Saturday, December 11, 2021

Kristen Magis menurut Kruyt dan Kristen Kultural

ZENDELING Albertus Christiaan Kruyt yang bertugas di Poso sejak tahun 1892 dalam bukunya Van Heiden Tot Christen terbit tahun 1926 menceritakan mengenai cara orang-orang Poso merayakan dan menghayati Natal. Dari pengamatannya secara partisipatif dia mendapati bahwa perayaan Natal bagi orang-orang Poso agaknya masih dalam penghayatan ritual-ritual agama leluhur mereka. Pohon terang misalnya dimakna secara magis. Lalu, perayaan Natal mesti dilakukan secara komunal yang ditandai dengan pesta-pesta, yaitu kesibukan memasak, makan-makan, saling pesiar, dan pertunjukkan semalam suntuk.

Kruyt menyebut fenomena ini sebagai model Kristen magis. Sebuah model kekristenan yang memahami semua unsur dalam agama Kristen, ibadah, alkitab, tokoh-tokoh di dalamnya, perayaan-perayaan keagamaan memiliki kekuatan magis. Ini, katanya berdasarkan cara berpikir mereka yang memahami semua yang ada di dalam ini mengandung unsur magis.
Namun, seperti cara berpikir orang-orang modern Eropa pada umumnya waktu itu, Kruyt memahami model itu sebagai tahap pertama dalam perkembangan kekristenan. Bahwa, kekristenan mesti berkembang secara bertahap, meningkat menuju ke apa yang dipahami sebagai yang sesungguhnya. Ini khas paradigma modern yang evolusionalistis. Menurut dia, perkembangan selanjutnya akan mengarah ke model Kristen “hukumiah”. Model ini, katanya akan mengganti model Kristen magis tersebut dengan larangan-larangan yang dinggap Kristiani.
Semuanya itu, menurut dia mesti memuncak pada model Kristen Injili atau Kristen etis. Dalam tafsiran J.A.B. Jongeneel, model Kristen Injili ini, justru adalah model Kristen “yang tidak mengimpit iman dan kehidupan susila dalam ritus-ritus (upacara-upacara) atau dalam peraturan-peraturan, tetapi membiarkannya berkembang dengan bebas”.
Kruyt relatif lebih dialogis memahami budaya dengan agama Kristen. Zendeling yang satu ini tampaknya memiliki cara berteologi yang unik. Terhadap cara orang-orang Kristen Poso memahami kekristenan masa itu yang sangat dipengaruhi oleh model berpikir magis, dalam bukunya itu dia menulis begini: “Haruskah kita dengan keras menentang ini sebagai ‘tidak rohani’”? Saya rasa tidak boleh…”
Tapi, cara berpikir Kruyt masih linier, bahwa seperti teori evolusi yang kemudian mempengaruhi penelitian-penelitian agama dan budaya di luar Eropa yang memahami bahwa agama-agama dan peradaban berkembang secara evolusionis dari tingkat paling bawah ke atas, demikian rupanya juga Kruyt memikirkan kekristenan di Poso.
Sebenarnya, apa yang diamati oleh Kruyt di Poso, juga berlaku di Toraja dan di Minahasa. Ini adalah bangsa-bangsa yang kehidupan sosio-kultural-religiusnya dipenuhi dengan ritual-ritual yang adalah juga pesta-pesta. Di Minahasa misalnya, era pasca zendeling rasanya model kekristenan yang dihidupi sulit diukur dengan tipologi Kruyt tersebut. Benar ada model-model itu, tapi rasanya Kruyt melupakan satu hal, yaitu kosmologi orang-orang di tempat itu yan
g mengutamakan keseimbangan daripada perkembangan secara linier.
Kekristenan di Minahasa, jika dihitung sejak kedatangan Riedel dan Schwarz, usianya hampir dua abad. Akhir abad ke-19, hampir seluruhnya orang Minahasa sudah Kristen. Perayaan Natal sudah diperkenalkan sejak Riedel dan Schwarz datang. Artinya, mestinya kekristenan di Minahasa sekarang ini, mengikuti cara berpikir Kruyt yang evolusionistis itu, sudah mengganti praktek maupun cara berpikir religi tua. Tapi, faktanya tidak. Dan, saya rasa tidak pernah akan bisa!
Hari Natal dan Tahun Baru bagi orang-orang Minahasa adalah pesta. Ada kenikmatan baik secara sosial tapi juga secara kultural dan spiritual sepanjang bulan Desember dan bahkana berlanjut hingga Januari.
Mengapa? Apakah ini gejala sekularisme? Materialisme? Konsumerisme? Saya rasa kita terlalu terburu-buru jika mengatakan, perayaan Natal dan Tahun baru yang ditandai kemeriahan, pesta keluarga dan komunitas itu sebagai akibat hal-hal tersebut.
Ini yang tidak dipikirkan oleh Kruyt. Bahwa, bagaimanapun kekristenan tidak akan pernah menjadi suatu kebudayaan tunggal lalu kemudian mesti diusahkan untuk mengganti seluruh budaya lama. Sebab, pada akhirnya yang terjadi adalah negosiasi dan dialog secara terus menerus antara keduanya sehingga prosesnya tidak terjadi secara linier.
Perayaan Natal dan Tahun Baru sebagai pesta komunitas, itulah model Kristen kultural. Itulah cara orang-orang Minahasa menegosiasikan sistem religi-kulturalnya dengan kekristenan Eropa. Ritual-ritual dan kosmologi agama lama lalu kemudian direkonstruksi dalam perjumpaannya dengan kekristenan maka lahirlah model kekristenan yang unik dank khas: Kristen kultural.
Kristen kultural bukan model Kristen magis, bukan pula Kristen hukumiah, namun ia adalah hibridasi dari perjumpaan antara sistem religi leluhur Minahasa dengan kekristenan yang kemudian diiterpretasi dan dikonstruksi dalam kehidupan sosial-budaya di lokus setempat. Inilah model Kristen penemuan orang-orang Minahasa dalam sejarahnya. (dennipinontoan, 09/12/2021)

Sunday, October 31, 2021

Maria adalah Perempuan! (beberapa catatan tentang monolog “Maria”)

 


 

Oleh Denni H.R. Pinontoan

 

Manado, 30 Oktober 2021 malam. Kota ini terasa begitu sesak. Di suatu kawasan pusat perbelajaan terlihat ramai orang-orang menikmati malam. Jalan raya padat dengan kendaraan roda empat dan dua. 

Di sebuah kafe Maria hadir lagi dan berbicara hadapan orang-orang di situ. Ia berbicara dengan nada mengeluh, tapi juga protes. Maria, ya dia seorang perempuan.

Pojok Indie nama kafe itu. Berdiri memang di sebuah pojok. Di depannya pusat perbelanjaan yang berdiri di atas tanah reklamasi. Ia berada sekira 1 km dari Pasar 45, yang di masa kolonial adalah benteng Ford Amsterdam pusat dari segala kekuasaan yang mengubah. Tak jauh dari situ adalah pelabuhan tua yang masih berfungsi.

Oleh suatu proses berkesenian, Maria datang lagi ke sini, ketika semua sudah banyak yang berubah.

"Saya Maria. Lahir di Kema, Sulawesi Utara, 1 Desember 1872,” kata perempuan itu.

Perempuan yang sedang berbicara itu adalah Maria dalam pentas monolog karya Achi Breyvi Talanggai dengan aktrisnya Melva Trifena Kembuan.

Sangat mungkin, Achi penulis naskah ini tak menyadari sebelumnya bahwa ruang pentas monolognya bukan hanya panggung kecil itu. Maria malam ini pas berada di kawasan yang seabad lalu, ia adalah batas antara yang Eropa dengan pribumi. Batas antara penguasa dan yang dikuasai.

Monolog Maria malam ini semacam esai yang dipentaskan tentang bagian dari sejarah Maria Josephine Cathrine Maramis. Seorang perempuan kelahiran Kema, 1 Desember 1872. Sudah barang tentu monolog ini tidak sedang berusaha menghadirkan potret Maria dari Kema itu. Sebab, setiap monolog adalah tafsir, rekonstruksi dan refleksi atas yang historis.

Ini adalah cara menghadirkan kembali spirit Maria secara imajinatif dan kreatif. Ada kesan, bahwa si penulis naskah telah membaca Maria dari Kema itu dengan tafsir feminis. Si aktris, Melva tampaknya mestinya harus setia pada naskah untuk menghayati perannya secara feminis pula.

Itu tampak jelas dalam setiap gerak dan ucapan tokoh Maria, juga setiap properti di panggung itu. Semua itu adalah cara untuk menghandirkan suara Maria dari Kema secara simbolis. Dan, pada hal ini monolog Maria adalah sebuah esai yang dipentaskan. Ia adalah hasil tafsir dengan kebebasan si penulis naskah dan juga aktris yang memerankannya atas teks kultural tentang Maria Josephine Catherine Maramis.

Malam itu saya dan Lidya Kandowangko, kolega di Prodi Sosiologi Agama IAKN Manado diminta oleh Achi untuk menjadi pemantik diskusi setelah pentas. Pada kesempatan inilah saya berbicara tentang Maria J.C. Maramis itu dengan sedikit sejarah yang tentangnya, selebihnya adalah refleksi.

Maria Maramis adalah perempuan Minahasa yang hidup di masa transisi abad. Seorang anak perempuan malang yang ditinggalkan oleh kedua tuanya karena kematian. Dibesarkan oleh pamannya di Maumbi tapi berinteraksi dengan keluarga zendeling Jan ten Hove, terutama dengan istrinya. Maria mesti mengalami pembatasan kesempatan untuk berpendidikan hingga tinggak tertentu. Tapi ia rupanya dapat mengatasi itu dengan berusaha belajar mungkin sebagai anak piara keluarga zendeling.

Maria hidup di masa struktur kolonial telah membentuk satu jaringan birokrasi hingga ke wanua/ro'ong. Masyarakat Minahasa sudah berbeda-beda secara kelas sosial. Maria terjepit pada posisinya sebagai bagian dari keluarga elit, sebagai perempuan yang berhadapan dengan diskriminasi rasial kolonial. Kekristenan di Minahasa yang segera menjadi bagian dari gereja kolonial Indische Kerk tidak banyak menolong dia dari posisi sulit itu.

Namun, Maria kelak menjadi tokoh penggerak karena ia berhasil menangkap kekuatan pengetahuan modern masa itu. Ia berusaha mengolah pengetahuan modern itu dengan warisan pengetahuan Minahasa. Saya yakin, ia tahu dan paham betul bahwa sebagai perempuan Minahasa ia hidup dalam komunitas yang memiliki warisan budaya egaliter.

Maka, tampilah Maria sebagai tokoh pergerakan perempuan Minahasa. Mendirikan PIKAT, menulis pemikiran-pemikiran kritis di surat kabar,  hingga memperjuangkan hak pilih perempuan di Minahasa Raad. Anggota Minahasa Raad, seorang tokoh senior Minahasa, A.L..Waworuntu mendukung perjuangan hak pilih perempuan oleh Maria dan PIKAT. Demikian pula Frits Laoh di Gemente Raad Manado.

Dalam memperjuangkan hak pilih perempuan, dan itu berarti mesti memasuki dunia politik, Maria dan PIKAT berhadapan dengan ideologi dan struktur kolonial yang rumit. Seorang feminis dari Belanda, Aleta Jacobs datang ke Hindia Belanda untuk menggalang kekuatan memperjuangkan hak pilih perempuan di Volksraad. Namun, sasarannya lebih khusus perempuan Eropa. Sementara mereka sendiri harus berhadapan dengan politik yang patriakhal. Politik kolonial sendiri sudah tentu sangat bercorak Eropa.

Jadi, ketika Maria dan PIKAT melakukan gerakan untuk perjuangan hak pilih perempuan, ini sama dengan melawan politik rasial yang patriarkhal kolonial. Temboknya berlapis-lapis: perempuan Eropa vs laki-laki Eropa; laki-laki Eropa vs laki-laki pribumi: di Volksraad (di Batavia) laki-laki pribumi vs perempuan pribumi. Tapi, di Minahasa sungguh berbeda: perempuan dan laki-laki Minahasa bekerjasama untuk perjuangan itu.

 

***

Maria Maramis adalah perempuan pada zamannya. Secara personal historis ia terbatas ruang dan waktu. Namun, melalui seni rohnya berusaha dihidupkan kembali untuk menafsir pesannya bagi pendengar masa kini.

Monolog "Maria" karya Achi dengan pemerannya Melva melakukan itu. Apakah Achi sebagai penulis naskah telah mendekati teks historis Maria Maramis dengan tafsir feminis? Ah, saya kira itu tidak penting. Apakah Melva mementaskan Maria dengan kesadaran feminisme dan lalu ia telah berbicara sebagai seorang feminis? Ah, itu juga tidak terlalu penting dipikirkan. Yang penting adalah teks historis Maria Maramis telah ditafsir, direkonstruksi dan direfleksikan secara kreatif. Itulah seni monolog.

Hal penting untuk dibicarakan apakah karya ini berhasil memicu diskurus berkesenian dan tentang perempuan atau tidak. Saya sendiri menyaksikan respon mereka yang hadir sebagai penonton di kafe malam itu. Monolog Maria rupanya berhasil memicu kritik dan refleksi tentang keduanya. Ini penting. Karena dengan demikian maka monolog ini berhasil mengajak orang-orang untuk berefleksi dan memikirkan kembali apa yang krusial tapi malas dipikirkan sebelumnya.

Seorang teman bertanya, bagaimana kita memahami tentang Maria dan perempuan? Ini sebuah pertanyaan reflektif yang dalam.

"Perempuan adalah narasi tentang keterpinggiran kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan konstruksi kekuasaan," kataku pada malam itu.

Jawaban ini muncul dari perenunganku selama ini tentang kecenderungan, bahwa ketika berbicara hak perempuan untuk setara lalu mengkonstruksinya semata hanya secara biologis dan memperhadapkannya secara dikotomis dengan juga yang dikonstruksi semata hanya biologis, yaitu laki-laki.

Sementara ketika bicara kesetaraan, maka itu tentang dua pihak atau lebih yang mesti memiliki kesadaran holistik untuk hadir dan mengada secara setara dengan perbedaan-perbedaan kodrati yang dimiliki masing-masing. Pada hal maka tentang apa yang disebut perbedaan kodrati itu adalah substansial tapi tidak lebih banyak dari yang dikonstruksi.

Maka, perjuangan kesetaraan mestinya tentang perlawanan terhadap kekuasaan yang hegemonik dan destruktif. Kekuasaan inilah sebagai musuh dari kesetaraan dalam relasi perempuan dan laki-laki, dan antar kelompok dalam masyarakat.

Maria dalam monolog di malam itu, yang hadir pojok keramaian Manado, di kafe Pojok Indie, telah menyatakan suaranya. Selebihnya adalah tentang seni sebagai ruang kritik terhadap segala kekuasaan yang mengkerangkeng. Sebab, kemerdekaan dan kebebasan selalu mendatangkan pengalaman sublim. Bukankah keindahan itu adalah tentang semua yang mendatangkan rasa takjub?***

Friday, October 29, 2021

“Indu-nesia”

Oleh Denni H.R. Pinontoan

 

JAUH ke belakang, satu abad sebelum ia menjadi nama negara, nama tuanya adalah "Indunesia" dan "Malayunesia". Nama itu diberikan oleh George Samuel Windsor Earl (1813-1865) pada tahun 1847. Cuma saja dia lebih suka dengan nama Melayunesia untuk menunjuk pada sebuah wilayah geografis, yang oleh pemerintah kolonial Belanda menyebutnya Hindia Belanda.

Sebenarnya, Indunesia itulah yang juga disebut kepulauan Hindia. James Richardson Logan, kolega Earl tahun 1850 memilih nama "Indonesia", yang dari nama semula "Indunesia". Huruf "u" dirubah menjadi "o". Adolf Bastian, pada tahun 1884 menggunakan nama "Indonesia" untuk menunjuk pada wilayah geografis yang sebelumnya dinamakan "Melayunesia" dan "Indunesia” itu.

"Indu" adalah "India" atau Hindia. Lalu "nesia" berasal dari kata Yunani "nesos" yang berarti "pulau/kepulauan". Tampaknya cuma soal mana istilah yang tepat untuk menyebut wilayah geografis yang sama. Yang jelas, karena ini nama ilmiah, maka sudah tentu dia berbeda dengan nama untuk maksud kolonial, Hindia Belanda.

"Indonesia" pertama-tama adalah istilah geografis. Tapi, sejak awal abad ke-20 ia telah menjadi tanda, lalu simbol politis. Nama ini kemudian berhubungan dengan sikap melawan, lalu juga berkembang menjadi petanda nasionalisme. Ketika Pramoedya Ananta Toer di tahun 1964 menyebut sejarah nama Indonesia dalam bahan kuliahnya, tentu ia sudah menjadi suatu kedaulatan, atau kuasa sebagai negara.

Nah, ini yang menarik.

Tahun 1931 J.Th. Petrus Blumberger menerbitkan bukunya berjudul "De Nationalistiche Beweging in Nederlandsch-Indie" (Gerakan Nasionalis di Hindia Belanda). Istilah “gerakan nasionalis” yang dimaksud Blumberger mencakup semua aliran pemikiran modern di kalangan penduduk asli Hindia Belanda. Disebut juga gerakan pribumi, seperti istilah yang juga digunakan oleh E.A.A. de Vreede dalam disertasinya tahun 1932 berjudul, “Het Nationalisme als Zedelijk Vraagstuk”.

Istilah ini, juga dipakai oleh Blumberger untuk menunjuk pada gerakan khusus yang didasarkan pada ideologi persatuan Nasionalisme Indonesia masa itu. Pada intinya, ia mau menunjuk pada apa yang disebutnya, 'kecenderungan nasionalis dari berbagai jenis dan besarnya.”

Iya, Blumberger memang membahas tentang gerakan nasionalis mulai awal abad ke-20 di Hindia Belanda yang ternyata memiliki macam-macam bentuk dan dasar ideologinya. Ada gerakan berbasis etnisitas, ideologi yang beragam, sosialis, komunis, nasionalis, Islam, juga Kristen di berbagai tempat, dan pula kepanduan. Penggeraknya baik laki-laki maupun perempuan, bahkan termasuk organisasi-organisasi perempuan di banyak tempat.  Islam ada macam-macam organisasi, yaitu Sarikat Islam, Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama, dan jangan pernah lupa, juga Ahmadiyah.

“Sentimen politik dalam 'ideologi-ideologi ini memungkinkan untuk terlibat dan bekerja sama di bidang sosial; sementara itu menciptakan masalah besar bagi kebijakan politik masa depan,” tulis Blumberger.

Semua yang bermacam-macam itu, dan bahkan ada di antara mereka yang saling bertolak belakang secara ideologis adalah ‘gerakan nasionalis’. Kalau demikian, apa itu nasionalisme?

Rupanya, dengan tidak perlu merujuk ke Renan, SR Steinmetz, Lothrop Stoddard, atau Gottfried Salomon, nama-nama yang disebut Blumberger itu, nasionalisme itu adalah tentang kesadaran pada bahaya kekuasaan yang menindas, yang semua menunjuk pada hal yang sama waktu itu, yaitu kolonialisme Belanda.

Nah, dari mana kesadaran itu. Kita boleh menafsir sejarah masa itu dari hari ini, dengan antara lain mengatakan, pertama-tama dari pengalaman diperlakukan tidak adil. Para korban ketidakadilan kolonialisme tidak individu per individu terutama. Sebab ada pula sesama kaum yang hidup senang dan mewah bersama penjajah, namun yang banyak dan mereka adalah ‘rakyat’ kebanyakan hidupnya sungguh tersiksa. Jadi, nasionalisme masa itu digerakkan oleh pengalaman kolektif, yaitu antara masing-masing kelompok saling berbagi kepedulian dan solidaritasnya yang kemudian mewujud menjadi kesadaran bersama.

Tapi juga energi nasionalisme itu diperoleh dari apa yang menjadi paradox dari semua kekuasaan yang hegemonik dan destruktif, yaitu ‘resistensi’ pada satu pihak, tapi pada pihak lain, ‘kreatifitas’ mengambil apa yang mulanya menjadi senjata kolonial, kemudian diolah sedemikian rupa dan jadilah ia senjata perlawanan. Kalangan intelektual memakai fasilitas kolonial untuk berpengetahuan, misalnya kesempatan studi ke Eropa yang justru dimanfaatkan untuk konsolidasi kekuatan pikiran.

Kesadaran dan pengetahuan itu adalah daya yang menggerakan. Maka, terorganisirlah massa yang besar untuk menyatakan penolakan terhadap eksistensi kolonial. Perlawanan rakyat yang digerakkan oleh macam-macam ideologi muncul di mana-mana. Entah itu sosialisme, komunisme, atapula paham keagamaan. Jadilah semua itu kekuatan besar dengan satu kode: Indonesia.

Jadi, nasionalisme Indonesia itu adalah: kesadaran yang muncul dari pengalaman dijajah, yang kemudian mewujud sebagai spiritualitas untuk bebas, lalu intelektualitas dalam bentuk pemikiran-pemikiran kritis, dan kemudian massa yang menuntut merdeka. Itulah yang mungkin boleh dikatakan sebagai struktur-struktur nasionalisme Indonesia, atau pula fondasi kebangsaan Indonesia.

Jadi, Indonesia itu pertama-tama adalah roh dari berbagai macam ideologi dan paham, dengan demikian ia mestinya adalah rumah pemikiran merdeka. Sehingga mestinya pula ia adalah rumah bersama bagi orang-orang yang ‘telah merdeka’ dan yang “ingin terus merdeka”. Atau dengan kata lain, Indonesia adalah rumah bagi orang-orang merdeka, maka dengan itu, kesadaran merdeka harus terus dipelihara setiap yang mengaku sebagai orang Indonesia.

Rumah besar ini hanya untuk orang-orang yang terus ingin hidup dalam kemerdekaan. Kemerdekaan yang pada masing-masing orang tidak boleh digunakan untuk menjajah yang lain. Sebab, musuh dari kemerdekaan adalah penjajahan. Dan, penjajahan itu adalah wujud dari pemikiran ekstrim yang menjadikan ‘yang lain’ yang beragam itu tunggal dan takluk pada ketunggalan itu. Sehingga, jika roh Indonesia, yaitu kebhinekaan atau kebermacam-macaman itu diberangus, sekalipun atas nama nasionalisme tafsir sepihak, maka berakhirlah sejarah “Indu-nesia” ini.  (Kuranga, 29 Oktober 2021, di hari ulang tahun KGPM ke-88, dan sehari setelah peringatan Sumpah Pemuda)

Thursday, October 14, 2021

171 tahun Sejarah ‘Penatua” dan “Diaken” di Tanah Minahasa

 Oleh Denni H.R. Pinontoan

 


Pengangkatan penatua dan diaken-diaken pertama dalam sejarah kekristenan di Minahasa terjadi tahun 1850. Zending J.G. Schwarz adalah yang melakukan pengangkatan itu untuk orang-orang Minahasa yang sudah Kristen di Kakas dan Remboken. Salah satu nama yang disebutkan telah diangkat sebagai penatua waktu itu adalah John Malonda.

Itu terjadi kurang lebih 30 tahun sejak kedatangannya pertama di Kakas, lalu Langowan bersama J.F. Riedel yang menetap di Tondano. Memang sejarah kekristenan Protestan di tanah Minahasa sudah sejak zaman VOC, namun kedua zendeling inilah yang boleh dikatakan berhasil mendekati orang-orang Minahasa di pegunungan untuk menerima agama itu.

“Penulong” pertama hasil dididikan sistem anak piara yang mereka perkenalkan adalah Silvanus Item dan Adrianus Angkouw. Namun, dengan diangkatnya para penatua dan diaken sebagai majelis jemaat oleh Schwarz ini boleh dikatakan sebagai tanda penerimaan kekristenan yang semakin mantap oleh orang-orang Minahasa.

Namun, lebih dari pada itu, dengan keberanian Schwarz melibatkan orang-orang Minahasa yang belum lama menjadi Kristen itu adalah sesuatu yang sungguh bermakna bagi mereka masa itu. Sebab, zendeling-zendeling lain yang dating menyusul Riedel dan Schawarz dan sudah menetap di beberapa tempat belum bisa menerima keterlibatan orang-orang Minahasa untuk menduduki jabatan gerejawi. Semua berpusat pada zendeling, dan pada hal-hal tertentu dilakukan bersama para ‘penulong’.

Jadi, boleh dikatakan sejarah kemajelisan gerejawi di Tanah Minahasa jika dihitung dari tahun 2021 ini sudah berusia 171 tahun. Mungkin juga dapat dikatakan, sudah selama itupula kekristenan bukan lagi barang asing di tanah ini. Ia telah menjadi bagian dari kebudayaan Minahasa, yang setelah tahun 1850 itu semakin banyak yang menjadi “penulong”, guru-guru, baik di sekolah-sekolah maupun guru-guru Injil. Pada akhir abad ke-19 bahkan ada yang sudah menjadi “utusan” di Tanah Karo.

Kini, tradisi kekristenan para zendeling itu dilanjutkan oleh GMIM, juga KGPM. Jemaat-jemaat GMIM terutama berdiri di hampir semua wanua atau ro’ong se-tanah Minahasa. Terdepan dalam pelayanan GMIM adalah para penatua dan diaken (sebelumnya disebut syamas). Jemaat-jemaat ini tidak hanya sebatas institusi keagamaan, namun juga institusi sosial, politik dan bagian dari dinamika kebudayaan setiap wanua/ro’ong.

Dengan demikian, kedudukan para penatua dan diaken juga bukan sebatas jabatan gerejawi, melainkan juga jabatan sosial, dan bagian dari politik dan budaya komunitas kultural Minahasa. Contoh, pada acara kematian, kita lihat yang sibuk di rumah duka adalah, selain kepala jaga dan meweteng, namun juga penatua dan diaken, terutama jika yang meninggal adalah warga GMIM. Kerena di Minahasa, kematian seseorang adalah peristiwa komunitas, maka peran penatua dan diaken di situ adalah bagian dari keterlibatan pada komunitas setempat.

Demikianlah sehingga setiap perhelatan pemilihan penatua dan diaken GMIM seolah-olah juga adalah suatu pesta demokrasi orang-orang Minahasa. Apalagi, mekanisme elektroral macam ini juga berlaku pada pemilihan pemimpin wanua atau ro’ong, yaitu hukum tua. Artinya, keberadaan GMIM yang paling jelas direpresentasi oleh penatuan dan diaken, mestilah dikatakan selain sudah tentu berdimensi kerohanian, namun yang paling utama di masyarakat ia adalah kultural.  

 

 

  

 

 

Thursday, September 9, 2021

Ada Karena Kata



Salah satu dari kegiatan berekonomi itu adalah memberi harga pada apa yang mulanya tidak memiliki harga atau tidak dapat diberi harga. Bagian dari proses itu adalah mengubah sesuatu menjadi sangat berbeda dari apa yang ada pada dirinya.

Ini terjadinya pada proses meyakinkan konsumen dengan kata, bahasa, wacana. Sebuah proses membalikkan dan membelokkan hakekat dari sesuatu. Apapun itu.
Contoh jarum tangan. Ia dibuat dari logam jenis tertentu. Logam berasal dari bahan-bahan mineral alam. Mulanya ia tidak memiliki nilai harga. Tapi ketika ditambang, diolah menjadi perangkat-perangkat, salah satunya jarum tangan maka ia segera memiliki nilai harga.
Pada dirinya jarum tangan adalah alat bantu untuk menjahit secara manual. Harganya tak seberapa. Tapi oleh kreatifitas ekonomi, jarum kemudian dapat dipisahkan dari fungsi praktisnya. Salah satunya dapat dibuat menjadi nama, kode, merek sebuah produk. Rokok "djarum" misalnya.
Jarum di sini adalah rokok, bukan alat jahit lagi. Nilainya sudah berubah, bentuknya dan fungsinya. Lalu, nama ini dipakai lagi bukan untuk dan tentang rokok, dia menjadi nama yayasan misalnya. Fungsinya tidak lagi rokok pada dirinya, apalagi jarum untuk menjahit.
Sama halnya dengan merek rokok "gudang garam", ia bukan lagi tentang sebuah tempat menyimpan garam, melainkan telah menjadi rokok. "Dji Sam Soe", bukan lagi angka, melainkan rokok. Dlsb.
Maka, jadilah perokok tidak hanya mengkonsumsi produk rokok, tapi juga nama, kode, merek yang tidak lagi tentang dirinya.
Begitupulah dengan minuman alkohol khas Minahasa, "tjap tikoes". Ini sudah berlapis-lapis pula. "Cap", merek, dan "tikus", binatang penggerat. Ada produk mereknya "tjap gadjah". Jadilah orang mengkonsumsi merek di atas merek. Sebab orang tidak makan tikus apalagi gajah, tapi sebuah produk yang sungguh sudah sangat lain sekali.
Begitu juga dengan keberadaan diri setiap orang. Setiap subjek berusaha mengubah dirinya untuk mendapatkan "harga diri" yang berlipat-lipatdengan menempelkan macam-macam tempelen. Hingga pada akhirnya si subjek itu tak lagi dapat mengenal dirinya sendiri.
Subjek-subjek demikianlah yang membentuk masyarakat, hidup di dalamnya dan dibentuk oleh masyarakat itu. Jadilah masyarakat kita sebagai kumpulan dari orang-orang yang memiliki identitas berlapis-lapis karena reproduksi diri berulang-ulang.
Pada hal produk yang direproduksi berulang-ulang, konsumen sebetulnya tidak mengkonsumsi apa-apa, selain kata dan bahasa. Pada masyarakat produk sejarah reproduksi identitas, sesungguhnya ia hanyalah wacana. Penguasa masyarakat adalah mereka yang memegang kuasa dan kendali wacana. (dennipinontoan, 09/09/2019)

Thursday, July 22, 2021

Gedung Gereja Tua GMIM ‘Sion’ Sendangan dalam Memori


 


SEBUAH buku cukup tebal, tidak bersampul muka dan belakang. Halaman dalam sampul, keterangan penulis dan daftar isi sudah hilang. Saya lupa buku itu saya peroleh dari siapa atau di mana. Buku stensilan ini berisi tentang sejarah kekristenan di Minahasa. Di bagian halaman belakang tercetak foto gereja-gereja GMIM di tahun 1980.

Dua foto hitam putih di bagian itu adalah gedung gereja tua GMIM Sion Sendangan, Kawangkoan. Keterangan di bagian bawah foto pertama menyebutkan “Gereja GMIM ‘Sion’ Kawangkoan menjelang selesai dipugar.” Bagian tanda kurung tertulis sumber foto dan tanggal pengambilan: “Lensa: hl. 27 Juni 1980”.

Ya, pemugaran, mungkin maksudnya merenovasi bagian-bagian yang rusak, pengecatan, dll. Sebab keterangan pada foto kedua disebutkan: “Gereja GMIM ‘Sion’ Jemaat Kawangkoan Dati II Minahasa, nampak kesibukan Jemaat dan Pimpinannya sedang melakukan pemugaran Gerejanya dalam menyambut Sidang Raya DGI IX 1980. 

Melihat foto itu, ingatan saya dengan segera kembali ke tahun 1980an awal. Saya dibaptis di gedung gereja itu, dan bersekolah di SD GMIM I, samping gedung gereja itu.

Sudah lama saya mencari foto gedung gereja tua ini. Gedung gereja yang tiang-tiang, lantai, dinding dan bagian lainnya semuanya terbuat dari kayu. Lampu hias gantungnya sangat indah. Setiap beribadah di gedung gereja ini, terasa sekali nuansanya.

Saya sudah tidak ingat persis kapan gedung gereja ini diganti dengan gedung gereja seperti yang ada sekarang. Mungkin pertengahan tahun 1980an, waktu itu saya sudah bersekolah di SD GMIM I, di sampignya. Di belakang gedung gereja itu, SMEA Kristen. Kalau kita berdiri pas di pintu gedung gereja menghadap arah jalan raya, di samping kirinya adalah pastori, di samping kanan agak sedikit ke depan semacam balai, tempat kami murid-murid bermain bulu tangkis. 

Dua foto di buku itu saya foto lagi pakai kamera yang tersedia di smartphone. Lalu diposting di Grup FB Kawangkoan. Tidak beberapa lama kemudian, mulai ada orang yang memberi tanda like. Kemudian memberi komentar. Dan tak hitung berapa jam sudah ada ratusan yang menyukai postingan itu. Komenter terus berbalas-balasan. Rata-rata menyampaikan kenangannya tentang gedung gereja tua itu. Ada yang mengatakan, di gedung itu dia dibaptis tahun 1948. Lalu yang lain menyebut peneguhan sidinya di gedung gereja itu tahun 1960an, 1970an, dan berhenti di tahun 1980an awal. 

Beberapa orang bahkan membagikan foto koleksi pribadinya berfoto di depan gedung gereja dengan keterangan menyebut orang-orang di foto itu. Ada pula yang hanya menulis komentar menyampaikan tentang peran gedung gereja itu dalam pembentukan kerohaniannya.

Saya punya hubungan historis dan kultural dengan Kawangkoan. Leluhur saya, Pinontoan, Tumbelaka, Rondonuwu, Lolowang berasal dari Kawangkoan. Jadi ketika membaca komentar-komentar di postingan gedung gereja tua Sion Kawangkoan, yang berkedudukan di Kel. Sendangan, saya seperti dibawa kembali ke kultur yang dekat dengan saya itu.

Dari komentar-komentar itu – yang ketika catatan ini ditulis masih berlanjut - saya mendapat suatu pengertian betapa pentingnya suatu ‘gedung tua’ bagi generasi yang pernah menjadi bagian darinya. Meski kini ia hadir tinggal dalam bentuk foto atau gambar namun dapat mengorek memori orang-orang tentang kehidupannya, dan kemudian merefleksikan ingatan itu menjadi sebuah makna. Mungkin, di masa yang mereka kenang itu, ketika gedung gereja itu masih berdiri, mereka masih melihat dan mengada bersamanya, makna-makna itu belum dapat dikonstruksi seperti sekarang. Dan, itu ternyata menjadi berbeda ketika hanya melihat foto yang hadir secara digital, di masa kini. Refleksi dan makna-makna muncul secara spontan.

Seorang berkata begini: “Bagus foto ini mengingatkan kpd siapapun yg hidup di era milenial bhw sprti foto itulah gmim sion yg dulu.

Om Jan Arie Supit mengatakan: “Gereja tua ini menjadi tempat menimba Iman dn Ilmu bagi umat yg setia mendengar Kukua Ure o Kukua Weru. Sungguh mulia karya Guru jumaat para guru SR Gmim di lokasi ini. Banyak anggota jemaat yg menjadi org berhasil dilap. Pekerjaan dimanapun dia berada. Luar biasa pekerjaan Roh Kudus bagi org Kaweka.”

Teman saya masa kanak-kanak, Lany Tumewu menulis begini: “Sejarah byk mencatat kisah ttg Gereja tua ini,, walaupun tinggal kenangan tapi gereja tua ini menorehkan tinta emas kpd generasi sekarang ini sebagai generasi pejuang iman ntk terus bersaksi ttng kehadiran dan pekerjaan roh kudus bagi Jemaat. Sehingga Jemaat GMIM SION Sendangan semakin bertumbuh, berbuah dan menjadi berkat. Salam baku dapa torang disini,, angko qta pe teman bermain masih sekolah minggu.”

 

***

Gedung gereja tua “Sion”, Sendangan, Kawangkoan adalah ‘situs’ memori sejarah, budaya dan tentu religiusitas. Saya menggunakan kata ‘situs’ di sini tidak dalam pengertian umum di negara ini. Bahwa, yang disebut ‘situs’, seolah-olah menunjuk pada sesuatu yang sudah ‘berlalu’ dan ‘tidak berfaedah untuk hari ini’. Hampir sama dengan pengertian umum tentang kata ‘artefak’ dalam kamus Indonesia.  

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata ‘situs’ sebagai “Daerah temuan benda-benda purbakala; “Tempat pada suatu papan yang dapat atau tidak dapat dilubangi.”

Padahal, dalam pengertian ‘situs’ asalinya bukan pertama-tama tentang sesuatu yang sudah berlalu. Kata ‘situs’ dari kata Latin ‘situs’ yang berarti "tempat atau posisi yang ditempati oleh sesuatu," terutama yang berkaitan dengan lingkungan.  

Jadi, ‘situs’ adalah apa yang menjadi tempat atau ruang kita hidup, entah dulu, sekarang atau sementara. ‘Situs’ adalah ruang hidup kita pada berbagai halnya. ‘Situs’ adalah rumah kita secara sejarah, budaya dan religius.

Itu mirip ketika kita mengirim pesan kepada teman yang hendak pesiar ke rumah kita menggunakan tanda digital (Whatsapp), yang dalam bahasa digitanya disebut share location. Tanda di peta digital yang menjadi petunjuk di gadget teman, saudara atau siapapun yang hendak ke rumah kita menunjuk pada ‘situs’ kehidupan kita. ‘Situs’ adalah tempat di mana kita tinggal dalam segala hal.

Gedung gereja tua GMIM “Sion” Kawangkoan di Facebook itu adalah ‘situs’, yang mengantar siapapun orang yang pernah menjadi bagian darinya kembali ke ‘rumahnya’. Gedung gereja tua itu dalam foto bukanlah ‘artefak’ seperti dalam pengertian para peneliti cagar budaya. Ia adalah ruang hidup. Sebab, kehidupan itu bukan hanya ‘sekarang ini’, namun juga ‘masa lalu’ dalam sejarah, dan ‘masa depan’ dalam semangat untuk melanjutkan kehidupan.

 

***

Kekristenan di Kawangkoan, kira-kira sudah di mulai tidak lama setelah kedatangan J.G. Shwarz dan J.F. Riedel tahun 1831. Beberapa orang sudah dibaptis masa itu. Dalam Algemeen Verslag Van Den Staat Van Het Sghoolwezer In Nederlandsch-Indie yang terbit tahun 1855 menyebutkan, di Kawangkoan telah terdapat sebuah sekolah dasar milik zending. Jumlah total muridnya 200 orang. Terdiri dari 150 murid laki-laki dan 50 murid perempuan. Gedung gereja pasti sudah ada, dan biasanya masih darurat. Gedung gereja biasanya mengalami perubahan seiring bertambahnya orang Kristen yang dibaptis.

Kawangkoan adalah bagian dari wilayah pelayanan zendeling J.G. Schwars. Bersama istrinya Femetje Constant yang fasih berbahasa Tontemboan, Schwarz sering sekali mengunjungi orang-orang Kristen awal di sana. Kelak ia adalah bagian dari klasis Sonder.

Tahun 1907, populasi di Kawangkoan berjumlah 4000 jiwa. Pada tahun itu, seperti tercatat dalam Mededeelingemededeelingen Van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap terbitan tahun Orang-orang Kristen di sini sementara mengumpulkan kayu untuk membangun gedung gereja seluas  25 X 15 X 6 meter kubik. Semua kayu dibeli dengan harga 2000 gulden. Jemaat telah menyimpan/menabung uang sebanyak 3600 gulden, yang sebagiannya untuk mengongkosi pembangunan gedung gereja. Disebutkan waktu itu, gedung gereja akan akan selesai dibangun akhir tahun 1908.

Dugaan saya, gedung gereja tua di foto itu adalah gedung gereja yang dibangun tahun 1907 itu. Loncengnya yang bertahun 1865 sudah digunakan pada gedung gereja sebelumnya.

Jika gedung gereja ini benar selesai dibangun tahun 1908, maka kira-kira sudah empat generasi orang Kristen Kawangkoan (Jemaat Protestan Minahasa lalu sejak tahun 1934 menjadi GMIM) yang bergereja di sana sampai ia dibongkar dan diganti dengan gedung gereja seperti sekarang pada pertengahan tahun 1980-an.

Dalam tulisan di majalah NZG tahun 1907 itu disebutkan, bahwa gedung gereja itu “akan menjadi rumah Tuhan yang anggun dan bermartabat.”

Kami generasi kelahiran tahun 1970an dan kelahiran tahun 1980an awal, adalah generasi terakhir yang melihat langsung gedung gereja itu.

Gedung gereja tua GMIM Sion, Sendangan, Kawangkoan telah menjadi bagian penting perkembangan kekristenan di sana. Namun, lebih dari itu ia juga telah ikut membentuk kultur orang-orang Kawangkoan dalam banyak hal. Sebab, gedung gereja tua it kemudian ternyata bukan hanya tentang fisik gedung melainkan juga ‘rumah’ bagi orang-orang Kristen di sana yang telah membentuk sejarah, budaya, sosial, dan banyak aspek lainnya. (***dennipinontoan)

Monday, July 19, 2021

Kultur Kelelondey, Langowan di Era Budaya Digital



TAHUN 1831, seorang berkebangsaan Jerman, zendeling pada NZG, badan misi yang berpusat di Rotterdam, Johann Gotlieb Schwarz tiba di Manado. Kira-kira baru 10 hari kemudian, dia dan kawannya pasangan Johann Frederik Riedel-Maria Williams, diantar oleh Gerrit Jan Hellendoorn, predikant di Manado, dan Residen Manado menuju ke pegunungan Minahasa. Schwarz rencananya akan menetap di Langowan, Riedel dan istrinya Maria Williams di Tondano.

Tapi, Schwarz tidak langsung tinggal di Langowan. Dia harus kembali lagi ke Manado. Sebab, Schwarz mesti ke Batavia dan Singapura untuk mengambil bantuan, antara lain buku cetak dan peralatan yang nantinya akan digunakan di sekolah yang rencananya segera didirikan.

Buku cetak. Ya, itu teknologi mutakhir waktu itu untuk pendidikan. Ia tentu berkaitan dengan penemuan mesin cetak oleh Johannes Guttenberg pada abab ke-15 di Jerman. Mesin cetak, untuk pertama kali didatangkan ke Minahasa beberapa tahun setelah kedatangan Schwarz dan Riedel. Seorang zendeling NZG yang lain, J.A. Mattern diutus untuk mengurus mesin cetak yang dibawa ke Tomohon bersamaan dengan kedatangannya.

Buku cetak, mesin cetak, teknologi mutakhir di Eropa pada abad itu. Buku cetak dengan tulisan huruf Latin sudah ada di Langowan 190 tahun lalu itu. Bisa dibayangkan bagaimana orang-orang Langowan atau Minahasa pada umumnya di masa itu, mungkin dimulai dengan suatu keheranan, lalu setelah itu menjadi bagian dari generasinya berpengetahuan.

Itulah sehingga awal abad ke-20, di Nusantara ini Minahasalah yang tingkat melek hurufnya paling tinggi. Mieke Schouten menyebut kemampuan leluhur Minahasa di masa itu mentransformasi pendidikan para zendeling yang kemudian menjadi kekuatan bagi kaumnya menyatakan sikap terhadap kolonialisme sebagai ‘senjata literasi’.

 

***





Tahun 2021. Langowan, tepatnya di desa Walewangko, di sebuah rumah yang kurang lebih berjarak 1 km dari Gedung Gereja GMIM Sentrum yang di depannya berdiri patung Schwarz, sekelompok orang muda sedang serius mengikuti Sekolah Media Digital yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT). Selama tiga hari (16-18 Juli) mreka belajar tentang riset, advokasi dan teknik membuat video pendek.

Kegiatan ini tentang bagaimana memanfaatkan teknologi termutakhir di abad ini untuk berkebudayaan: literasi digital.

Nama kegiatannya Sekolah, tapi bukan sekolah formal. Model sekolah yang sangat berbeda dengan sekolah ala zendeling abad ke-19 itu.

Kata 'sekolah' sengaja digunakan untuk makna sesungguhnya sekolah itu. Sekolah dari kata Latin 'schola' yang berarti 'istirahat dari kerja' atau 'waktu luang untuk belajar'. Dalam bahasa Yunani ' ditulis 'skhole', yang artinya "waktu luang, waktu istirahat" yang digunakan untuk berpengetahuan.

Ya, inilah sekolah untuk memanfaatkan waktu luang atau belajar dalam suasana tidak formal, tidak kaku dan tidak struktural. Fasilitator sekolah ini Kalfein Wuisan, Filo Karundeng dan Rikson Karundeng. Saya sendiri membagikan materi tentang riset media di awal kegiatan.

Bung Donny Rumagit merelakan rumahnya menjadi tempat belajar selama tiga hari. Istri dan anak-anaknya tampak senang sekali rumah mereka jadi tempat belajar.

Bung Donny Rumagit dalam banyak tulisannya suka memperkenalkan dirinya dengan nama Om Tani. Pas dengan apa yang dia geluti beberapa tahun terakhir ini, bertani (juga beternak). Tapi sebagai seorang mantan wartawan Om Tani ini suka menuliskan pemikiran-pemikiran kritisnya baik di media sosial maupun media online.

Waktu mahasiswa di Fakultas Pertanian, Unsrat, Bung Donny adalah wartawan di majalah Inovasi terbitan lembaga Pers Mahasiswa. Sebuah laporannya di majalah itu yang terbit tahun 1999 berjudul “Jejak-jejak Berdarah”. Setelah menyelesaikan kuliah, ia menjadi wartawan di beberapa surat kabar. 


Oh, iya Om Tani ini juga dikenal tokoh pemuda gereja yang kritis. Tidak cuma itu, kini Om Tani adalah Ketua Bawaslu Kab. Minahasa. Dan, dialah Om Tani yang memang bergelar Sarjana Pertanian. Komplit sudah, wartawan, sarjana, aktivis, petani, penyelenggara Pemilu.

Itulah sehingga Om Tani ini banyak kali memimpin demo massa petani dan peternak menuntut keadilan kepada para penentu kebijakan. Beberapa waktu terakhir ini dia ikut mengadvokasi para petani di Kelelondey yang lahannya diklaim oleh TNI.

Jadi, pas sekali sekolah media digital ini dilaksanakan di rumah keluarga bung Donny.



Hari terakhir sekolah media digital tempatnya pindah ke kebun miliknya. Marintek nama kebun itu. Kali ini yang hadir lebih banyak. Ada dua sesi kegiatan di sini: Launching tiga film pendek karya peserta sekolah digital dan diskusi bertajuk "Digital Culture dalam Diskurus Kebudayaan Minahasa".

“Sesuatu yang luar biasa, bahwa sore hari ini kita berdiskusi tentang budaya digital di kebun. Begitulah orang-orang Minahasa sejak zaman leluhur. Terbuka dengan teknologi mutakhir namun tetap menyatu dengan sumber kehidupannya,” ujar Greenhill sebagai pemantik diskusi itu.

Kalfein Wuisan, koordinator divisi publikasi PUKKAT yang juga pendiri dan penggerak Smartphone Movement, telah mendesain dan mengkoordinir pelaksanaan ini secara baik. Dia dan Filo telah mendampingi para peserta sampai memproduksi film pendek.




***


Jika 190 tahun lalu misionaris Eropa yang datang memperkenalkan teknologi buku cetak dan literasi kepada orang-orang Langowan (dan sekitarnya), di Langowan itu pula hari ini para generasi milenial Minahasa belajar bersama bagaimana memanfaatkan teknologi digital untuk menyampaikan pesan kehidupan kepada masyarakat dunia.

Tiga film pendek karya peserta sekolah media digital semuanya bercerita tentang kisah para petani di lahan perkebunan Kelelondey.

Nama perkebunan ini diambil dari kata "kele", artinya "sama seperti"; dan "londei" yang artinya "perahu". Jadi "Kelelondey" artinya "sama seperti perahu’. Begitulah orang-orang Langowan menyebut bentuk bentang lahannya.

Di lahan perkebunan itu para petani menanam beberapa jenis tanaman hortikultura. Tanahnya subur berkat abu vulkanik dari letusan gunung Soputan.

Dari cerita para petani di tiga film itu, saya memperoleh suatu pemahaman, bahwa rupanya telah terbentuk kultur Kelelondey yang di dalamnya tentang sejarah, ekonomi, sosial dan banyak hal dalam kehidupan masyarakat di sana. Kultur bertani di Kelelondey adalah tentang kehidupan yang mesti berlanjut.

“Kelelondey adalah sumber kehidupan bagi kami,” kata seorang petani di salah satu film. (**)

 

 

Thursday, July 8, 2021

Ambtenaar dari Batavia

 Ambtenaar dari Batavia

Medio Juni 2021: Seorang ambtenaar dari Batavia, ya Jakarta itu, datang ke daerah koloni, Tanah Minahasa. Salam selamat datang disambutnya sekadar. Tak ada basa-basi - yang sebenarnya, pun seorang yang mulia Gubernur Jenderal perlu melakukan itu - si pegawai hamba birokrasi ini langsung interogasi ini dan itu. Khas seorang dari pusat kekuasaan. Ya, dia datang memang sebagai verifikator.
Lalu, orang Minahasa yang biasa menjamu siapapun dengan makan dan minum, pun kepada dia atau mereka kompeni yang bermaksud menjarah tanah. Belum apa-apa, yang dimintanya lebih dulu adalah ‘tanda’, bahwa dia sudah datang menjalankan tugas, dan itu berarti duit - Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) - Si 'jongos' birokrasi itu yang dibayar oleh uang rakyat.
Lalu, si ambtenaar yang saya pastikan belum pernah membaca 'Max Havelaar"-nya Multatuli, juga Indonesia in den Pacific; Kernproblemen van den Azialistischen-nya Sam Ratu Langie, apalagi sejarah petisi A.L. Waworuntu kepada sang tuan Gubernur Jenderal di Batavia itu – bicara tentang konon pemerintah di Batavia yang lagi memberi perhatian besar terhadap ‘Timur”. Kata si ambtenaar itu, sekarang ini banyak program dan dana yang diarahkan ke Indonesia Timur.
Ah, sungguh romantis. Eh, bukan, maksud saya, sungguh berbau orde baru. Ah, bukan juga itu! Ini malah khas Indonesia, Majapahit modern! Inilah, mungkin produk dari generasi keturuan P4 dengan wawasan nusantara yang diajarkan dengan cara indoktrinasi. Dan, sangat kebetulan sekali, ini sangat berbau kolonial, ya dalam wacana dikotomi ‘Barat’ yang agung dan ‘Timur’ yang kerdil. Ya, wacana modernisme yang dikotomis dan biner, bahwa semua pencerahan, pengetahuan dan harapan kesejahteraan datangnya dari ‘Barat’. Padahal, matahari terbit di Timur.
Lalu, apa itu ‘nasional’ atau malah ‘nasionalisme’ Indonesia jika kopra dari sini, lalu APBN-nya dari sana? Jangan-jangan ‘nasional’ – yang semuanya harus nasional itu: bahasa nasional, busana nasional, pahlawan nasional, dslb – sebenarnya bentuk lain dari hegemoni ‘kesatuan’? Termasuk, yang disebut ‘musuh’ itu, dulu namanya ‘bahaya laten’ mesti dinasionalisasikan agar secara wacana muncul seolah ada musuh yang sama.
Apakah kita punya musuh yang sama? Apakah ada satu bahaya laten untuk semua? Ya, ideologi ‘kesatuan’ mesti ada ‘satu yang tunggal’, meskipun itu entah apa? Supaya peta nusantara ini semuanya menjadi satu yang tunggal. Keragaman mesti disatukan dalam ‘kesatuan’: terpusat, terkontrol dan terseragam.

Kaki Lokon, 17 Juni 2021

Tuesday, February 9, 2021

Darah, Leluhur dan Identitas

 

Tahukah anda warisan genetis apa yang mengalir dalam darah penyanyi asal Papua, Edo Kondologit? Menyimak hasil tes DNAnya, mungkin kita semua akan terkejut.

Hasil tes DNA Edo oleh Lembaga Eijkman menemukan bahwa ada gen Taiwan pada darah yang mengalir dalam tubuhnya.  

Lalu bagaimana dengan Najwa Shihab? Dirinya sendiri terkejut, dan mungkin juga kita, gen Arab pada dirinya hanya 3,4 persen. Najwa Shihab memiliki 10 fragmen DNA dari 10 leluhur berbeda. DNA-nya didominasi gen South Asian dengan jumlah 48,54 persen. (selengkapnya anda dapat membaca hasil tes DNA untuk sejumlah tokoh publik ini di situs kompas.com dan Historia.id.)

Bagi saya orang awam untuk studi genetis, pastilah akan terkejut dengan dua tokoh tadi. Edo berkulit hitam, tapi memiliki gen Taiwan. Najwa Shihab yang mengaku pernah diolok ‘onta’, justru memiliki kadar gen Arab yang minim.

Intinya, dua orang ini memiliki warisan gen yang beragam. Mengapa? Para ahli genetis menjawab bahwa leluhur kedua tokoh itu,  yang dapat dilacak melalui DNA telah melalui proses migrasi, perjumpaan, persilangan dengan banyak leluhur yang lain. Begitulah, karena apa yang kemudian menjadi negara Indonesia ini adalah tempat tujuan dari banyak kelompok imigran leluhur, maka TIDAK ADA YANG ASLI di sini.

Demikianlah dengan diri kita masing-masing Tou Minahasa. Siapa yang pernah tahu, setelah orang tua kita, opa-oma kita, hingga orang tua dari buyut, orang tua dari orang tua buyut kita, dan seterusnya: para leluhur kita yang hidup di masa sangat lampau dalam proses imigrasinya telah melakukan persilangan darah (kawin-mawin) dengan kelompok-kelompok leluhur yang lain.

Para ahli studi genetis berpendapat bahwa data genetik DNA tidak pernah berubah. Ia tersimpan/terdokumentasi secara alamiah di dalam darah setiap individu. Tapi, kebudayaan manusia selalu berubah. Bahasa misalnya. Studi tentang asal usul, juga dapat dilakukan dengan pendekatan studi bahasa. Bahasa itu sangat beragam.  

Prof Herawati Sudoyo, PhD, periset Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, dalam suatu seminar tahun 2016 menegaskan, “secara riset genetik, termasuk kolaborasi dengan peneliti di dunia, asal-usul manusia di Bumi diketahui berasal dari Afrika, yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, melalui daratan China hingga menuju Australia.” (News.detik.com, 16/10/2016).

Studi genetis yang dilakukan di Indonesia waktu lalu dengan melibatkan tokoh-tokoh publik, termasuk para aktor dan aktris itu, sepertinya salah satunya dimaksudkan untuk merespon wacana bias yang berkembang dalam masyarakat kita soal ‘pribumi’ dan ‘non-pribumi’ itu.

Wacana itu tentu sangat kental bernuansa politik. Ini sudah muncul sejak zaman kolonial. Wacana kolonial membeda-bedakan warga negara secara ras: Eropa, Indo-Eropa, China, Arab, lalu struktur paling bawah adalah ‘pribumi’ atau ‘Inlanders”.

Studi genetis ingin menampik ini. Tapi, sebagaimana wacana kolonial yang rasis itu adalah politis, demikian juga dengan wacana kini. Pertama karena adanya paham yang rasis, tapi kedua, ini yang mendasar bahwa konsep warga negara di negara-negara modern, memang mengkonstruksi wacana itu demi tujuan politis pula, yaitu muncul dalam bahasa hukum negara yang modern, yaitu “Warga Negara Asli” dan “Warga Negara Asing”.

Ini sesuatu yang tak terhindarkan, sebab memang demikian, syarat adanya sebuah negara sangat berkaitan dengan ‘kewarganegaraan’. Ini seolah-olah netral-netral saja. Tapi, sesungguhnya, konsep ini melanjutkan wacana kolonial pula, yang dikotomis, dan sering sekali diskriminatif. Di zaman pemerintahan kolonial juga mengenal kewarganegaraan, yaitu warga negara kolonial. Dalam konteks kolonialisme, untuk penguasaan/penaklukan, maka politik populasi yang dilandasi oleh ideologi yang rasis juga mesti mengkonstruksi stratifikasi warga negara.

Dalam konteks Indonesia modern ini, wacana ‘pribumi’ dan ‘non pribumi’ memang tidak relevan, tapi bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan dengan politik identitas, ini menurut mereka adalah cara paling jitu untuk menyingkirkan yang lain. Namun, sebetulnya memang buku-buku pelajaran sejarah dan geografi mulai dari SD dan SMA di negara ini juga mengajarkan adanya ‘yang asli’ dan ‘yang pendatang’ meskipun dibahasakan seolah-olah ilmiah.   

Nah, problem ini tidak menjadi urusan studi-studi genetis yang melacak warisan-warisan genetis melalui DNA individu-individu. Studi genetis ini, sebagai studi-studi eksak lainnya sesungguhnya terasa kering. Studi ini tidak berurusan dengan pertanyaan, “Mengapa orang-orang secara bangga mengidentifikasi diri secara kultural sebagai Minahasa, Batak, Jawa, Toraja, Bugis, Sangihe, Talaud, Papua, Tionghoa, Arab, dlsb?” Padahal, ini adalah soal yang faktual dalam konteks Indonesia.

Permasalahan di seputar konstruksi identitas ini tak dapat dijawab dengan teori bahwa semua bangsa yang ada di Indonesia leluhurnya semua adalah pendatang. Mereka adalah imigran-imigran primodial yang di masa puluhan ribu tahun lalu dari Afrika, menyebar melalui daratan China ke Australia lalu datang ke kepulauan Indonesia.

Sebabnya adalah, konstruksi identitas itu tidak pertama-tama berdasarkan hubungan genetis, dan itu justru dibuktikan oleh studi genetis tadi, bahwa antara dua orang yang misalnya mengidentifikasi diri secara kultural sebagai Minahasa, ternyata bisa saja berdasarkan data genetiknya menunjukkan bahwa asal leluhur primordial mereka tidak sama. Artinya, isu identitas di era modern ini tidak pertama-tama karena ‘darah’.

Tapi, Minahasa, Batak, Jawa, dlsb sebagai identitas kaum adalah faktual. Apa yang membuat identitas-identitas etnis  ini faktual dan tetap penting? Bukan pertama-tama darah. Bukan pertama-tama karena dari dulu orang Minahasa, misalnya sudah punya warisan pusaka ‘darah yang menjadi bukti bahwa Lumimuut dan Toar itu adalah cucu penguasa di sana atau di situ, melainkan pertama-tama karena ada narasi bersama yang terus dipercayai, diinterpretasi dan direkonstruksi makna-maknanya.  Narasi itu melampaui yang historis dan yang fiksi.  Itu adalah mite, cerita suci Lumimuut-Toar-Karema. (dennipinontoan, 13.11.2020)