Skip to main content

Soekarno, Sinterklaas Hitam dan Natal



Soekarno, Sinterklaas dan anak-anak di Istana tahun 1951. (Sumber: Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen: Sisi Lain Putra Sang Fajar yang Tak Terungkap terbit 2013/ANRI).


Soekarno pernah melarang perayaan Hari Sinterklaas di Indonesia, pemicunya adalah pertentangan politik dengan Belanda, tapi dia sangat menghargai perayaan Natal



DESEMBER 1957, seorang menteri asal Minahasa, Gustaaf A. Maengkom mengeluarkan pengumuman yang memerintakan seluruh orang Belanda segera meninggalkan Indonesia. Tradisi merayakan Hari Sinterklaas juga dilarang.  

Saat itu Maengkom adalah menteri Kehakiman. Ia lahir di Tondano, daerah pusat kekristenan di abad 19 pada 11 Maret 1907. Pengumuman tersebut adalah atas perintah Presiden Soekarno.

Tradisi Sinterklaas di Hindia Belanda diperkenalkan oleh orang-orang Belanda Kristen. Pada masa kolonial, setiap tanggal 5 Desember Batavia selalu diramaikan dengan kehadiran Sinterklaas.

“Setibanya di Pelabuhan Sunda Kelapa, Sinterklaas dijemput Wali Kota Batavia dan diajak berkeliling kota dalam arak-arakan yang meriah sampai finish di Gedung Societeit Harmoni, yang sudah didandani untuk menyambut kedatangannya,” demikian dicatat dalam buku Soekarno Poenja Tjerita, diterbitkan oleh Bentang, Yogyakarta 2012.

Hingga penyerahan kedaulatan tahun 1949, di era Indonesia merdeka, tradisi orang-orang Kristen Eropa ini masih dilaksanakan setiap tanggal 5 Desember.

Tapi, demikian tercatat di buku Soekarno Poenja Tjerita itu, “Lantaran kemarahan terhadap Belanda, pada tahun 1957, Sinterklas tak lagi menyambangi anak-anak Indonesia. Tak ada lagi hadiah di sepatu.”

____________________________________________
BACA JUGA

Asal Usul Pohon Terang dalam Perayaan Natal di Minahasa

____________________________________________

Masalah hubungan politik Indonesia yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dengan Belanda, negeri bekas penjajah itu adalah satu-satunya penyebab pelarangan Sintkerlaas.

“Soekarno melarang tradisi khas Belanda itu,” demikian disebutkan dalam buku itu.

“Kejadian kelam ini terjadi tepat pada hari perayaan Sintkerlaas 5 Desember 1957. Kata ‘hitam’ pada istilah ‘Sinterklaas Hitam’ (Zwarte Sinterklaas) bermakna simbolik. Ini adalah ungkapan atas peristiwa kelabu pada hari Sinterklaas tahun 1957,” tulis Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen: Sisi Lain Putra Sang Fajar yang Tak Terungkap (terbit 2013).

Soekarno memerintahkan agar seluruh orang Belanda di Indonesia segera meninggalkan Indonesia. Tapi dia memberi pengecualian bagi pemimpin agama.

Bagi Soekarno, pelarangan itu tidak berkaitan dengan perayaan keagamaan Natal umat Kristen. Ini lebih sebagai sikap protes politik terhadap Belanda.   

“Sebagai perayaan tradisi budaya, Hari Sinterklaas sebetulnya bukanlah perayaan yang asing di istana presiden ketika itu. Bahkan, Bung Karno sendiri tidak canggung ikut merayakan hari Sinterklaas. Ada foto yang menunjukkan Bung Karno pada tahun 1951 mengundang Sinterklaas ke istana, ikut berpesta bersama anak-anak,” tulis de Jonge.

Penyebab utama larangan itu adalah gara-gara Belanda ngotot untuk merebut Irian Barat. Soekarno sebagai presiden menolak keinginan Belanda itu. Sikap Soekarno itu memicu munculnya gerakan anti Belanda pada masyarakat Indonesia. Warga Belanda atau keturunannya ketakutan dan tak berani keluar rumah. Hari Natal pun dirayakan tanpa kehadiran Sinterklaas.


Sikap ini agaknya tak mempengaruhi hubungan Soekarno dengan umat Kristen. Surat kabar De Volksrant edisi 31 Desember 1965 menampilkan foto Soekarno menghadiri ibadah Natal di Senayan, Jakarta. Soekarno duduk di tengah tokoh-tokoh dan pemimpin umat Kristen Protestan dan Katolik. Ia mengikuti ibadah dengan khusyuk.

Ini bukan pertama kali bagi Soekarno. Tahun 1947 ia juga menghadiri ibadah perayaan Natal di Gereja Protestan Yorgyakarta. Pada kesempatan itu Soekarno menyampaikan sambutan.

Desember tahun 1955, Soekarno menghadiri pula ibadah Natal ekumenis di Jakarta. Surat kabar De nieuwsgier edisi 23 Desember tahun 1955 melaporkan kehadiran Soekarno di ibadah Natal itu. Soekarno menyampaikan sambutannya yang bertemakan tentang Pancasila. Situasi politik waktu itu cukup menegangkan.

Tapi Soekarno berkata di hadapan orang-orang yang hadir di ibadah Natal itu, “Suasana di sini menenangkan dan mendinginkan pikiran saya.”

Soekarno juga berkata, di tempat itu semua orang menyembah satu Tuhan dari semua agama.

"Pada malam ini saya kembali melihat penderitaan yang harus dialami oleh Yesus Kristus, penderitaan Muhammad, Gandhi yang semuanya mengabarkan persaudaraan, kedamaian dan toleransi," kata presiden Soekarno.

Di akhir pidatonya, Soekarno menyampaikan makna Pancasila sebagai dasar negara yang memberi tempat bagi semua kelompok yang berbeda-beda. 

Di negara ini, yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, kita harus membangun sebuah rumah besar, Republik Indonesia, untuk 80 juta jiwa rakyat Indonesia dengan keragaman kelompok populasi, sebuah rumah tempat mereka dapat hidup bersama secara harmonis, dan itulah sebabnya Pancasila adalah fondasi terbaik untuk rumah seperti itu, "kata Presiden Soekarno.(*)



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui:  
dpinontoan6@gmail.com
 Denni Pinontoan

 082187097616


Makase banyak. 

Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

Tragedi Kebudayaan pada Makam Leluhur

Dibuat dengan AI, bing.com SUATU malam, mungkin dua minggu dari sekarang, saya mengambil waktu sejenak berdiri di pinggir jalan. Tepatnya, dekat jalan masuk menuju ke rumah sakit Gunung Maria, Tomohon. Posisi saya berada di tempat parkir sebuah minimarket waralaba.   Di seberang jalan, lampu terang benderang dari sejumlah gedung yang berjejer. Ada gedung retail perabotan rumah tangga dan asesoris. Di sebelahnya ada gedung restoran walaraba. Keduanya adalah perusahaan waralaba international. Sebuah gedung tempat fotocopy milik pengusaha lokal tampak terjepit di antara dua gedung itu. Jalanan yang padat dengan kendaraan makin membuat tempat itu benar-benar seperti kota modern.   Pada jalan ke arah menuju Tondano dan Kawangkoan, di tengah-tengahnya, patung Tololiu terlihat samar, sesekali cahaya lampu kendaraan mengenai wajahnya. Ia bukan sekadar benda. Patung ini adalah artefak, sebuah teks dan narasi tentang heroisme komunitas ini. Tapi, siapa yang peduli dengan itu ketika s...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...