Skip to main content

“Sinkretisme” yang Disalahpahami


ISTILAH 
“sinkretisme” sering kali menjadi momok dalam diskursus keagamaan, terutama di kalangan Kristen konservatif. Bagi sebagian besar dari kelompok ini, sinkretisme dianggap sebagai bahaya rohani yang mengancam kemurnian iman. Ia dijadikan istilah untuk menandai dan mengkritik integrasi budaya lokal ke dalam praktik iman Kristen, yang dipandang sebagai pencemaran doktrin, penyesatan Injil, atau bahkan penyembahan berhala terselubung. Maka tak heran, banyak ekspresi iman Kristen yang berakar pada budaya lokal – seperti tarian pujian, penggunaan simbol-simbol adat, atau praktik sosial keagamaan yang berciri lokal – cepat dilabeli “sinkretis” dengan nada sinis.

Namun demikian, cara pandang ini ternyata menyederhanakan dan bahkan menyalahpahami sejarah dan makna sejati dari istilah “sinkretisme” itu sendiri. Sejarah etimologis dan perkembangan wacana tentang sinkretisme menunjukkan bahwa istilah ini tidak selalu bermakna negatif, dan bahkan pada awalnya sama sekali bukan istilah teologis.

Secara historis, istilah “synkretismos” (συγκρητισμός) pertama kali digunakan oleh filsuf Yunani abad pertama, “Plutarkhos”, dalam karyanya “Moralia”, khususnya bagian “De Fraterno Amore” (Tentang Kasih Persaudaraan). Dalam bagian itu, Plutarkhos menggambarkan bagaimana berbagai kelompok di Pulau Kreta yang biasanya saling berseteru, bisa saling melupakan konflik dan bersatu ketika menghadapi musuh eksternal. Ia menyebut tindakan solidaritas strategis ini sebagai “synkretismos”, yaitu "persatuan ala Kreta". Dalam konteks ini, sinkretisme bukanlah pencampuran doktrin, tetapi koalisi politik pragmatis demi kelangsungan hidup bersama. Bahkan, makna dasarnya adalah strategi kasih persaudaraan untuk mempertahankan komunitas dari kehancuran internal.

Namun, sejak era Renaisans, istilah ini mulai mengalami perluasan makna. Tokoh humanis seperti  Erasmus dari Rotterdam mengambil inspirasi dari makna “synkretismos” versi Plutarkhos sebagai dasar moral untuk mendorong rekonsiliasi di antara berbagai mazhab Kristen yang saling berseteru. Dalam konteks itu, sinkretisme bukanlah penyesatan, tetapi usaha damai dan penyatuan yang bersifat konstruktif. Erasmus tidak memaksudkan sinkretisme sebagai campur aduk doktrin tanpa batas, melainkan sebagai upaya untuk membangun kembali semangat kesatuan Gereja yang telah lama terpecah.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya – khususnya pada era pasca-Reformasi – istilah ini mulai dipakai dalam nuansa pejoratif. Tokoh seperti Georg Calixtus, seorang teolog Lutheran yang mencoba mempertemukan pandangan-pandangan Katolik dan Protestan, dituduh melakukan “synkretisme” karena dianggap terlalu kompromistis terhadap ajaran. Di sinilah istilah “sinkretisme” mulai dipolitisasi secara teologis, bukan untuk memahami tetapi untuk menuduh dan menolak percampuran ide dan praktik keagamaan.

Di abad ke-19 dan ke-20, makna sinkretisme terus berkembang. Dalam antropologi dan studi agama, sinkretisme tidak lagi dimaknai semata-mata sebagai penyimpangan, melainkan sebagai proses wajar dari interaksi budaya dan agama. Antropolog modern memandang sinkretisme sebagai bentuk adaptasi, kreativitas, dan negosiasi budaya, di mana agama-agama tidak hidup dalam ruang hampa, melainkan selalu bersinggungan dengan tradisi, simbol, dan struktur sosial lokal. Dalam konteks ini, sinkretisme bukanlah bentuk penyimpangan, melainkan ekspresi kehidupan iman yang menjelma dalam konteks manusia nyata. 

Maka, pertanyaan kritis perlu diajukan: apakah ada agama yang tidak beradaptasi dengan kebudayaan? Jawabannya adalah tidak ada. Setiap agama, termasuk Kristen, selalu hadir dalam wujud kebudayaan tertentu. Kekristenan perdana mengambil bentuk kebudayaan Yahudi-Helenistik; kemudian dalam sejarahnya ia menyerap simbol, istilah, dan struktur berpikir Romawi, Latin, Jermanik, dan seterusnya. Bahkan Alkitab sendiri hadir dalam bahasa dan idiom manusia – Ibrani, Aram, Yunani – yang semuanya merupakan ekspresi budaya. 

Bila agama menolak sepenuhnya bentuk-bentuk kebudayaan, ia akan kehilangan daya hidupnya, menjadi steril, dan pada akhirnya mati!

Karena itu, pemahaman terhadap sinkretisme perlu diluruskan. Tidak semua bentuk perjumpaan antara iman dan budaya harus dipandang sebagai bahaya. Justru di sanalah teologi kontekstual bekerja: mencari cara agar Injil dapat dipahami, dihayati, dan dijalankan dalam konteks lokal tanpa kehilangan inti pesannya. Tugas umat Kristen bukanlah memurnikan budaya hingga steril, melainkan menyatakan Injil dalam bahasa dan bentuk yang hidup di tengah manusia. 

Akhirnya, yang dibutuhkan bukanlah kecurigaan membabi buta terhadap sinkretisme, melainkan kebijaksanaan untuk membedakan antara pencemaran iman dan inkarnasi iman ke dalam budaya. Menyalahgunakan istilah “sinkretisme” sebagai senjata doktrinal hanya akan menutup pintu-pintu misi yang kreatif, kontekstual, dan membumi. Padahal, justru melalui penghayatan iman dalam budaya lokal, Injil bisa hadir bukan sebagai suara asing, melainkan sebagai kabar baik yang benar-benar menjadi milik umat di segala tempat dan zaman.(***)

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...