi lebih jauh membedah kerumitan, keragaman,
bahkan ketidakjelasan wacana kolonialisme itu
sendiri. Dengan memanfaatkan pandangan Foucault tentang wacana yang totalis,
Giddens tentang dialektika struktur dan agensi, Geertz tentang interpretasi
budaya, hingga Polanyi dan Wallerstein tentang transformasi global, laporan ini
akan memperlihatkan bahwa “kolonialisme” tidak pernah hadir sebagai realitas
tunggal. Ia selalu berupa mosaik yang penuh kontradiksi: dominasi sekaligus
kerja sama, penaklukan sekaligus negosiasi, pemaksaan sekaligus adaptasi.
Karena itu, fokus tulisan ini, tidaklah terutama membuktikan benar atau salahnya klaim “350 tahun dijajah,” melainkan
menjadikannya contoh betapa sejarah dan terminologi kolonialisme sering kali
dibentuk oleh mitos, simbol, dan konstruksi wacana. Dari sana, kita diajak
mempertanyakan ulang kerangka besar studi poskolonial dan dekolonisasi
metodologi: apakah benar ia menawarkan jalan keluar dari warisan kolonial, atau
justru masih terjebak dalam istilah dan epistemologi yang diturunkan oleh
kolonialisme itu sendiri. Dengan cara itu, tulisan ini hendak membuka ruang
untuk membaca sejarah dan ilmu sosial-politik secara lebih plural, kritis, dan
terbebas dari reduksionisme kategori tunggal bernama “kolonialisme.”
Asal-Usul Istilah Kolonialisme
Sejarah wacana kolonialisme tidak dapat
dilepaskan dari akar etimologisnya yang jauh lebih tua daripada praktik
kolonial modern itu sendiri. Kata colonialism berasal dari bahasa Latin colonia,
yang berarti “pemukiman,” serta colonus, yang menunjuk pada “petani”
atau “penetap.” Akar kata ini, colere, memiliki arti “mengolah” atau
“menempati.” Dalam pengertian awalnya, istilah ini tidak serta merta
menyiratkan dominasi politik, melainkan lebih kepada praktik perpindahan
penduduk dan pembentukan komunitas baru di suatu wilayah. Dengan demikian,
kolonisasi mula-mula lebih dipahami sebagai fenomena migrasi dan pemukiman
ketimbang sebagai proyek penaklukan atau eksploitasi.
Dalam perkembangan bahasa-bahasa Eropa
modern, bentuk sifat colonial muncul lebih dahulu. Kata ini digunakan
untuk menunjuk segala sesuatu yang berkaitan dengan koloni atau kehidupan di
daerah jajahan, tanpa konotasi yang langsung ideologis. Menurut catatan Oxford
English Dictionary, bentuk kata benda colonialism baru mulai
digunakan pada awal abad ke-19, dengan bukti paling awal tercatat pada 1843.
Menariknya, catatan ini memperlihatkan bahwa pada masa itu colonialism
masih dipahami secara relatif netral, yakni merujuk pada keberadaan koloni atau
keadaan hidup yang khas bagi masyarakat kolonial. Baru kemudian, sekitar tahun
1884, istilah ini memperoleh makna yang lebih tegas: “sistem pemerintahan
kolonial.” Pergeseran makna ini tidak bisa dilepaskan dari konteks ekspansi
kolonial Eropa yang sedang berada pada puncaknya pada abad ke-19, ketika
perebutan wilayah di Asia, Afrika, dan Pasifik berlangsung dengan intensitas
tinggi.
Jeremy Bentham disebut-sebut sebagai
salah satu pemikir awal yang menggunakan istilah terkait kolonisasi dalam
kerangka utilitarian. Dalam The Panopticon Writings (1791), Bentham
berbicara tentang praktik pembuangan narapidana ke New South Wales. Ia menyebut
keberangkatan “koloni narapidana” dan membandingkan efisiensi antara menahan
mereka di penjara panopticon atau mengirim mereka sebagai pemukim di tanah
jauh. Dalam Letter XV dan Letter XVI, Bentham tidak menyinggung
kolonialisme sebagai sebuah ideologi kekuasaan global, melainkan membicarakan
kolonisasi dalam kerangka praktis: biaya, pemeliharaan, dan produktivitas
narapidana. Bagi Bentham, kolonisasi adalah alternatif administratif, bukan
proyek ideologis. Hal ini memperlihatkan bahwa bahkan menjelang akhir abad
ke-18, istilah terkait koloni masih sangat cair, dan belum dimaknai secara
konsisten sebagai dominasi imperial.
Pemaknaan yang lebih kompleks terhadap
istilah kolonial muncul dalam tulisan-tulisan H. van Kol, seorang tokoh
sosialis Belanda yang banyak menulis tentang Hindia Belanda. Dalam karyanya Uit
Onze Koloniën, ia menggunakan istilah koloniaal bukan hanya sebagai
penjelasan teknis, tetapi juga sebagai penanda identitas dan relasi kuasa. Bagi
Van Kol, seorang “kolonial” adalah orang Belanda yang tinggal dan bekerja di
Hindia, namun istilah itu juga mencerminkan realitas kehidupan yang penuh
kontradiksi. Ia menulis bahwa “orang kolonial memandang negeri ini sebagai
ladang kerja bagi peradaban, tetapi terlalu sering ia lupa bahwa penduduk
pribumi yang menanggung beban terberat.” Lebih jauh, ia menekankan jarak sosial
antara penguasa kolonial dan yang dikuasai, jarak yang tidak bisa dijembatani
hanya dengan niat baik. Dengan demikian, kolonial dalam wacana Van Kol
mengandung dua wajah: kebanggaan atas “misi peradaban,” sekaligus kritik
terhadap ketidakadilan struktural yang melekat dalam sistem kolonial.
Seiring waktu, kolonialisme kemudian
berkembang menjadi istilah yang tidak hanya bersifat deskriptif, melainkan juga
sarat ideologi. Stanford Encyclopedia of Philosophy mencatat bahwa pada abad
ke-20 istilah ini tidak lagi dipahami secara netral, melainkan sudah memikul
konotasi eksploitasi, dominasi, dan ketidakadilan. Ia menjadi sebuah kategori
analitis dalam sejarah, sosiologi, antropologi, dan studi sastra. Aimé Césaire
dalam Discourse on Colonialism bahkan menegaskan bahwa kolonialisme pada
dasarnya adalah proyek dehumanisasi, yang meniadakan nilai-nilai kemanusiaan
dengan membenarkan kekerasan atas nama “peradaban.” Dalam kerangka inilah
kolonialisme bertransformasi menjadi istilah yang hampir selalu dipahami secara
pejoratif, bahkan ketika masih diperdebatkan apakah ia seharusnya dipandang
sebagai fakta obyektif atau sekadar konstruksi wacana.
Perdebatan epistemologis tentang
kolonialisme semakin mengemuka ketika para pemikir pascakolonial mulai menyoal
bias pengetahuan yang dihasilkan oleh kolonialisme. Edward Said, misalnya,
melalui Orientalism, menunjukkan bahwa kolonialisme tidak bisa
dipisahkan dari praktik representasi: Barat menciptakan citra tentang Timur
sebagai eksotik, irasional, dan inferior, yang justru melegitimasi dominasi
mereka. Ania Loomba dalam Colonialism/Postcolonialism menekankan bahwa
kolonialisme tidak hanya soal eksploitasi ekonomi, melainkan juga produksi
pengetahuan yang mendukung dominasi itu sendiri. Sementara Jürgen Osterhammel
dalam Colonialism: A Theoretical Overview berupaya merumuskan definisi
yang lebih sistematis: kolonialisme adalah relasi antara mayoritas pribumi
dengan minoritas asing yang berkuasa untuk kepentingan sendiri. Dengan kata
lain, kolonialisme bukan hanya praktik historis, tetapi juga kerangka analitis
yang terus diperdebatkan.
Dari uraian etimologis dan konseptual
ini, tampak jelas bahwa istilah kolonialisme sejak awal mengandung ketegangan
antara dua wajahnya: di satu sisi sebagai realitas historis obyektif berupa
penaklukan dan eksploitasi, di sisi lain sebagai konstruksi wacana yang menata
cara kita melihat dan memahami masa lalu. Ketegangan ini akan menjadi titik
pijak penting bagi kritik dalam pembahasan selanjutnya, terutama ketika kita
mempertanyakan apakah studi poskolonial dan dekolonisasi metodologi sungguh
berhasil keluar dari warisan epistemologis kolonialisme, atau justru masih
terjebak dalam istilah yang sejak awal ambigu dan problematis.
Narasi Kolonialisme dalam Sejarah
Indonesia
Wacana
tentang kolonialisme dalam sejarah Indonesia sering kali dirangkum dalam satu
kalimat yang begitu populer: “Bangsa Indonesia dijajah Belanda selama 350
tahun.” Ungkapan ini tidak hanya muncul dalam buku pelajaran, tetapi juga dalam
pidato kenegaraan dan wacana politik sejak awal kemerdekaan. Soekarno, dalam Di
Bawah Bendera Revolusi, mengartikulasikannya sebagai metafora
penderitaan sekaligus hukuman sejarah: tiga setengah abad dianggap sebagai masa
panjang di mana bangsa Indonesia harus belajar arti persatuan. Mohammad Yamin,
dengan posisinya sebagai sejarawan sekaligus politisi, turut
menginstitusionalisasi narasi ini dalam historiografi nasional dan kurikulum
pendidikan. Dengan demikian, kolonialisme ditempatkan bukan hanya sebagai
rangkaian peristiwa sejarah, melainkan sebagai ideologi penindasan yang harus
ditolak secara total.
Di sidang BPUPKI tahun 1945,
Yamin menegaskan, “Negara Rakjat Indonesia menolak segala dasar pendjadjahan
kolonialisme sebagai dasar pembentukan negara.” Pernyataan ini memperlihatkan
bahwa kolonialisme dipandang sebagai antitesis dari kemerdekaan. Proklamasi pun
diletakkan sebagai “usaha awal untuk mengakhiri penghisapan kolonialisme,”
sehingga kemerdekaan Indonesia dimaknai bukan hanya sebagai peristiwa politik,
melainkan sebagai pemutusan tegas dari sebuah sistem ideologi. Dengan kerangka
demikian, kolonialisme masuk ke dalam fondasi identitas nasional Indonesia: ia
adalah “musuh bersama” yang harus ditutup babaknya sekaligus dijadikan
pelajaran kolektif.
Soekarno meneguhkan kerangka ini
dengan retorika yang lebih ekspresif. Dalam pidato di Konferensi Non-Blok Kairo
1964, ia menyerukan, “Enjahkan imperialisme! Enjahkan kolonialisme! Enjahkan
neo-imperialisme! Enjahkan neo-kolonialisme!” Seruan itu memperlihatkan
perluasan makna kolonialisme: tidak hanya menunjuk pada penjajahan Belanda di
Nusantara, tetapi juga pada bentuk-bentuk dominasi baru yang lebih halus. Dalam
pidato Hari Antikolonialisme (24 April 1958), Soekarno menyebut zamannya
sebagai “jaman runtuhnya kolonialisme dan imperialisme,” menandai keyakinan
bahwa kolonialisme adalah babak sejarah dunia yang sedang ditutup. Di sini
kolonialisme diposisikan bukan semata pengalaman historis, tetapi ideologi
global yang harus dihancurkan demi membuka ruang bagi identitas baru
bangsa-bangsa merdeka.
Wacana ini berpengaruh besar
terhadap narasi sejarah resmi dan kurikulum pendidikan. Sebagai Menteri
Pengajaran, Yamin mendorong agar sejarah nasional ditulis dari perspektif
rakyat Indonesia, bukan dari sudut pandang kolonial yang Euro-sentris. Seminar
Sejarah Nasional pertama di Yogyakarta tahun 1957 mempertegas hal ini,
menjadikan rakyat Indonesia sebagai subjek utama sejarah. Kurikulum sekolah,
misalnya Rencana Pelajaran Terurai 1952, secara eksplisit bertujuan membebaskan
generasi muda dari “ajaran pro-kolonialisme” dan menanamkan kebanggaan akan
perjuangan bangsa sendiri. Sejarah kolonial dengan demikian dibingkai sebagai
narasi penindasan yang diakhiri oleh nasionalisme, dan kemerdekaan dipahami
sebagai pemulihan martabat bangsa.
Namun, pandangan kritis seperti
yang ditawarkan G. J. Resink mengingatkan bahwa narasi tersebut tidak
sesederhana yang digambarkan. Dalam History Between the Myths,
Resink menolak klaim bahwa Belanda menguasai Indonesia secara penuh selama tiga
setengah abad. VOC, kata Resink, bukanlah negara kolonial, melainkan perusahaan
dagang dengan kekuasaan yang terbatas, sementara banyak kerajaan Nusantara
masih mempertahankan kedaulatannya hingga abad ke-19. Dominasi Belanda bersifat
bertahap, penuh negosiasi, dan baru memperoleh kendali administratif yang
relatif menyeluruh pada abad ke-19. Dengan kata lain, sejarah kolonialisme
Belanda di Indonesia adalah mosaik yang terdiri dari perang, perjanjian,
kolaborasi, dan resistensi.
Fakta ini menunjukkan adanya agensi
lokal yang tidak bisa diabaikan. Di Maluku, Sultan Baabullah memimpin
perlawanan terhadap Portugis pada abad ke-16, sementara sejumlah kerajaan lain
justru menjalin aliansi dengan kekuatan Eropa untuk menghadapi musuh
regionalnya. Di Jawa, Perang Diponegoro (1825–1830) menjadi simbol resistensi
besar, tetapi di saat yang sama Belanda juga mengandalkan kolaborasi priyayi
untuk menopang kekuasaannya. Di Minahasa, VOC awalnya diterima sebagai sekutu
untuk melawan ancaman eksternal dari Ternate dan Makassar, meski kemudian
perlawanan lokal muncul terhadap kerja paksa kopi yang diberlakukan pada abad
ke-19. Semua ini memperlihatkan bahwa kolonialisme tidak bisa dipahami sebagai
penaklukan tunggal, melainkan sebagai proses berlapis penuh kontradiksi.
Konsekuensi
epistemologis dari kenyataan ini sangat penting. Jika kolonialisme hanya
dipahami melalui narasi linear “350 tahun dijajah,” maka kita kehilangan
kemampuan untuk melihat keragaman pengalaman historis: resistensi yang gigih,
kolaborasi yang penuh kalkulasi, dan negosiasi yang menghasilkan ruang-ruang
baru bagi masyarakat lokal. Dalam arti ini, kolonialisme lebih tepat dipahami
sebagai kerangka diskursif yang diproduksi untuk tujuan ideologis—baik oleh
penguasa kolonial yang menekankan legitimasi imperium, maupun oleh nasionalis
yang membangunnya sebagai mitos perlawanan. Seperti ditunjukkan Resink, tugas
sejarawan bukan hanya mengoreksi fakta, tetapi juga membongkar konstruksi
ideologis yang menyelubungi historiografi kolonial dan nasional.
Dengan demikian, narasi
kolonialisme dalam sejarah Indonesia menyingkap dua wajah sekaligus: di satu
sisi sebagai ideologi penindasan yang diangkat dalam pidato-pidato Soekarno dan
Yamin untuk membangun identitas kebangsaan, dan di sisi lain sebagai kategori
analitis yang problematis, karena menutupi kerumitan realitas historis.
Kolonialisme bukanlah satu kategori seragam, melainkan sebuah mosaik yang
berlapis-lapis, penuh ketegangan antara dominasi dan agensi lokal. Bagian ini
menegaskan bahwa titik pijak kritis untuk memahami kolonialisme bukan terletak
pada durasi penjajahan, melainkan pada cara istilah itu bekerja dalam membentuk
kesadaran sejarah dan epistemologi ilmu sosial-politik Indonesia.
Studi Poskolonial—Kekuatan dan
Keterbatasannya
Teori poskolonial muncul pada paruh
akhir abad ke-20 sebagai salah satu upaya paling signifikan untuk membongkar
warisan kolonialisme dalam ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan politik. Ia lahir
dari kesadaran bahwa kolonialisme tidak hanya meninggalkan luka historis berupa
penaklukan dan eksploitasi, tetapi juga warisan epistemologis: cara berpikir,
menulis, dan memahami dunia yang dikondisikan oleh kerangka kolonial. Edward
Said, Frantz Fanon, Homi Bhabha, dan Gayatri Spivak menjadi empat tokoh sentral
yang membentuk medan intelektual ini, masing-masing dengan titik tekan yang
berbeda, tetapi sama-sama mengarahkan perhatian pada dominasi pengetahuan Barat
dan kebutuhan untuk mendengar suara mereka yang pernah didiamkan.
Edward Said dalam Orientalism
(1978) memperlihatkan bagaimana kolonialisme bekerja melalui representasi.
Menurutnya, “Timur” bukanlah kategori netral, melainkan hasil konstruksi wacana
Barat yang memandangnya sebagai eksotik, irasional, dan inferior. Representasi
semacam ini bukan hanya gambaran, melainkan perangkat kuasa: ia melegitimasi
dominasi kolonial dengan menempatkan “Timur” sebagai objek yang pantas
ditaklukkan. Said membuka mata akademisi bahwa teks, arsip, dan pengetahuan
ilmiah yang tampak netral pun sarat kepentingan ideologis.
Frantz Fanon dalam The Wretched of
the Earth (1961) mengangkat aspek psikologis dan eksistensial dari
kolonialisme. Bagi Fanon, kolonialisme bukan hanya penguasaan tanah, tetapi
juga “peniadaan sistematis terhadap liyan.” Kolonialisme merusak identitas,
membuat bangsa terjajah merasa rendah diri, dan hanya melalui revolusi
radikal—sering kali melalui kekerasan—subjektivitas itu bisa dipulihkan. Fanon
memberikan energi politik pada teori poskolonial dengan mengaitkan pengalaman
kolonial langsung dengan perjuangan dekolonisasi di Afrika.
Homi K. Bhabha menawarkan pendekatan
berbeda melalui konsep hibriditas. Dalam The Location of Culture (1994),
ia menolak pemisahan biner antara kolonial dan pribumi. Menurutnya, praktik
kolonial selalu menghasilkan ruang ketiga (third space) di mana identitas
dinegosiasikan, dicampur, dan ditransformasi. Kolonialisme, bagi Bhabha, justru
membuka kemungkinan lahirnya identitas baru yang tidak bisa direduksi hanya
pada dominasi dan subordinasi. Perspektif ini memperkaya studi poskolonial
dengan melihat interaksi yang lebih kompleks, meski tetap dalam kerangka
kolonial.
Gayatri Chakravorty Spivak, dengan
esainya yang terkenal “Can the Subaltern Speak?” (1988), mengingatkan bahwa
bahkan studi kritis pun sering gagal menghadirkan suara kelompok yang paling
terpinggirkan. Subaltern, bagi Spivak, adalah mereka yang posisinya begitu jauh
dari pusat kuasa sehingga hampir tidak mungkin berbicara dalam kerangka
epistemologis yang tersedia. Dengan demikian, tantangan utama studi poskolonial
bukan hanya mengkritik kolonialisme, tetapi juga menghindari reproduksi bentuk
keheningan baru dalam wacana akademik.
Keempat pemikir ini memberikan
kontribusi besar: mereka membuka ruang bagi suara non-Barat, menggeser fokus
ilmu sosial dan humaniora dari pusat ke pinggiran, serta membongkar bias
kolonial dalam produksi pengetahuan. Namun, studi poskolonial juga menghadapi
keterbatasan epistemologis yang serius. Pertama, kolonialisme tetap dijadikan
kategori hegemonik. Baik Said, Fanon, Bhabha, maupun Spivak, meskipun kritis,
tetap berangkat dari anggapan bahwa kolonialisme adalah kerangka penentu bagi
hampir semua fenomena sosial di masyarakat pascakolonial. Akibatnya,
kolonialisme berisiko menjadi wacana totalis yang menjelaskan segalanya,
menutupi keragaman faktor lain yang juga membentuk masyarakat.
Kedua, reduksi pengalaman lokal menjadi
sekadar “efek kolonialisme” sering kali tak terhindarkan. Praktik budaya,
konflik sosial, bahkan perubahan moralitas kerap dianggap hanya sebagai jejak
warisan kolonial, seakan-akan masyarakat tidak memiliki dinamika internal
sebelum dan sesudah kolonialisme. Padahal, sebagaimana ditunjukkan oleh
Clifford Geertz dalam kajian antropologisnya, budaya selalu lahir dari banyak
genealogi yang saling bertaut, bukan dari satu faktor tunggal.
Dengan kata lain, studi poskolonial
memiliki kekuatan besar dalam membuka kritik, tetapi juga berisiko membelenggu
pemahaman kita pada kategori yang justru ingin dibongkar. Kolonialisme menjadi
kata kunci hegemonik yang menjelaskan segalanya, padahal sejarah menunjukkan
bahwa ia tidak pernah hadir sebagai realitas tunggal.
Teori poskolonial memang berhasil
membuka mata akademik terhadap bagaimana pengetahuan, budaya, dan politik
dibentuk oleh kolonialisme. Namun, dari sudut pandang dekonstruktif, ada bahaya
laten yang mengintai: kolonialisme yang hendak dibongkar justru diulang dalam
bentuk wacana. Dengan menempatkan kolonialisme sebagai kategori utama dan
seolah-olah tak terhindarkan, teori poskolonial mereproduksi logika totalitas
yang sama dengan struktur kuasa yang dikritiknya. Kolonialisme, dalam narasi
ini, tak lagi sekadar objek kajian, melainkan horizon tunggal yang membatasi
cara kita memahami dunia. Dekonstruksi mengingatkan bahwa setiap teks—termasuk
teks poskolonial—selalu menyingkirkan kemungkinan lain, selalu menyisakan celah
yang bisa dipertanyakan.
Refleksi kritis ini penting karena ia
menggeser fokus dari “apa yang dikatakan” ke “apa yang disenyapkan.” Jika
pengalaman lokal, dinamika budaya, dan sejarah internal komunitas hanya dibaca
sebagai efek kolonialisme, maka suara masyarakat itu tetap tak terdengar, meski
dalam bingkai kritik. Di sinilah paradoks poskolonialisme: ia berbicara atas
nama yang terpinggirkan, tetapi sekaligus menyingkirkan keragaman artikulasi
yang tak sesuai dengan narasi kolonial. Dekonstruksi membuka peluang untuk
membaca jejak-jejak yang terhapus ini, menyingkap lapisan-lapisan makna yang
tidak bisa ditangkap oleh kategori kolonialisme semata.
Dengan demikian, jalan baru yang
ditawarkan adalah membaca poskolonialisme bukan sebagai kebenaran final,
melainkan sebagai teks yang juga harus dicurigai. Ia bisa menjadi pintu masuk
untuk membongkar dominasi pengetahuan, tetapi tidak boleh berhenti di sana.
Yang lebih mendesak adalah merawat pluralitas tafsir, mendengar suara yang tak
sesuai dengan skema kolonial maupun antikolonial, dan membiarkan sejarah
berbicara dalam kerumitannya sendiri. Hanya dengan begitu kita bisa benar-benar
melampaui bayang-bayang kolonialisme tanpa jatuh pada jebakan wacana totalitas
yang lain.
Dekolonisasi Metodologi—Janji dan
Problematikanya
Jika studi poskolonial berfokus pada
wacana dan representasi, maka dekolonisasi metodologi bergerak lebih jauh ke
bidang praksis penelitian. Linda Tuhiwai Smith, dalam Decolonizing
Methodologies: Research and Indigenous Peoples (1999; edisi revisi 2012), menegaskan
bahwa riset akademik modern sering menjadi perpanjangan tangan kolonialisme. Ia
mengobjektifikasi masyarakat pribumi, mengambil data dan pengetahuan lokal
tanpa izin atau timbal balik, serta mengabaikan cara pandang masyarakat yang
diteliti. Oleh karena itu, dekolonisasi metodologi menawarkan proyek
politik-epistemologis: membebaskan riset dari warisan kolonial dengan
menempatkan masyarakat lokal sebagai subjek, bukan objek penelitian.
Gerakan ini mendapat resonansi luas di
berbagai belahan dunia. Di Afrika, gagasan dekolonisasi ilmu pengetahuan
menguat sejak 1960-an, bersamaan dengan gelombang kemerdekaan politik. Para
intelektual seperti Ngũgĩ wa Thiong’o menyerukan “dekolonisasi pikiran” dengan
menolak bahasa kolonial sebagai medium dominan pengetahuan. Di Amerika Latin,
muncul teori decoloniality (Quijano, Mignolo) yang menekankan bahwa
kolonialisme tidak pernah benar-benar berakhir, melainkan terus hidup dalam
bentuk “kolonialitas pengetahuan” dan “kolonialitas kuasa.” Di Asia, gagasan
serupa tampak dalam upaya menghidupkan epistemologi lokal yang ditekan oleh
dominasi Barat.
Namun, gerakan dekolonisasi metodologi
juga menghadapi problem epistemologis yang tidak sederhana. Pertama, ia tetap
mendasarkan diri pada istilah “kolonialisme” sebagai fondasi kritik. Padahal,
seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, istilah ini sendiri sejak awal
ambigu, penuh kontradiksi, dan sering berfungsi lebih sebagai konstruksi wacana
ketimbang realitas tunggal. Dengan menjadikan kolonialisme sebagai titik berangkat,
dekolonisasi metodologi berisiko terjebak dalam logika yang sama: mengkritik
kolonialisme dengan memakai bahasa kolonial itu sendiri.
Kedua, dekolonisasi metodologi kerap
dihadapkan pada pertanyaan: apakah mungkin sungguh membebaskan penelitian dari
kerangka Barat, ataukah ia hanya menciptakan bentuk “kritik dari dalam” yang
masih menggunakan perangkat epistemologis kolonial? Misalnya, ketika penelitian
mengusung perspektif lokal, sering kali ia tetap ditulis dalam bahasa akademik
global, dipublikasikan dalam jurnal internasional, dan dievaluasi dengan
standar metodologi Barat.
Pertanyaan kritis pun muncul: apakah
dekolonisasi sungguh membebaskan, atau justru masih terjebak dalam bahasa
kolonial yang ingin ditolak? Jika jawabannya condong pada yang kedua, maka
dekolonisasi metodologi bukanlah jalan keluar final, melainkan babak baru dari
pergulatan epistemologis yang lebih panjang.
Dengan demikian, baik studi poskolonial
maupun dekolonisasi metodologi membawa janji besar, tetapi juga keterbatasan
mendasar. Keduanya membuka ruang kritik terhadap warisan kolonial, tetapi
sekaligus masih bergantung pada istilah “kolonialisme” yang problematis. Oleh
karena itu, dibutuhkan suatu upaya menggali kemungkinan perspektif
alternatif yang dapat melihat kolonialisme sebagai pengalaman majemuk, penuh
keragaman, dan tidak pernah tunggal.
Implikasi Epistemologis—Menuju
Kerangka Baru
Dari uraian sebelumnya tampak
jelas bahwa kolonialisme adalah istilah yang penuh dengan kerumitan. Ia lahir
dari akar etimologis yang semula netral—sekadar menunjuk pada pemukiman—namun
berkembang menjadi konsep ideologis yang menandai dominasi politik, ekonomi,
dan budaya. Dalam sejarah Indonesia, kolonialisme telah dijadikan mitos
nasional seperti klaim “350 tahun dijajah” yang berfungsi sebagai simbol
penderitaan sekaligus pemicu persatuan. Di sisi lain, kritik Resink dan studi
historiografi mutakhir memperlihatkan bahwa narasi tersebut lebih merupakan
konstruksi daripada fakta linear. Sementara itu, teori poskolonial dan
dekolonisasi metodologi menyoroti sisi wacana dan praktik ilmiah yang diwarisi
kolonialisme, meskipun tetap menghadapi problem mendasar karena menjadikan
kolonialisme sebagai kategori hegemonik yang sulit dilepaskan.
Implikasi epistemologis dari
pembacaan ini amat penting. Pertama, kita harus mengakui bahwa istilah
kolonialisme sendiri bukanlah penjelasan final, melainkan problem. Jika terus
diperlakukan sebagai kategori totalis, ia berisiko menutup keragaman pengalaman
lokal, negosiasi budaya, maupun dinamika internal masyarakat. Konsep ini
bekerja seperti payung besar yang menutupi detail-detail kecil, padahal justru
dalam detail itulah tersimpan pemahaman yang lebih utuh tentang sejarah.
Kedua, kita belajar bahwa
metodologi akademik tidak bisa hanya mengulang bahasa kritik poskolonial atau
dekolonial. Mengganti perspektif kolonial dengan perspektif anti-kolonial tanpa
mengubah kerangka epistemologis hanya akan melahirkan inversi, bukan
transformasi. Risiko yang muncul adalah jatuh pada “kolonialisme
terbalik”—yakni melihat seluruh pengalaman masyarakat non-Barat semata-mata
sebagai efek kolonialisme, tanpa ruang bagi agensi, kontinuitas tradisi, atau
kreativitas lokal yang tidak selalu berhubungan dengan kolonialisme.
Ketiga, alternatif yang
ditawarkan oleh Foucault, Giddens, Geertz, Polanyi, dan Wallerstein membuka
jalan untuk berpikir lebih berlapis. Kolonialisme bisa dipahami sebagai salah
satu konfigurasi kuasa di antara banyak wacana (Foucault), sebagai struktur
yang selalu berhadapan dengan agensi lokal (Giddens), sebagai pengalaman yang
ditafsirkan dalam konteks budaya partikular (Geertz), dan sebagai bagian dari
transformasi kapitalisme global (Polanyi dan Wallerstein). Perspektif ini
membantu kita menempatkan kolonialisme bukan sebagai penjelasan tunggal,
melainkan sebagai salah satu simpul dalam jaringan sejarah dunia.
Keempat, implikasi langsung bagi
ilmu sosial dan humaniora di Indonesia adalah kebutuhan untuk membangun
epistemologi yang lebih kontekstual. Studi tentang kolonialisme tidak cukup
hanya mengulang dikotomi penjajah–terjajah, melainkan harus menggali mosaik
pengalaman historis, ruang-ruang hibrid, dan transformasi lokal yang mungkin
tidak dapat dipahami jika hanya dilihat melalui lensa kolonialisme. Hal ini
juga berarti membuka dialog lintas disiplin—antara sejarah, antropologi,
sosiologi, filsafat, dan studi global—untuk merumuskan kerangka baru yang lebih
peka terhadap keragaman.
Dengan demikian, kerangka baru
yang dituju bukanlah “menghapus” istilah kolonialisme, melainkan mendekonstruksinya
sehingga ia tidak lagi bekerja sebagai kategori hegemonik. Kolonialisme harus
dibaca sebagai mosaik pengalaman: potongan-potongan sejarah yang mencakup
dominasi dan perlawanan, negosiasi dan kolaborasi, keterpaksaan dan
kreativitas. Dari situ, kita dapat membangun pemahaman yang lebih kaya, yang
tidak hanya melihat kolonialisme sebagai warisan, tetapi juga sebagai cermin
untuk menilai bagaimana pengetahuan kita sendiri terbentuk.
Kesimpulannya, studi
kolonialisme, poskolonialisme, dan dekolonisasi metodologi tidak boleh berhenti
pada kritik terhadap masa lalu. Yang lebih mendesak adalah bagaimana kritik itu
membuka jalan bagi epistemologi baru: cara memahami dunia yang tidak terjebak
pada narasi hegemonik, tetapi terbuka pada keragaman pengalaman manusia. Hanya
dengan demikian, pembahasan kolonialisme benar-benar bisa menjadi proyek
intelektual yang membebaskan, bukan sekadar perpanjangan dari bahasa kolonial
itu sendiri.
Jalan Baru bagi Studi Kebudayaan
Minahasa
Setelah
menelusuri kerumitan istilah kolonialisme, perdebatan seputar poskolonialisme,
hingga janji dan problematika dekolonisasi metodologi, kita tiba pada pertanyaan
mendasar: bagaimana arah refleksi ini bisa membuka jalan baru bagi studi
kebudayaan, khususnya di Minahasa? Pertanyaan ini penting karena Minahasa
sendiri memiliki posisi unik dalam sejarah kolonialisme di Indonesia—dianggap
sebagai salah satu daerah yang paling “setia” pada Belanda pada abad ke-19,
tetapi sekaligus menjadi ladang subur bagi nasionalisme, pendidikan modern, dan
kekristenan yang mengakar.
Dalam
historiografi kolonial, Minahasa sering diposisikan sebagai contoh sukses
politik etis dan integrasi ke dalam struktur kolonial. Pandangan semacam ini
menciptakan stereotip: bahwa masyarakat Minahasa lebih “Eropa” dibanding daerah
lain, lebih mudah dididik, dan lebih menerima dominasi. Namun, jika dibaca
ulang dengan kerangka kritis yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya,
stereotip itu perlu segera dibongkar. Minahasa bukanlah produk kolonialisme
semata; ia adalah hasil interaksi panjang antara struktur dominasi, agensi
lokal, tafsir budaya, dan jaringan global.
Jalan
baru bagi studi kebudayaan Minahasa harus dimulai dari kesadaran epistemologis
ini. Pertama, kolonialisme tidak boleh diperlakukan sebagai satu-satunya kunci
penjelas. Sejarah Minahasa jauh lebih kaya daripada sekadar kisah “kesetiaan
kepada Belanda” atau “produk pendidikan kolonial.” Kita perlu membaca agensi
lokal: bagaimana masyarakat Minahasa menafsirkan perjanjian politik,
menegosiasikan kewajiban kerja paksa, hingga membentuk identitas baru melalui
gereja dan organisasi modern.
Kedua,
pendekatan interpretatif perlu diperkuat. Clifford Geertz mengingatkan bahwa
budaya adalah sistem makna. Maka, studi Minahasa harus membaca ulang
praktik-praktik sosial seperti mapalus, ritual-ritual adat, atau tata relasi
keluarga bukan hanya sebagai “warisan kolonial” atau “tradisi pra-kolonial,”
tetapi sebagai tafsir dinamis yang terus berubah mengikuti situasi sejarah.
Dengan demikian, Minahasa dapat dipahami sebagai komunitas yang menulis ulang
dirinya sendiri di bawah tekanan kolonialisme dan globalisasi.
Ketiga,
studi kebudayaan Minahasa harus ditempatkan dalam horizon global. Wallerstein
dan Polanyi menunjukkan bahwa kolonialisme tak terlepas dari ekonomi dunia.
Posisi Minahasa sebagai penghasil kopi pada abad ke-19, misalnya, bukan sekadar
akibat politik kolonial, tetapi bagian dari sistem kapitalisme global yang
menjadikan kopi sebagai komoditas internasional. Dengan kerangka ini, Minahasa
bisa dilihat bukan sebagai periferi pasif, tetapi sebagai simpul penting dalam
jaringan dunia modern.
Keempat,
jalan baru ini menuntut keberanian epistemologis untuk melepaskan diri dari
bahasa kolonial yang hegemonik. Dekolonisasi metodologi menawarkan peluang,
tetapi juga jebakan: ia bisa jatuh pada reproduksi dikotomi lama (Barat vs
lokal). Studi kebudayaan Minahasa harus melampaui itu, dengan menempatkan
pengalaman lokal sebagai titik pijak utama, sekaligus membuka dialog kritis
dengan teori global. Artinya, pengetahuan lokal Minahasa tidak hanya berfungsi
sebagai “bahan baku” bagi teori Barat, melainkan sebagai sumber refleksi yang
bisa memperkaya teori itu sendiri.
Dengan
arah ini, studi kebudayaan Minahasa akan mampu membangun epistemologi
alternatif: ia tidak hanya membaca kolonialisme sebagai dominasi, tetapi juga
sebagai pengalaman majemuk; ia tidak hanya mengulang wacana poskolonial, tetapi
juga menegosiasikannya dengan konteks lokal; ia tidak hanya mengusung
dekolonisasi sebagai slogan, tetapi juga mengujinya dalam praksis penelitian
yang lebih etis dan partisipatif.
Pada
akhirnya, jalan baru bagi studi kebudayaan Minahasa adalah jalan yang mosaik jalan
yang mengakui kerumitan sejarah, merayakan agensi lokal, membuka diri pada
dialog global, sekaligus berani mengkritik bahasa kolonial yang membatasi.
Dengan jalan ini, Minahasa tidak lagi hanya diceritakan sebagai “daerah
kolonial” atau “produk Barat,” tetapi sebagai ruang pengetahuan yang memiliki
daya cipta dan kontribusi bagi perdebatan epistemologis dunia.
Kepustakaan
Bhabha,
H. K. (1994). The
location of culture. Routledge.
Bentham, J. (1791). The
Panopticon writings. (Letters XV–XVI).
Césaire, A. (2000). Discourse
on colonialism (J. Pinkham, Trans.). Monthly Review Press.
(Original work published 1950)
Fanon, F. (1961). The
wretched of the earth. Grove Press.
Geertz, C. (1973). The
interpretation of cultures. Basic Books.
Loomba, A. (1998). Colonialism/Postcolonialism.
Routledge.
Osterhammel, J. (1997). Colonialism:
A theoretical overview (S. L. Frisch, Trans.). Markus Wiener
Publishers.
Polanyi, K. (1944). The
great transformation: The political and economic origins of our time.
Beacon Press.
Republik Indonesia. (1998). Risalah
sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
Resink, G. J. (1968). History
between the myths: Essays in legal history and historical theory.
Van Hoeve.
Said, E. W. (1978). Orientalism.
Pantheon Books.
Smith, L. T. (2012). Decolonizing
methodologies: Research and indigenous peoples (2nd ed.). Zed
Books.
Soekarno. (1964). Di
bawah bendera revolusi (Vol. 1–2). Panitia Penerbit Di Bawah
Bendera Revolusi.
Spivak, G. C. (1988). Can the
subaltern speak? In C. Nelson & L. Grossberg (Eds.), Marxism and
the interpretation of culture (pp. 271–313). University of Illinois
Press.
Van Kol, H. (1903). Uit
onze koloniën: Vol. 1–2. Versluys.
Wallerstein, I. (1974). The
modern world-system I: Capitalist agriculture and the origins of the European
world-economy in the sixteenth century. Academic Press.
Yamin, M. (1951). Proklamasi
dan konstitusi Republik Indonesia. Jajasan Prapantja.
Comments
Post a Comment