Skip to main content

Mien Tampinongkol, Cerita yang Hidup di Ujung Zaman



TAHUN 1998, di Klaten, sebuah desa di Jawa Tengah, seorang ibu di jalan bertanya pada beberapa orang Belanda. 

“Apakah kalian orang Belanda? Saya tahu seseorang yang pasti ingin sekali berbicara dengan kalian. Seorang nenek tua, tinggal agak jauh di sana,” ujar si ibu.  

Salah seorang yang ditanya adalah Marius Bremmer, seorang jurnalis Belanda. Ia menulis laporan perjalanan dan kolom di banyak media Belanda. Ia dan beberapa temannya kebetulan sedang berada di Indonesia waktu itu.    

“Namanya tante Mien,” lanjut si ibu itu. “Mari, saya antar, kalau tidak kalian tidak akan menemukannya. Rumahnya ada di tengah kampung. Saya yakin dia akan sangat menghargai kunjungan orang Belanda.”

Bremmer menulis kisah perjumpaannya dengan tante Mien dengan judul “Hollands heimwee op Midden-Java: Tante Mien Tapi Nonkol: "Ik spreek nog heel goed Nederlands, hoor!" terbit di majalah Belanda Terdege edisi 13 Mei 1998.  

Bremmer dan rombongan kecil itu mengikuti si ibu berjalan melewati gang-gang kecil. Tante Mien ternyata tinggal di sebuah rumah besar di jalan yang dulu bernama Stationsstraat. Rumah itu memang sudah rapuh termakan zaman, tapi sisa kejayaannya masih tampak. Sebagian rumah dijadikan bengkel kerja. Pada papan nama besar di depan rumah terlihat campuran kata-kata Indonesia dan Belanda—ada juga tulisan “Bekleeding”—rupanya mereka membuat pelapis jok mobil! 

Ketika Bremmer dan teman-temannya sementara bercakap-cakap sambil melangkah masuk, tiba-tiba terdengar suara tua yang serak dari dalam rumah berkata-kata fasih dalam bahasa Belanda. “Hoor ik daar Nederlands praten? Komen jullie alsjeblieft verder (“Apakah aku mendengar bahasa Belanda di sana? Masuklah, tolong")

Perempuan itu adalah yang diceritakan oleh si ibu yang mengatar Bremmer dan teman-temannya. 

“Aku hampir buta, jadi tidak bisa melihat siapa kalian. Ya, ya, aku masih bisa berbahasa Belanda dengan sangat baik, tahu!”, katanya lagi dalam bahasa Belanda. 

Di atas sebuah dipan, duduklah seorang nenek kurus keriput. Ia mengenakan sarung batik, blus sederhana yang bukan kebaya tradisional, dan tidak memakai alas kaki. Setelah rombongan Bremmer memperkenalkan diri, perempuan tua itu mulai bercerita. 

“Namaku Anna Wilhelmina Tapinonkol, nama panggilan Mien. Semua orang memanggilku tante Mien,” katanya lagi-lagi dengan bahasa Belanda yang lancar. Bremmer mungkin hanya mengandalkan pendengarannya sehingga yang seharusnya “Tampinongkol” ditulisnya “Tapinongkol”. Sebuah marga atau fam dari Minahasa. 

Mien lahir pada 30 April 1909. Dia bangga ulang tahunnya sama dengan Ratu Juliana. Usianya pada waktu itu adalah 89 tahun.

Bremmer dan yang lain terdiam kagum mendengar seorang perempuan yang sudah uzur bercerita dengan penuh semangat.

Ia melanjutkan dengan nada lirih. Selama setahun terakhir dirinya hampir kehilangan penglihatan, dan akhir-akhir ini sering diliputi rasa takut tanpa mengetahui alasannya. Meski begitu, ia merasakan bahwa Tuhan selalu memberinya kekuatan untuk bertahan.

Foto: Marius Bremmer/Terdege
“Namun Tuhan selalu memberi kekuatan untuk menanggungnya,” ujar  Mien.

Interior rumah itu sarat dengan suasana kolonial-Belanda. Perabotan antik memenuhi ruang, dindingnya penuh bingkai foto keluarga dan pemandangan Jawa. Waktu seolah berhenti di sana.

Tante Mien bercerita kilas balik kehidupannya. Bremmer dan rekan-rekannya menyimak dengan seksama. Ia menceritakan bahwa di Europeesche School di Djokjakarta dirinya dikenal sebagai murid yang paling nakal. Sekolah itu merupakan sekolah campuran pertama, tempat murid Belanda dan juga bumiputra belajar bersama. Kepada ayahnya ia sering menegaskan bahwa ia tidak ingin bersekolah di Sekolah Putri karena lebih menyukai berkelahi dan tidak senang dengan hal-hal yang dianggap khas perempuan di kelas. Ia juga mengatakan bahwa dirinya sangat menyukai menari, terutama bila dipimpin dengan baik oleh seorang laki-laki, sebab pada saat itu pikirannya dapat melayang jauh.

Tiba-tiba perempuan yang disapa Bremmer sebagai Tante Mien itu menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Belanda.  “Dat trouwen, dat trouwen, dat is zo’n rare zaak. De één doet het uit liefde, de ander uit vermaak.” (“Menikah, menikah, itu hal yang aneh. Yang satu menikah karena cinta, yang lain hanya untuk bersenang-senang.”)

Mien bertutur lagi. Ia menceritakan bahwa di sekolah ia sering mengalami sakit kepala parah, kadang berlangsung lama. Karena itu ayahnya memutuskan untuk mengeluarkannya dari sekolah. Setelah berada di rumah, ia diberi tugas untuk membayar gaji para pekerja, suatu pekerjaan yang menuntut ketelitian tinggi.

Ayahnya bernama Willem Pieter Tampinongkol, seorang juru buku di pabrik gula. Pimpinan pabrik itu, katanya, adalah seorang Belanda bernama Frans Welters. Menurutnya, pabrik tersebut selalu terjaga kerapihannya dan kerap menarik banyak pengunjung. Selain itu, terdapat pula sebuah stasiun percobaan gula yang dipimpin oleh Ridder van Rappard sebagai direktur.

Tentang kehidupan di pabrik, ia bercerita bahwa para pekerja hanya dapat menerima upah bila slip gaji mereka telah ditandatangani oleh Frans Welters. Ia sendiri yang bertugas membayar upah itu, dalam bentuk rijksdaalder, gulden penuh, atau setengah gulden. Tanpa tanda tangan sang kepala, uang tidak akan diberikan. Para pekerja kadang mengeluh bahwa dirinya terkesan terlalu galak, namun dengan nada sengaja ditegaskan ia selalu menjawab bahwa sikap itu wajar, sebab ia adalah anak seorang bendahara.

“Mereka kadang berkata padaku: ‘Anda kok galak sekali!’ Maka aku menjawab segalak mungkin: ‘Aku ini bukan tanpa alasan anak bendahara!’”, kenang Mien.

Tante Mien, kata Bremmer dalam tulisannya,  juga mengenal lagu-lagu klasik Belanda, seperti “Het karretje op de zandweg” dan “In ’t groene dal, in ’t stille dal, waar kleine bloempjes bloeien.


Bremmer dan teman-temannya jadi ikut bernyanyi. Ketika mereka bertanya apakah ia masih ingat mazmur dan nyanyian rohani, ia mengaku sudah lupa. Namun ketika mereka memulai “De Heer is mijn Herder” (“Tuhan adalah Gembalaku”), Mien ikut bernyanyi.

Mien lalu melanujutkan kisahnya. Kali ini masa Jepang. Pada masa perang, kenangnya, tentara Jepang ingin mengambil alih rumah keluarga mereka karena ukurannya yang besar. Ia berdiri di ambang pintu dan menegaskan bahwa rumah itu hanyalah tempat tinggal bagi perempuan tua. Masa pendudukan Jepang terasa begitu berat, katanya, dan karena itu mereka merasa lega ketika Belanda kembali. Sambil mengangkat jari ke arah langit, ia menambahkan bahwa manusia harus diam menanti Tuhan, sebab Ia selalu menyertai dalam pergumulan. Namun, seketika nada serius itu mencair; dengan riang ia kembali bernyanyi, meski syairnya getir. 

“Als je pas getrouwd bent krijg je manlief op je schoot, en suiker op je brood. Kinderen op je schoot. Als je lang getrouwd bent, krijg je klappen op je wang.” (“Ketika baru menikah, suamimu duduk di pangkuanmu, gula ada di rotimu, anak-anak di pangkuanmu. Tapi kalau sudah lama menikah, yang kau dapat hanya tamparan di pipimu.”)

Bremmer merasakan sesuatu dengan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Mien yang kebanyakan berkaitan dengan cinta dan pernikahan.

“Apakah tante Mien pernah menikah?” Tanyanya.


“Menikah, oh tidak! Di awal laki-laki jatuh cinta dan berkata manis. Tapi kemudian rasa itu hilang. Aku tidak mau setengah-setengah. Bagiku harus sepenuhnya baik. Tidak, tidak. Kadang malah laki-laki jatuh cinta pada perempuan lain!” jawab Mien.

Dalam lintasan sejarah yang panjang, keluarga Tampinongkol di Klaten muncul sebagai representasi perjumpaan budaya Minahasa dan Jawa dalam bingkai kolonial Hindia Belanda. Nama-nama seperti Ph.L.T. Tampinongkol, yang tercatat sebagai pejabat perkebunan di Wedi-Birit, atau B. Tampinongkol yang menikah dengan M.A. Klumperbeek, menunjukkan jejaring sosial dan ekonomi keluarga ini yang kuat pada dekade 1930–1940. Mereka tidak hanya hadir dalam iklan, pengumuman keluarga, dan mutasi jabatan di surat kabar kolonial, tetapi juga dalam dunia pendidikan dan kesehatan, seperti E.A. Tampinongkol yang bekerja sebagai asisten apoteker. Semua ini menandai posisi keluarga Tampinongkol sebagai bagian dari kelompok Indo-Eropa atau pribumi berpendidikan yang memperoleh status sosial cukup tinggi dalam masyarakat kolonial.

Ayah Mien, Willem Pieter Tampinongkol, di dokumen Belanda dicatat sebagai salah satu warga pribumi yang pada tahun 1889 memperoleh berstatus setara dengan orang Eropa dalam hukum kolonial Hindia Belanda. Sangat mungkin ayah adalah bagian dari keluarga terpandang di Klaten dalam sistem ekonomi di masa itu. 

Di tengah narasi itu, sosok Anna Wilhelmina Tampinongkol — lahir tahun 1909 dan masih hidup hingga 1998 di Klaten, seperti dicatat oleh Marius Bremmer — menjadi simpul yang menghubungkan masa kolonial dengan pascakolonial. Kehadirannya memberi wajah manusia pada kisah panjang diaspora keluarga Minahasa yang menanam akar di tanah Jawa. Hidupnya yang melintasi hampir seluruh abad ke-20 memungkinkan ia menyaksikan perubahan besar: dari zaman Hindia Belanda, pendudukan Jepang, revolusi, hingga Indonesia merdeka dan Orde Baru. Dengan demikian, Anna bukan hanya seorang perempuan dalam garis keluarga Tampinongkol, melainkan juga saksi hidup yang menjembatani ingatan kolektif keluarga dengan sejarah bangsa. Sosoknya memperlihatkan bagaimana identitas Minahasa-Jawa terus terjalin, diwariskan, dan dikenang dalam ruang sosial Klaten.

Bremmer dalam tulisannya menyebutkan, bahwa kehidupan Mien di masa tua sungguh memperihatinkan. Dari ibu yang mempertemukan dia dengan Mien, mereka mendengar cerita sedih. Ada pasangan suami-istri tetangga yang mengurus tante Mien. Tetapi si suami tidak bisa dipercaya—uang yang dikirim keponakan tante Mien hampir semuanya masuk ke sakunya sendiri. Sang istri sebenarnya sangat perhatian, berusaha dengan sisa uang yang ada agar hidup tante Mien tetap layak.

Bremmer dan rombongan kecilnya mengakhiri perjumpaan itu dengan rasa yang pedih. 

“Berat rasanya meninggalkan tante Mien. Ia hampir tak kuasa menahan air mata. Katanya, ia sangat menikmati kesempatan berbicara lagi dalam bahasa Belanda. Awalnya ia enggan difoto, tapi akhirnya setuju juga. Namun ia meminta sisir dulu, meluruskan lipatan pakaiannya,” tulis Bremmer. 

Saat Bremmer dan teman-temannya hendak pergi, Mien menyanyikan lagu terakhir:

“Elk uur, elk ogenblik steun ik op U. Uw Woord alleen, o Heer vertroost mij nu. Mijn ziel heeft U van node, elk ogenblik. O zegen mij, mijn Heiland, tot U kom ik.”
(“Setiap jam, setiap saat aku bersandar pada-Mu. Hanya firman-Mu, ya Tuhan, yang menghiburku kini. Jiwaku membutuhkan-Mu setiap saat. O berkati aku, Juruselamatku, aku datang kepada-Mu.”)

Dua hari kemudian, kata Bremmer, mereka mendengar kabar bahwa tante Mien telah meninggal dunia.(***)


Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...