Skip to main content

ST20, Angkot Legendaris yang Pernah Lalu-lalang di Jalanan Manado


Orang Manado di tahun 1980-an sampai tahun 1990-an pasti akrab dengan angkot yang satu ini: Suzuki Carry ST20. Akrab orang-orang menyebut dengan “ST20” saja. Angkot populer mengantar warga ke pasar, bendar, kantor, atau ke sekolah. Kini, hampir tidak lagi terlihat di jalanan Manado yang semakin sesak.

ST20 punya suara khas. Brum-brum serak, seperti batuk kecil. Anak-anak menyebutnya truntung, meniru bunyi mesin dua-taknya. Julukan itu melekat. Sampai sekarang orang masih bisa tersenyum kalau mendengar kata “truntung”.

Di Manado, ST20 hadir di banyak trayek. Dari Karombasan ke Pasar 45. Dari Malalayang ke pusat kota. Dari Paal Dua ke Bahu. Mobil kecil, tapi gesit. Mampu menyusup di jalan sempit dan menanjak bukit. Sopir dan penumpang sama-sama percaya diri naik ST20.

Awalnya, ST20 lahir di Jepang. Pertengahan 1970-an, Suzuki merilisnya sebagai kendaraan niaga kecil. Bermesin 2-tak, tiga silinder, kapasitas sekitar 550 cc. Tenaganya tidak besar, tapi cukup. Badannya mungil, ringkas, dan murah dirawat. Itulah yang membuatnya cepat diterima di banyak negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, ST20 mulai masuk akhir 1970-an. Banyak dipakai pedagang kecil, petani, dan kemudian pemerintah daerah. Di Manado, ia jadi tulang punggung angkutan kota. Satu unit ST20 bisa diubah dari bak terbuka menjadi angkot. Dipasang kursi panjang kiri kanan. Dicat warna-warni. Dihiasi tulisan nama trayek dan stiker lucu. Jadilah ia angkot Manado yang legendaris.

Tahun 1980-an, suasana kota Manado masih lengang. Angkot ST20 melintas di jalan dengan santai. Sopir biasanya memanggil penumpang di pinggir jalan. “Karombasan, Karombasan!” atau “Pasar 45, pasar 45!”. Suara knalpotnya terdengar jauh sebelum mobilnya kelihatan. Penumpang berdesakan, tapi tetap naik. Karena tidak ada pilihan lain.

Mesin dua-tak punya keunikan. Suaranya keras, asapnya pekat. Knalpot ST20 sering menyemburkan asap biru. Anak-anak sekolah kadang menutup hidung sambil bercanda. Tapi bagi sopir, mesin ini tangguh. Suku cadang mudah dicari. Perbaikan bisa dilakukan di bengkel kecil di kampung. Itulah alasan ST20 bertahan lama di jalan.

Selain angkot, ST20 juga dipakai untuk usaha. Ada yang jadi mobil bak angkut kelapa, ikan, atau sayur. Ada pula yang jadi mobil toko keliling. ST20 bisa masuk lorong kecil. Bisa diparkir di halaman rumah sempit. Benar-benar kendaraan serba guna.

Namun, waktu terus berjalan. Masuk tahun 1990-an, mulai ada perubahan. Regulasi emisi dan kenyamanan membuat mesin dua-tak ditinggalkan. Suzuki menghadirkan generasi baru, bermesin empat-tak, lebih halus, lebih irit, dan ramah lingkungan. ST20 perlahan hilang dari pabrik.

Di Manado, hilangnya ST20 juga dipercepat oleh modernisasi kota. Jalan makin ramai. Penumpang menuntut kenyamanan lebih. Pemerintah mendorong angkot baru, lebih besar, seperti Kijang atau Carry generasi berikutnya. ST20 semakin jarang terlihat.

Tapi kenangan tentang ST20 tidak hilang. Bagi banyak orang Manado, ST20 adalah bagian masa kecil. Di Manado, naik angkot  ST20, penumpang duduk menghadap ke depan, untuk turun harus membungkuk. Untuk membayar ongkos, harus ke depan, tempat duduk sopir. Semua jadi cerita.

Beberapa komunitas pecinta mobil tua kini mencoba merawat ST20. Ada yang memulihkan unit lama, mengecat ulang, menjaga suara mesin dua-tak tetap hidup. Mereka paham, ST20 bukan sekadar mobil. Ia bagian sejarah transportasi kota. Bagian dari kehidupan sehari-hari generasi 1980-an dan 1990-an.

Sejarah ST20 di Manado adalah sejarah kota yang sedang tumbuh. Dari kota kecil jadi kota ramai. Dari jalan lengang jadi jalan macet. ST20 hadir di masa transisi itu. Menjadi saksi perjalanan warga dari rumah ke sekolah, dari kampung ke pasar.

Kini, kalau kita melihat satu-dua ST20 masih melintas, rasanya seperti melihat “masa lalu” yang melintas dalam waktu sejarah. Nostalgia langsung muncul. Suara mesinnya membangunkan ingatan. Tentang wajah sopir, tentang bau knalpot, tentang tawa di dalam angkot penuh sesak.

Suzuki Carry ST20 mungkin sudah pensiun. Tapi kisahnya tetap hidup. Di ingatan orang Manado, ia akan selalu disebut: ST20, angkot legendaris yang pernah jadi raja jalanan.(***)

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...