Skip to main content

Posts

Teras

B.A.B.I.

Seorang dosen menulis di papan tulis “B.A.B.I.” lalu bertanya kepada mahasiswanya, apa ini? Serempak para mahasiswa menjawab: “Babi!” Lalu ia bertanya lagi, apa itu “babi?”. Ada mahasiswa yang menjawab, “hewan”; “binatang”; “hewan yang dagingnya haram; “hewan jorok”; “dagingnya enak buat ragey”. Lalu si dosen mengatakan, pertanyaan saya apa ini. Para mahasiswa terdiam. “Sekali lagi, apa ini?” Dosen kembali bertanya. Para mahasiswa masih terdiam. Bingung. Lalu si dosen menunjuk satu persatu huruf dan tanda baca. “Huruf apa ini?” Tanya si dosen. “B” para mahasiswa kompak menjawab. “Lalu ini?” “Titik.” “Kemudian…” “A” Para mahasiswa kemudian melanjutkan sendiri. “Titik” “B” “Titik” “I” “Titik” Selesai para mahasiswa mengeja si dosen bertanya, “Jadi, apa ini?” “Huruf dan tanda baca ‘B titik A titik B titik I titik.” “Ok”. Kemudian dia menunjukkan selembar kertas yang ada gambar hewan babi. Lalu bertanya, “Apa ini”? Lagi-lagi para mahasiswa serempak menjawab, “Babi!” Si dosen ters...
Recent posts

Lelaki Tua di Sudut Pertokoan

(sebuah cerpen) Pagi itu, sudut pertokoan yang biasanya ditempati seorang lelaki tua tampak kosong. Matahari baru saja menembus sela-sela atap toko-toko tua, membentuk bayangan miring di lantai trotoar yang basah oleh sisa hujan semalam.  Bau roti hangat dan kopi dari rumah kopi sebelah masih sama, begitu pula suara engsel pintu toko yang berderit setiap kali dibuka. Hanya saja, kali ini tidak ada tubuh renta berselimut kain usang. Tak ada lagi tatapan kosong yang mengamati lalu-lalang orang tanpa benar-benar melihat. Warga yang melintas seperti tak sadar kekosongan itu. Seolah sudut itu memang sejak awal tak pernah memiliki penghuni. Seorang pedagang kaki lima sempat menoleh, ragu, mencari-cari sosok yang biasanya duduk di sana dengan lutut ditekuk dan tangan merangkul tubuh sendiri. Ia mengedarkan pandangan, tapi yang ada hanya plastik bekas kopi, puntung rokok lembap, dan bau asam yang samar tertinggal di udara. Kehadiran lelaki tua itu, yang oleh sebagian orang dianggap gila, t...

Mariara

Ongkaw, sebuah negeri pesisir di Afdeling Amurang, Minahasa bagian selatan pada suatu sore di tahun 1899. Zakarias Lapian, seorang penolong di negeri itu berkunjung ke rumah ‘tuang pandita’ J. Boddé. Rumah yang didiami tuang pandita adalah rumah panggung. Waktu itu dia berada di teras rumah ketika menyambut penolong Lapian yang sedang menaiki tangga rumah. “Tabe tuan!” Lapian memberi salam. “Tabe pénulung!" pandita Boddé membalasnya. “Apakah Anda datang untuk memberi tahu saya sesuatu yang baru? " "Ya,"katanya. "Seorang pria telah ditembak di Poigar." “Apakah sudah diberitahukan ke Amurang tentang kejahatan itu?" Tanya Boddé. Sang penolong lalu menjawab, “Tuan Jellesma telah menyelidiki siapa pelakunya, tetapi tidak berhasil, tidak ditemukan." “Sekarang itu tidak mengejutkanku," kata pandita Boddé. “Pelaku tidak akan pernah ditemukan." “Tuan," Lapian menambahkan dengan tatapan serius. “Yang terbunuh adalah seorang Kristen. Salah sa...

SERAGAM

  Dibuat dengan AI (bing.com) GENERASI bangsa ini memang dibesarkan oleh ideologi seragam. Seragam pakaian sekolah, seragam pakain kantor, seragam dinas, seragam panitia hari raya, dlsb. Sejak TK kita sudah harus seragam. Pengetahuan pun mesti seragam. Ilmu yang diajarkan dari sana ke sini, seragam. Tapi, apakah akhirnya tercipta keseragaman yang sesungguhnya? Tidak! Ideologi bhineka juga sudah ditanamkan sejak pertama menjadi warga negara. Cuma, sebagai ideologi tentu berbeda dengan fakta biologis dan kultural pada setiap orang Indonesia yang terdiri dari ciri, sifat dan bentuk-bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Dalam hal sebagai ideologi, maka tidak juga kemudian terwujud suatu pengakuan terhadap keragaman yang otentik. Sebab, mungkin sudah jadi bawaan manusia, setiap orang butuh penanda-penanda yang sama antara dirinya dengan orang lain. Jadi, sebetulnya ada dua ideologi yang yang tertancap dalam kesadaran masyarakat kita: keseragaman dan keragaman. Dalam hal sebagai warga neg...

Carita Rica (-rica)

Dibuat dengan AI (big.com) RASA dari suatu masakan adalah juga bagian dari kebudayaan suatu komunitas. Rasa punya sejarah dan konteks sosialnya. Suatu masa, leluhur kita menemukan cara agar makan makin nikmat, bukan karena hanya rasa asin, manis, asam, tapi juga pedas. Pada buah cabai mereka menemukan ada rasa pedas itu.  Orang-orang Minahasa menyebut cabai dengan kata rica. Oma saya menyebutnya marisa. Kata yang terakhir itu rupanya salah satu kata dalam bahasa Tontemboan.  Rica adalah buah atau juga bumbu yang menghasilkan rasa pedas atau orang Manado mengejanya, pidis. Kandungan bahan kimia capsaicin pada rica yang menimbulkan rasa pidis itu. Bagi orang-orang Minahasa, rica memang pertama-tama terkait dengan urusan masak-memasak. Itulah yang bikin kuliner Minahasa didominasi oleh rasa pidis . Lalu, urusan masak-masak yang berpusat di dapur adalah salah satu hal penting dalam acara makan-makan. Tidak ada pertemuan di Minahasa tanpa makan-makan.  Ini jadi cara orang-ora...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Pilkada sebagai Praktik Kebudayaan

Dibuat dengan AI (bing.com) HINGGA kini, publik, para intelektual, dan para aktivis demokrasi masih mendiskusikan tentang praktek dan fenomena politik uang, politisasi identitas, mobilisasi massa PNS, calon yang dinilai tidak berkualitas, dll di Pemilihan Umum (Pemilu), dan lebih khusus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Katakanlah, dari segi prosedur tentu semakin hari semakin baik, apalagi jika dibandingkan sebelum era reformasi, tapi praktek dan fenomena “penyakit demokrasi” tersebut, jelas adalah indikator bahwa demokrasi di negara kita ini belum substansial.  “Penyakit demokrasi” tersebut terjadi dalam sebuah konteks sosio-kultural. Para peserta Pilkada, yaitu partai politik, para pasangan calon, baik yang diusung oleh partai politik, maupun independen berhadapan dengan rakyat pemilih, kemudian tim sukses yang bekerja mempromosikan para calon dengan segala cara adalah anggota masyarakat. Semua pihak ini adalah bagian dari kehidupan sosial-budaya suatu komunitas atau masyaraka...