Skip to main content

“Wilhelmina”, Hotel Mewah di Manado pada Awal ke-20


Di Manado, pada masa kolonial awal abad ke-20, berdiri sebuah hotel yang begitu mewah dan megah untuk ukuran kota kecil di ujung utara Sulawesi. Nama hotel itu Wilhelmina. Ia menjadi tempat berkumpulnya para pembesar pemerintah kolonial, bangsawan Minahasa, pengusaha Tionghoa dan Arab, orang-orang Eropa, hingga para pelancong yang singgah. Hotel itu menjadi simbol kemewahan di Manado kala itu.

Pemilik pertamanya adalah seorang perwira KNIL bernama Willem van Veldhoven. Lelaki Belanda yang banyak berpengalaman di medan perang ini menikahi seorang perempuan Minahasa, Wilhelmina Kumaunang, yang kemudian namanya begitu melekat pada sejarah hotel itu. Ada kemungkinan nama hotel ini diambil dari nama sang istri, selain tentu saja juga karena pada masa itu Ratu Belanda pun bernama Wilhelmina.

Seorang penulis, J.H. de Bussy, pada tahun 1911 menulis tentang suasana kota Menado. Ia menggambarkan kota yang dibangun di dua sisi sungai Tondano, terbagi menurut distrik-distrik etnis. Dalam catatannya, ia menyebut benteng tua Amsterdam, kantor-kantor pemerintahan, gereja, klub, dan juga dua hotel: Wilhelmina dan Menado. Dari deskripsinya, kita bisa membayangkan bahwa hotel Wilhelmina berdiri di sekitar pusat kota lama—kini kawasan zero point Manado, dekat Pasar 45, tak jauh dari bekas benteng Amsterdam. Bahkan ada yang menyebut di lokasi itu sekarang berdiri Hotel Sahid Kawanua, tepat di depan Tugu Batalyon Worang.

Wilhelmina disebut sebagai hotel termewah di Manado pada zamannya. A. Weber–van Bosse, yang singgah tahun 1904, menuliskan bahwa Hotel Wilhelmina adalah hotel terbaik di Menado, dengan kamar nyaman, makanan lezat, dan pelayanan memuaskan. Dari sini kita bisa membayangkan betapa prestisiusnya tempat itu bagi siapa saja yang datang ke kota kecil di tanah Minahasa.

Namun di balik kemewahan itu, kisah pemiliknya penuh warna dan berakhir tragis. Willem van Veldhoven, lahir 19 Januari 1859, adalah seorang perwira KNIL yang bertempur di Aceh pada 1885. Ia terluka dalam pertempuran di Meulaboh, lalu ikut dalam ekspedisi militer ke Bali, Lombok, Borneo, hingga akhirnya menjabat komandan benteng di Pulau Bacan. Setelah pensiun, ia beralih menjadi pengusaha perkebunan kopi dan karet di Tondano—Masarang, Sindorang, hingga Kalasei.

Sekitar tahun 1902 ia menikah dengan Wilhelmina Kumaunang, perempuan Minahasa yang lahir kira-kira tahun 1886. Dari pernikahan itu mereka memiliki sejumlah anak, dan nama sang istri abadi bukan hanya dalam garis keturunan, tetapi juga dalam nama hotel megah yang berdiri di jantung Manado. Namun nasib berkata lain. Tahun 1931, Wilhelmina meninggal dunia di Tondano. Kehilangan ini membuat Willem meninggalkan tanah Minahasa dan pindah ke Jawa. Pada masa bersiap, sekitar Oktober 1945, Willem yang sudah lanjut usia dibunuh oleh kelompok anti-Eropa di Slawi, Jawa Tengah. Hidupnya berakhir secara tragis pada usia 86 tahun.

Setelah ia meninggalkan Minahasa, kepemilikan hotel berpindah. Tahun 1930-an, seorang pengusaha bernama J.W. Roger tercatat sebagai pemilik baru. Sementara itu, bangunan hotel Wilhelmina terus menjadi salah satu ikon kota Manado hingga akhirnya berubah fungsi seiring perubahan zaman. Pada 3 November 1976, di lokasi yang disebut-sebut sama, Presiden Soeharto meresmikan Kawanua City Hotel—yang kelak lebih dikenal sebagai Hotel Sahid Kawanua.

Kisah Hotel Wilhelmina adalah potret tentang pertemuan budaya, kolonialisme, dan modernitas di Manado. Dari kemewahan tamu-tamu Eropa hingga jejak pernikahan silang Belanda-Minahasa; dari catatan seorang pelancong asing hingga memori orang-orang lokal; dari masa kolonial hingga masa kemerdekaan. Kini hotel itu tinggal nama dalam catatan sejarah, tetapi kisahnya tetap hidup sebagai bagian dari perjalanan panjang kota Manado.(***)


Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...