Skip to main content

Minahasa Awal ke-20, Ibarat Pertemuan Dua Sungai


Pada awal abad ke-20, Minahasa berdiri di persimpangan adat leluhur dan tatanan kolonial Belanda, ketika struktur kepemimpinan dari Resident hingga Hoekoem Toea menata kehidupan rakyat. Di balik kerja rodi, pajak hasil, dan pengaruh gereja, terbentuklah sebuah simbiosis unik antara tradisi lokal dan kekuasaan asing yang membentuk wajah Minahasa modern. 


Bayang-Bayang Kolonial  

Awal abad ke-20, Minahasa adalah sebuah tanah yang hidup dalam pertemuan dua dunia: dunia adat yang telah lama berurat-akar, dan dunia kolonial yang hadir dengan aturan dan struktur yang tegas. Negeri pegunungan dengan Danau Tondano di pusatnya ini tidak sekadar menjadi tanah jajahan, melainkan sebuah ruang di mana Belanda menanamkan tatanan politik, sosial, dan ekonomi yang rapi, sambil tetap bernegosiasi dengan warisan leluhur.


Belanda menyadari sejak awal bahwa Minahasa tidak bisa ditundukkan hanya dengan bedil dan barisan serdadu. Kekuatan masyarakatnya terletak pada struktur sosial yang solid, musyawarah kampung, dan kepemimpinan adat yang masih kuat. Maka, yang dilakukan adalah penataan: menyusun sebuah sistem pemerintahan yang menggabungkan kehadiran kolonial dengan kepemimpinan lokal.


T. F. Viersen, seorang kepala sekolah di Menado yang menulis buku Aardrijkskundig Schoolboekje van de Minahassa pada tahun 1903, menggambarkan dengan jelas struktur ini. Ia mencatat, “Voor ’t jaar 1857, was de Minahassa in drie Afdeelingen verdeeld; van 1857–1899 in vijf, en sedert 1899 weer in drie afdeelingen. Elke afdeeling is verdeeld in eenige districten.” (Terjemahan: “Sebelum tahun 1857, Minahasa terbagi dalam tiga afdeeling; dari tahun 1857 hingga 1899 menjadi lima, dan sejak 1899 kembali lagi menjadi tiga afdeeling. Setiap afdeeling terbagi atas beberapa distrik.”)

Struktur pemerintahan di Minahasa bukanlah sesuatu yang statis. Ia berkembang, berubah, dan menyesuaikan dengan kebutuhan pemerintah Hindia Belanda. Di tengah dominasi kekuasaan kolonial, masih tersedia ruang negosiasi oleh para pemimpin adat.
Di puncak pemerintahan kolonial berdiri Resident, berkedudukan di Manado. Ia adalah penghubung resmi antara Minahasa dan Batavia, mewakili seluruh kuasa pemerintah Belanda di tanah ini. Resident mengatur segala hal: dari administrasi sipil, pengadilan, pungutan pajak, hingga urusan keamanan.
Membantu Resident adalah seorang Sekretaris, pejabat yang mengelola catatan dan keuangan. Ia juga bertindak sebagai Algemeen Ontvanger, pemungut pajak resmi, serta memegang fungsi sebagai ambtenaar van den burgerlijken stand—pejabat catatan sipil. Dengan demikian, seluruh peristiwa hidup rakyat Minahasa, dari lahir hingga mati, tercatat di bawah pengawasan kolonial.
Di bawah Resident, Minahasa dibagi ke dalam tiga afdeeling, masing-masing dipimpin seorang Controleur. Tugas mereka berlapis: mengawasi sekolah, memeriksa jalan dan jembatan, memastikan kerja rodi berjalan, serta menjadi mata dan telinga pemerintah kolonial di daerah. Controleur adalah figur yang menegaskan bahwa kehadiran Belanda tidak berhenti di Menado saja, melainkan menjangkau ke kampung-kampung di pegunungan.

Pada awal abad ke-20, Minahasa dibagi menjadi tiga afdeeling dengan total delapan belas distrik:

  1. Afdeeling Menado (Hoofdplaats: Menado)

    • Distrik Menado 

    • Distrik Maoembi 

    • Distrik Bantik

    • Distrik Tonsea

  2. Afdeeling Tondano (Hoofdplaats: Tondano)

    • Distrik Tondano-Toelian

    • Distrik Tondano-Tolimambot

    • Distrik Kakas-Rembokken

    • Distrik Tomohon-Sarongsong

    • Distrik Langowan

    • Distrik Pasan-Ratahan-Ponosakan

    • Distrik Kakaskasen

  3. Afdeeling Amoerang (Hoofdplaats: Amoerang)

    • Distrik Sonder

    • Distrik Kawangkoan

    • Distrik Tombasian

    • Distrik Roemong

    • Distrik Tompasso

    • Distrik Tombariri

    • Distrik Tonsawang

Pembagian ini tidak hanya berfungsi administratif. Ia menciptakan “ruang-ruang kuasa” di mana setiap afdeeling dan distrik menjadi lingkaran kendali kolonial sekaligus arena hidup masyarakat lokal.

Distrik Manado, dengan benteng Nieuw Amsterdam yang telah lama berdiri, menjadi pusat utama pemerintahan. Kota pelabuhan ini adalah pintu keluar masuk barang, kopi dan kopra, serta tenaga manusia. Menado menjadi wajah Eropa di Minahasa, dengan rumah-rumah panggung bercorak Belanda, sekolah, kantor-kantor kolonial, dan pelabuhan yang ramai.

Distrik Maoembi dan Bantik mengitari Manado, menampung masyarakat pesisir yang hidup dari laut, kebun kelapa, dan perdagangan kecil. Sementara Distrik Tonsea, yang membentang ke arah utara, dikenal dengan tanah subur dan kampung-kampung yang rapi. Di wilayah ini, pengaruh zending sangat kuat, sehingga sekolah dan gereja tumbuh berdampingan dengan ladang-ladang kelapa.

Afdeeling Tondano adalah jantung Minahasa. Kota Tondano sendiri berdiri di tepian danau yang luas, dikelilingi gunung. Dari danau inilah irigasi menghidupi sawah-sawah, menjadikan Tondano sebagai pusat pangan. Distrik Tondano-Toelian dan Tondano-Tolimambot menampung desa-desa yang hidup dari pertanian padi, sekaligus menjadi pusat musyawarah rakyat.

Distrik Kakas-Rembokken berada di timur danau, terkenal dengan pantai dan perahu-perahu rakyat. Tomohon-Sarongsong, di dataran tinggi yang dingin, berkembang menjadi pusat hortikultura. Langowan, dengan masyarakatnya yang berani, sejak lama dikenal sebagai tanah pejuang dan pemilik tradisi adat yang kuat.

Distrik Pasan-Ratahan-Ponosakan, yang lebih jauh ke arah tenggara, berbatasan dengan wilayah Bolaang Mongondow. Wilayah ini menjadi batas pengaruh Minahasa, tempat perdagangan dengan orang Mongondow dan Gorontalo berlangsung. Sementara Distrik Kakaskasen, yang dekat dengan gunung-gunung, memiliki hawa dingin dan tanah subur, cocok untuk tanaman keras.
Afdeeling Amoerang, dengan ibu kota di Amoerang, mengawasi distrik-distrik selatan. Sonder terkenal sebagai tanah pemimpin lokal. Di sini berdiri rumah-rumah besar para Hoekoem dan Majoor, dihiasi tongkat emas dan perak sebagai tanda kehormatan. Kawangkoan dan Tombasian adalah daerah pertanian subur, dengan kopi sebagai hasil utama.
Distrik Roemong dan Tompasso menyimpan masyarakat yang gigih bekerja, menjaga tradisi sekaligus terbuka terhadap pendidikan. Tombariri, yang menghadap laut, adalah kampung nelayan yang juga menjadi jalur perdagangan kecil. Tonsawang, di ujung selatan, memelihara bahasa dan tradisi yang berbeda, membuatnya kerap dianggap “eksotik” oleh orang Eropa.
Hoekoem dan Kepala-Kepala Lokal
Di bawah Controleur, pemerintahan pribumi dijalankan oleh para Hoekoem. Viersen mencatat, “Voor het Inl. Bestuur staat aan het hoofd van elk district een le Districtshoofd met den titel van Hoekoem-Besar (bet: groot rechter)… Aan ’t hoofd van een onderdistrict staat een 2e Districtshoofd met den titel van Hoekoem Kadua.” (Terjemahan: “Untuk pemerintahan pribumi, di tiap distrik berdiri seorang Kepala Distrik dengan gelar Hoekoem Besar (artinya hakim besar)… Sedangkan di tingkat onderdistrik berdiri seorang Kepala Kedua dengan gelar Hoekoem Kadua.”)
Hoekoem Besar menerima gaji tetap dan kehormatan berupa pakaian resmi serta tongkat berkepala perak. Beberapa diangkat menjadi Majoor, dengan hak tongkat emas. Hoekoem Kadua mengurus onderdistrik, dan Hoekoem Toea memimpin kampung atau negorij.
Hoekoem Toea dipilih oleh rakyat, tetapi pengangkatannya harus disahkan oleh Resident. Ia tidak digaji tetap, melainkan menerima bagian enam persen dari pajak yang dikumpulkan. Di bawahnya ada Kapala Djaga, yang membawahi 20–25 keluarga, serta Meweteng, pengatur pajak dan kerja rodi.
Kehidupan rakyat Minahasa tidak lepas dari beban heerendienst. Setiap laki-laki berusia 20–50 tahun wajib bekerja untuk pemerintah selama 32 hari dalam setahun. Mereka membangun jalan, memperbaiki jembatan, atau menjaga keamanan. Sebagian bisa menebus kewajiban ini dengan uang, tetapi kebanyakan rakyat melaksanakannya sendiri.
Selain itu, sejak 1897 berlaku pajak hasil sebesar 2,5% dari pendapatan tahunan. Pajak ini memperkenalkan sistem pungutan teratur, meski kerap memberatkan. Beberapa kalangan tertentu, termasuk pejabat lokal, dibebaskan dari pajak sebagai imbalan atas pengabdian mereka.
Meski struktur kolonial kuat, adat tetap hidup. Walian, pemimpin ritual dan spiritual, masih dihormati. Mereka memimpin upacara panen, mengobati sakit, dan menjadi penjaga keseimbangan sosial.
Dalam urusan hukum, kasus kecil diselesaikan di tingkat kampung melalui musyawarah yang dipimpin Hoekoem Toea. Perkara lebih besar naik ke Districtsgerecht, lalu Afdeelingsgerecht, hingga ke Landraad di Menado, Tondano, atau Sonder. Hukum adat dan hukum kolonial berjalan berdampingan, kadang saling melengkapi, kadang bertabrakan.
Di atas semua itu, ada pengaruh gereja. Pada awal abad ke-20, hampir seluruh Minahasa telah menjadi Kristen. Gereja bukan hanya pusat ibadah, tetapi juga sekolah dan moralitas. Melalui zending, Belanda menanamkan pendidikan modern, melahirkan guru, pendeta, dan pegawai yang kemudian masuk dalam struktur birokrasi. Gereja dan pemerintah berjalan seiring: pemerintah memanfaatkan wibawa pendeta, sementara gereja mendapat perlindungan dan dukungan.
Ibarat Pertemuan Dua Sungai
Struktur kepemimpinan Minahasa di awal abad ke-20 memang ibarat pertemuan dua sungai. Dari hulu yang satu mengalir arus kekuasaan kolonial—Resident, Secretaris, hingga Controleur—dengan segala aturan, pajak, dan kerja rodi. Dari hulu yang lain, mengalir kuasa lokal yang berakar pada adat—Hoekoem Besar, Hoekoem Kadua, Hoekoem Toea, Kapala Djaga, bahkan walian yang masih memimpin upacara dan memberi petuah. Kedua arus itu tidak saling meniadakan, melainkan bertemu, menyatu, dan membentuk aliran baru yang khas Minahasa.

Bagi rakyat biasa, kehidupan dijalani di atas dua lapisan. Di kampung, mereka masih berkumpul dalam musyawarah, bergotong-royong di ladang, atau mengikuti ritus adat. Tapi di sisi lain, ada pula Controleur yang datang memeriksa, ada pajak yang harus dibayar, ada giliran kerja rodi yang tak bisa ditolak. Kehidupan sosial pun jadi semacam tarian keseimbangan: mengikuti adat untuk menjaga harmoni, tetapi juga tunduk pada pemerintah karena itulah kenyataan zaman.

Di tengah-tengah itu, gereja dan sekolah hadir membawa warna baru. Gereja tak hanya mengajarkan doa, tapi juga kedisiplinan dan moral yang sejalan dengan tata tertib kolonial. Sekolah zending melahirkan generasi baru Minahasa: bisa membaca, menulis, bahkan menguasai bahasa Belanda. Mereka adalah anak-anak kampung yang pelan-pelan menjelma menjadi guru, pendeta, atau pegawai. Di sinilah lahir identitas Kristen-Minahasa yang merasa modern, berbeda dari masa lalu, tapi tetap berakar pada tradisi kebersamaan.

Kalau kita menengok lebih dalam, terlihat jelas bahwa Minahasa awal abad ke-20 bukan sekadar tanah jajahan. Ia adalah ruang perjumpaan. Belanda mungkin berkuasa, tapi kekuasaan itu tidak bisa berjalan tanpa kanal-kanal lokal—Hoekoem, Kapala Djaga, dan musyawarah kampung. Adat tetap dihormati, meski kini mulai bercampur dengan nilai Kristen dan tata hukum kolonial. Dari percampuran inilah tumbuh masyarakat yang unik: modern tapi tetap setia pada akar, Kristen tapi tetap mengingat walian, taat aturan tapi juga punya ruang sendiri untuk menjaga kebebasan.

Dari tanah seperti inilah, kelak lahir banyak guru, tentara, pendeta, dan tokoh nasional. Minahasa sudah ditempa sejak awal abad ke-20 untuk menghadapi dunia yang lebih besar. Ia adalah laboratorium kecil di timur Nusantara, tempat adat, kolonialisme, dan agama bergulat lalu melahirkan sebuah identitas yang tidak gampang goyah.(***)


Foto: Para pejabat Belanda dan Minahasa serta beberapa perempuan berpose di depan kantor Residen Manado di acara Hari Ratu pada tahun 1920-an. Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl.


Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...