Dibuat dengan AI (bing.com) GENERASI bangsa ini memang dibesarkan oleh ideologi seragam. Seragam pakaian sekolah, seragam pakain kantor, seragam dinas, seragam panitia hari raya, dlsb. Sejak TK kita sudah harus seragam. Pengetahuan pun mesti seragam. Ilmu yang diajarkan dari sana ke sini, seragam. Tapi, apakah akhirnya tercipta keseragaman yang sesungguhnya? Tidak! Ideologi bhineka juga sudah ditanamkan sejak pertama menjadi warga negara. Cuma, sebagai ideologi tentu berbeda dengan fakta biologis dan kultural pada setiap orang Indonesia yang terdiri dari ciri, sifat dan bentuk-bentuk ekspresi yang berbeda-beda. Dalam hal sebagai ideologi, maka tidak juga kemudian terwujud suatu pengakuan terhadap keragaman yang otentik. Sebab, mungkin sudah jadi bawaan manusia, setiap orang butuh penanda-penanda yang sama antara dirinya dengan orang lain. Jadi, sebetulnya ada dua ideologi yang yang tertancap dalam kesadaran masyarakat kita: keseragaman dan keragaman. Dalam hal sebagai warga negara,
Dibuat dengan AI (big.com) RASA dari suatu masakan adalah juga bagian dari kebudayaan suatu komunitas. Rasa punya sejarah dan konteks sosialnya. Suatu masa, leluhur kita menemukan cara agar makan makin nikmat, bukan karena hanya rasa asin, manis, asam, tapi juga pedas. Pada buah cabai mereka menemukan ada rasa pedas itu. Orang-orang Minahasa menyebut cabai dengan kata rica. Oma saya menyebutnya marisa. Kata yang terakhir itu rupanya salah satu kata dalam bahasa Tontemboan. Rica adalah buah atau juga bumbu yang menghasilkan rasa pedas atau orang Manado mengejanya, pidis. Kandungan bahan kimia capsaicin pada rica yang menimbulkan rasa pidis itu Bagi orang-orang Minahasa, rica memang pertama-tama terkait dengan urusan masak-memasak. Itulah yang bikin kuliner Minahasa didominasi oleh rasa pidis . Lalu, urusan masak-masak yang berpusat di dapur adalah salah satu hal penting dalam acara makan-makan. Tidak ada pertemuan di Minahasa tanpa makan-makan. Ini jadi cara orang-orang Minahasa mem