Sunday, July 3, 2016

Rumah Jaga di Lota’



Lukisan sebuah jalan besar di Minahasa Tempo Dulu

SUATU malam pada tahun 1860-an, di sebuah rumah kecil di sudut jalan negeri Lota’.  


“Oi! Oi! Apa ada orang di sini? Oi! Oi!,” seseorang mencari tahu apakah ada orang di dalam rumah kecil itu. 

Orang di dalam rumah kecil itu terkejut. Namun, ia tidak langsung keluar. Dengan segera ia membuat nyala api di tanah membesar. Ia sementara masih duduk berjaga. Namun, setelah itu ia berdiri dan mengintip keluar dari kegelapan. Rupanya ia ingin mencari tahu siapa yang memanggil dari luar. 

Orang yang berada di luar berkata lagi, “Oi, apa Anda ada api?”

“Api, ya ada!” orang yang berada di dalam menyahut.

“Apakah Anda dapat membuatkan sebuah obor untuk diberikan kepada seseorang untuk dipakai dalam perjalanan dengan bayaran?”

Dialog dia atas adalah cerita Pdt. Nicolaas Graafland tentang aktivitas rumah jaga di Lota’ yang waktu itu adalah ibu negeri distrik Kakaskasen. Kepala distrik waktu itu, seperti disebutkan Graafland berpangkat hukum besar. Graafland adalah zendeling dari Belanda yang datang ke Minahasa di pertengahan abad 19 itu. Graafland melihat rumah jaga itu ketika ia mengunjungi Lota’.

“Itu rumah jaga. Bentuk lama daripada rumah jaga itu, seperti yang masih banyak terdapat di luar jalan besar berbentuk seperti lumbung kecil, yang di depan terbuka seluruhnya dan di tiga sisi tertutup, “ tulis Graafland pada buku laporan perjalananya yang dalam terjemahan bahasa Indonesia dengan penerjemah Yoost Kullit berjudul Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini (terbit pertama kali di Rotterdam Belanda tahun 1869).

Di dalam rumah jaga itu, di bagian depan, di bagian pinggir, atau tengah terdapat api dari kayu bakar yang harus selalu ada. Pada sebuah gantungan terdapat sebuah pengukur waktu yang terbuat dari dua botol yang kedua mulutnya saling berhadapan. Pada satu botol yang berada di posisi atas berisi pasir yang turun sedikit demi sedikit mengisi botol yang di bawahnya. Alat pengukur waktu lainnya pegganti alat ukur waktu botol itu adalah tempurung yang berisikan air, yang cara kerjanya seperti dua botol itu.

Alat bunyi yang salah satunya biasa terdapat pada rumah jaga di Minahasa masa itu adalah gong, tifa atau kalau tidak tetengkoren. Alat-alat bunyi ini dipakai untuk menandakan waktu atau untuk memanggil orang-orang di kampung untuk berkumpul. Di bagian tertentu ruangan rumah jaga itu terdapat pula tali gomutu, yang tergantung atau terletak di lantai untuk mengikat kuda. Di bagian depan, di atas tanah terdapat torongku, suatu balok kalyu, tempat kaki para tanahan dipasung. Di bagian belakang rumah jaga itu terdapat semacam bilik atau lemari kecil tempat menyimpan barang-barang milik kelompok kabesaran. Pada banyak waktu, bilik itu dipakai sebagai tempat duduk, atau tempat tidur pada penjaga.

Sehari-hari fungsi rumah jaga di Lota’, dan begitu rupanya pada umumnya adalah untuk menjaga kampung atau negeri. Rumah jaga berfungsi pula sebagai semacam pusat informasi dari orang-orang yang melewati negeri sebagai pengelenana menuju suatu tempat. Di sana para pengelana menanyakan asal tempat tingggal orang dan petunjuk arah jalan. Rumah jaga juga dapat berfungsi sebagai pemberi bantuan bagi seorang atau sebuah kelompok pengelana yang mengalami musibah. Di rumah kecil itupula, para pengenala dapat beristirahat sejenak setelah melakukan perjalanan yang jauh. Para penjaga dan warga negeri akan memberi mereka makanan untuk menghilangkan rasa lapar. 

“Dengan makanan yang sederhana tetapi yang disajikan dengan murah tangan,” kata Graafland.  

“Bagi rakyat maka rumah jaga itu, apalagi dahulu kala, merupakan tempat yang paling menyenangkan di seluruh negeri, sama seperti tempatnya tukang besi di dusun di Belanda,” tulis Graafland.

Di rumah jaga itu, terutama di malam hari, beberapa orang berkumpul untuk bacirita sejarah kehidupan mereka. Kata Graafland, di tempat itu pada malam hari, biasanya ada seorang yang lanjut usia bergabung dengan para penjaga. Di dekat api mereka duduk, lalu orang yang lanjut usia itu akan berkisah mengenai riwayat kebesaran para leluhur negeri di masa lalu. Cerita dari si lanjut usia itu akan menemani para penjaga rumah jaga melewati malam.

“Berbagai kejadian di negeri, distrik dan tanah air dipermasalahkan di sini, dan diberikan tambahan yang perlu, “tulis Graafland. 


Sumber foto:  L.J. van Rhijn, "Reis Door den Indischen Archipel", 1851



  

Monday, June 20, 2016

Muhammad Ali di Masa Kecil: “Kecupan Manis di Minggu Pagi itu”




Suatu Minggu pagi pada akhir tahun 1940. Di sebuah kamar rumah keluarga kulit hitam di Louisville, Kentucky, Amerika, dua bocah kakak beradik masih saja belum beranjak dari tempat tidur. Seorang perempuan, kira-kira berusia 30-an tahun masuk ke kamar mereka. Dia mendekati dua bocah itu dan memberi kecupan manis di dahi mereka. 

"Bangun bayi kecil, bangun Rudy, kita akan bersyukur kepada Tuhan!" kata perempuan itu kepada mereka. 

Sang kakak bernama Cassius Marcellus Clay, jr. Sang adik adalah Rudy Clay. Perempuan yang telah memberi kecupan itu adalah ibu mereka yang bernama  Odessa Grady Clay. Nama sang kakak diambil dari nama ayah mereka, sehingga dibelakang namanya ditambahkan ‘jr’ (junior).

Sang ibu kadang-kadang memanggil Cassius dengan sebutan “GG”. Menurut Cassius sendiri, ibunya memanggil dia dengan sebutan itu, karena ‘GG” adalah kata pertama yang diucap ketika pertama kali bicara. 

Ibu mereka, Odessa adalah seorang pencuci pakaian. Sementara ayah mereka adalah pelukis papan iklan dan rambu lalu lintas. 

Setelah bangun, Cassius dan Rudy, menuju ke dapur, duduk manis di meja makan dan sarapan bersama. Ibu mereka selalu menyiapkan sarapan pagi untuk keluarga. Sementara dua bocah ini sarapan, sang ibu sibuk siapkan pakaian untuk mereka kenakan setelah mandi nanti.  

“Setelah berpakaian, Rudy dan aku akan pergi ke luar untuk duduk di teras depan dan menembak kelereng sebelum kami berangkat ke sekolah Minggu,” kata Cassius.
Kisah itu membuka buku The Soul of a Butterfly: Reflections on Life's Journey, buku otobiografi Muhammad Ali yang ditulis bersama putrinya Hanna Yasmeen Ali. Buku ini terbit pertama September 2005. 

Cassius Marcellus Clay, jr  adalah nama asli dari petinju profesional kelas dunia Muhammad Ali. Ali lahir pada tanggal 17 Januari 1942 di kota itu. Muhammad Ali adalah nama yang dipilihnya ketika menjadi Islam pada tahun 1964. Nama Muhammad Ali dikenal luas oleh masyarakat dunia oleh karena prestasinya dalam dunia tinju profesional. Rudy mengikuti jejak kakaknya, menjadi petinju, juga memilih menjadi Islam. Namanya pun berganti menjadi Rahman Ali. 

Di masa kecil, seperti cerita Ali sendiri, dia selalu berusaha untuk tampil bersih dan rapih. Dia akan merasa tampan jika bajunya diseterika dengan memakai dasi kupu-kupu.
Ali bangga dengan kedua orang tuanya yang sangat sayang terhadap dia dan adiknya. Dengan cinta dan sayang ini, Ali selalu merasa dia istimewa dihadapan mereka.  Dia masih mengingat cerita sang ibu tentang kelahirannya. “Dia mengatakan bahwa saya seperti bayi cantik, semua orang mengira saya adalah seorang gadis,” kenang Ali dalam buku The Soul of a Butterfly itu.

Ibu Ali adalah seorang Baptis dan ayahnya seorang Methodist. Tapi, kata Ali, keluarga mereka lebih sering beribadah di gereja ibunya, Baptis. 


Dia dan adiknya sering diajak sang ayah membantu dia melukis. Sang ayah lalu mengajarkan kedua anaknya itu cara mencampur cat dan cara mengatur apa yang akan dilukis.
“Aku sedikit bisa menggambar, tapi tidak ada yang istimewa,” tulis Ali.  

Ali mengenang ayahnya sebagai seorang yang sangat baik. Sang ayah selalu mengajarkan mereka keberanian, dan selalu memberi dorongang agar kelak mereka menjadi orang-orang baik.  “Dia adalah ayah saya dan teman saya,” ujar Ali. 

Tentang ibunya, Ali mengenang dia sebagai seorang wanita yang lembut, penuh keramahan dan baik terhadap banyak orang.  “Ibu saya adalah seorang wanita yang lembut. Dia selalu berbicara dengan suara lembut dan aku tidak pernah mendengar dia mengatakan hal buruk tentang siapa pun,” kenang Ali.

Ali dan keluarganya melewati masa-masa sulit akibat segragasi sosial di Amerika di tahun 1950-1960an di Amerika. Dia dan adiknya Rudy bertumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat Amerika yang rasis. 

Ali sudah berlatih tinju sejak usia 12 tahun. Pada tahun 1954 dia memasuki dunia tinju amatir. Di Kentucky sebanyak enam kali berturut-turut dia memenangkan pertarungan tinju. Tahun 1960 dia meraih medali emas dalam olimpiade yang membawa nama Amerika. Karir dalam tinju profesional dia mulai geluti sejak tahun 1960. Ali makin menjadi terkenal, karena dalam 19 kali pertandingan, dia memenangkannya semua, dengan rekor 15 kali memang KO. Setelah berjaya dengan kemenangan-kemenangan gemilang di atas ring, pada 27 Juli 1979 Ali memutuskan diri untuk pensiun dari dunia tinju. Setelah pensiun Ali kemudian menjadi aktivis untuk menyampaikan pesan-pesan perdamain dan kesetaraan bagi masyarakat dunia. 

Tanggal 3 Juni lalu, Muhammad Ali menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia 74  tahun. Ali cukup lama bergelut dengan penyakit parkinson yang dideritanya. Masyarakat Amerika dan dunia, terutama pecinta tinju merasa kehilangan seorang sosok hebat di atas ring, namun kuat secara spiritual di dalam batinnya. 

Rahman Ali, merasa sangat kehilangan kakaknya.  Dia mengenang Ali sebagai orang yang penuh cinta.  "Dia adalah kakak yang sempurna," ujar Rahman Ali seperti dilansir situs www.dailymail.co.uk.

Sunday, June 19, 2016

Pernikahan Dini Gandhi dan Kasturbai



Gandhi dan Kasturbai. Sumber Foto: Gandhi: Sebuah Otobiografi
Porbandar, India suatu hari di tahun 1883. Seorang remaja laki-laki, usianya baru 13 tahun deg-degan menghadapi hari pernikahannya. Rumah orang tuanya, selama berminggu-minggu ramai dengan tetangga yang mempersiapkan segala hal untuk hari perkawinan. Seorang perempuan, juga masih remaja sudah disiapkan oleh keluarga untuk menjadi calon istrinya.

Remaja itu adalah Mohandas Karamchand Gandhi. Calon istrinya bernama Kasturbai. Mereka sebaya. Cuma saja Gandhi dapat bersekolah, sementara Kasturbai, sampai menikah masih buta huruf. Pasangan ini berasal dari kota yang sama, yaitu Porbandar sebuah kota pesisir di bagian Gujarat India.

“Saya dikawinkan, bukanlah bertunangan,” tulis Gandhi dalam Gandhi: Sebuah Otobiografi (1975, 1982).

Gandhi tidak sedang dipersiapkan untuk bertunangan, tapi benar-benar akan menikah. Pertunangan dan perkawinan, kata Gandhi, dalam tradisi umum di India jelas-jelas berbeda. Pertunangan tidak mengikat, namun perkawinan adalah benar-benar hidup berumah tangga yang tidak lagi main-main. Sebelum dengan Kasturbai, Gandhi sudah dua kali dipertunangkan dengan dua perempuan yang berbeda.

“Saya diberitahu bahwa, kedua gadis yang pernah dipilih buat saya, telah meninggal secara berturut-turut,” kata Gandhi.

Gandhi menceritakan, bagaimana persiapan perkawinannya yang telah berakibat kecelakaan ayahnya dalam perjalanan dengan kereta api dari Rajkot ke Porbandar. Ayah Gandhi, Kabah Gandhi bekerja sebagai anggota dewan Hakim-Thanik di Rajkot. Kabah harus pulang ke Porbandar untuk persiapan perkawian anaknya. Dalam perjalanan itu, kereta yang ditumpangi Kabah terbalik di dekat kota yang dituju.

“Ayah mendapat luka-luka berat, hingga ayah sampai seakan-akan terbungkus dalam pembalut,” cerita Gandhi.

Dengan tubuh yang penuh luka, Kabah tetap mengikuti perayaan pernikahan anaknya. “Pada hari itu segala sesuatu nampaknya wajar saja dan menyenangkan bagi saya. Di samping itu saya sendiri ingin kawin,” tulis Gandhi.

Sebagai pengantin yang masih berumur sangat muda, Gandhi mengalami kebingungan dengan malam pertama perkawinannya. Istri kakaknya, yang sudah lebih dulu menikah membimbing Gandhi tentang apa yang harus dilakukan pada malam pertama. Gandhi mengaku, tak tahu siapa yang membimbing Kasturbai.

Gandhi dan Kasturbai tentu sangat gugup menjalani perkawinan mereka itu. Sebagai anak-anak remaja, duduk di pelaminan dan malam pertama berdua di kamar tentu adalah sesuatu yang sungguh mendebarkan.

“Kami terlalu gugup untuk berhadapan muka kami tentunya sangat malu,” Gandhi mengisahkan malam pertamanya itu.

Ketika mengenangnya di kemudian hari, Gandhi merasa perkawinan tersebut sungguh sebuah pengalaman yang tidak baik. “Tak ada alasan moral yang dapat saya kemukakan untuk mempertahankan perkawinan di bawah umur yang benar-benar tak masuk akal itu,” kata Gandhi.

Gandhi dan Kasturbai di masa awal perkawinan, sebagai pasangan suami-istri yang masih remaja tidak luput dari berbagai masalah. Namun, Gandhi sendiri mengaku, bahwa dia sangat mencintai Kasturbai. “Saya tahu bahwa tak ada sesuatu yang tidak dapat diatasi dengan cinta sejati,” kata Gandhi dalam refleksinya di kemudian hari.

Kasturbai telah menjadi istri yang baik untuk Gandhi. Begitupula Gandhi telah berusaha sekuat mungkin menjadi suami yang baik. Kasturbai adalah istri satu-satunya Gandhi. Kasturbai meninggal pada tahun 1944. Empat tahun kemudian menyusul Gandhi yang meninggal karena tewas dibunuh pada 30 Januari 1948. Kasturbai telah menemani Gandhi dalam perjuangannya untuk India.

Lima tahun dari perkawinan itu, Kasturbai melahirkan anak pertamanya bersama Gandhi. Mereka memberi nama anak mereka itu Harilal Mohandas Gandhi. Anak kedua bernama Manilal, anak ketiga Ramdas dan anak keempat diberi nama Devdas.