SEBUAH buku cukup tebal, tidak bersampul muka dan belakang. Halaman
dalam sampul, keterangan penulis dan daftar isi sudah hilang. Saya lupa buku
itu saya peroleh dari siapa atau di mana. Buku stensilan ini berisi tentang
sejarah kekristenan di Minahasa. Di bagian halaman belakang tercetak foto
gereja-gereja GMIM di tahun 1980.
Dua foto hitam putih di bagian itu adalah gedung gereja tua GMIM Sion
Sendangan, Kawangkoan. Keterangan di bagian bawah foto pertama menyebutkan
“Gereja GMIM ‘Sion’ Kawangkoan menjelang selesai dipugar.” Bagian tanda kurung
tertulis sumber foto dan tanggal pengambilan: “Lensa: hl. 27 Juni 1980”.
Ya, pemugaran, mungkin maksudnya merenovasi bagian-bagian yang rusak,
pengecatan, dll. Sebab keterangan pada foto kedua disebutkan: “Gereja GMIM ‘Sion’
Jemaat Kawangkoan Dati II Minahasa, nampak kesibukan Jemaat dan Pimpinannya
sedang melakukan pemugaran Gerejanya dalam menyambut Sidang Raya DGI IX
1980.
Melihat foto itu, ingatan saya dengan segera kembali ke tahun 1980an
awal. Saya dibaptis di gedung gereja itu, dan bersekolah di SD GMIM I, samping
gedung gereja itu.
Sudah lama saya mencari foto gedung gereja tua ini. Gedung gereja yang
tiang-tiang, lantai, dinding dan bagian lainnya semuanya terbuat dari kayu.
Lampu hias gantungnya sangat indah. Setiap beribadah di gedung gereja ini,
terasa sekali nuansanya.
Saya sudah tidak ingat persis kapan gedung gereja ini diganti dengan
gedung gereja seperti yang ada sekarang. Mungkin pertengahan tahun 1980an,
waktu itu saya sudah bersekolah di SD GMIM I, di sampignya. Di belakang gedung
gereja itu, SMEA Kristen. Kalau kita berdiri pas di pintu gedung gereja
menghadap arah jalan raya, di samping kirinya adalah pastori, di samping kanan
agak sedikit ke depan semacam balai, tempat kami murid-murid bermain bulu
tangkis.
Dua foto di buku itu saya foto lagi pakai kamera yang tersedia di smartphone. Lalu diposting di Grup FB
Kawangkoan. Tidak beberapa lama kemudian, mulai ada orang yang memberi tanda like. Kemudian memberi komentar. Dan tak
hitung berapa jam sudah ada ratusan yang menyukai postingan itu. Komenter terus berbalas-balasan.
Rata-rata menyampaikan kenangannya tentang gedung gereja tua itu. Ada yang mengatakan,
di gedung itu dia dibaptis tahun 1948. Lalu yang lain menyebut peneguhan
sidinya di gedung gereja itu tahun 1960an, 1970an, dan berhenti di tahun 1980an
awal.
Beberapa orang bahkan membagikan foto koleksi pribadinya berfoto di
depan gedung gereja dengan keterangan menyebut orang-orang di foto itu. Ada
pula yang hanya menulis komentar menyampaikan tentang peran gedung gereja itu
dalam pembentukan kerohaniannya.
Saya punya hubungan historis dan kultural dengan Kawangkoan. Leluhur
saya, Pinontoan, Tumbelaka, Rondonuwu, Lolowang berasal dari Kawangkoan. Jadi
ketika membaca komentar-komentar di postingan gedung gereja tua Sion
Kawangkoan, yang berkedudukan di Kel. Sendangan, saya seperti dibawa kembali ke
kultur yang dekat dengan saya itu.
Dari komentar-komentar itu – yang ketika catatan ini ditulis masih
berlanjut - saya mendapat suatu pengertian betapa pentingnya suatu ‘gedung tua’
bagi generasi yang pernah menjadi bagian darinya. Meski kini ia hadir tinggal
dalam bentuk foto atau gambar namun dapat mengorek memori orang-orang tentang
kehidupannya, dan kemudian merefleksikan ingatan itu menjadi sebuah makna.
Mungkin, di masa yang mereka kenang itu, ketika gedung gereja itu masih
berdiri, mereka masih melihat dan mengada bersamanya, makna-makna itu belum
dapat dikonstruksi seperti sekarang. Dan, itu ternyata menjadi berbeda ketika hanya
melihat foto yang hadir secara digital, di masa kini. Refleksi dan makna-makna
muncul secara spontan.
Seorang berkata begini: “Bagus
foto ini mengingatkan kpd siapapun yg hidup di era milenial bhw sprti foto
itulah gmim sion yg dulu.“
Om Jan Arie Supit mengatakan: “Gereja
tua ini menjadi tempat menimba Iman dn Ilmu bagi umat yg setia mendengar Kukua
Ure o Kukua Weru. Sungguh mulia karya Guru jumaat para guru SR Gmim di lokasi
ini. Banyak anggota jemaat yg menjadi org berhasil dilap. Pekerjaan dimanapun
dia berada. Luar biasa pekerjaan Roh Kudus bagi org Kaweka.”
Teman saya masa kanak-kanak, Lany Tumewu menulis begini: “Sejarah byk mencatat kisah ttg Gereja tua
ini,, walaupun tinggal kenangan tapi gereja tua ini menorehkan tinta emas kpd
generasi sekarang ini sebagai generasi pejuang iman ntk terus bersaksi ttng
kehadiran dan pekerjaan roh kudus bagi Jemaat. Sehingga Jemaat GMIM SION
Sendangan semakin bertumbuh, berbuah dan menjadi berkat. Salam baku dapa torang
disini,, angko qta pe teman bermain masih sekolah minggu.”
***
Gedung gereja tua “Sion”, Sendangan, Kawangkoan adalah ‘situs’ memori
sejarah, budaya dan tentu religiusitas. Saya menggunakan kata ‘situs’ di sini tidak
dalam pengertian umum di negara ini. Bahwa, yang disebut ‘situs’, seolah-olah
menunjuk pada sesuatu yang sudah ‘berlalu’ dan ‘tidak berfaedah untuk hari
ini’. Hampir sama dengan pengertian umum tentang kata ‘artefak’ dalam kamus
Indonesia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kata ‘situs’ sebagai “Daerah
temuan benda-benda purbakala; “Tempat pada suatu papan yang dapat atau tidak
dapat dilubangi.”
Padahal, dalam pengertian ‘situs’ asalinya bukan pertama-tama tentang
sesuatu yang sudah berlalu. Kata ‘situs’ dari kata Latin ‘situs’ yang berarti "tempat atau posisi yang ditempati oleh sesuatu," terutama
yang berkaitan dengan lingkungan.
Jadi, ‘situs’ adalah apa yang menjadi tempat atau ruang kita hidup,
entah dulu, sekarang atau sementara. ‘Situs’ adalah ruang hidup kita pada
berbagai halnya. ‘Situs’ adalah rumah kita secara sejarah, budaya dan religius.
Itu mirip ketika kita mengirim pesan kepada teman yang hendak pesiar ke
rumah kita menggunakan tanda digital (Whatsapp),
yang dalam bahasa digitanya disebut share
location. Tanda di peta digital yang menjadi petunjuk di gadget teman, saudara atau siapapun yang
hendak ke rumah kita menunjuk pada ‘situs’ kehidupan kita. ‘Situs’ adalah tempat
di mana kita tinggal dalam segala hal.
Gedung gereja tua GMIM “Sion” Kawangkoan di Facebook itu adalah ‘situs’, yang mengantar siapapun orang yang
pernah menjadi bagian darinya kembali ke ‘rumahnya’. Gedung gereja tua itu
dalam foto bukanlah ‘artefak’ seperti dalam pengertian para peneliti cagar
budaya. Ia adalah ruang hidup. Sebab, kehidupan itu bukan hanya ‘sekarang ini’,
namun juga ‘masa lalu’ dalam sejarah, dan ‘masa depan’ dalam semangat untuk
melanjutkan kehidupan.
***
Kekristenan di Kawangkoan, kira-kira sudah di mulai tidak lama setelah
kedatangan J.G. Shwarz dan J.F. Riedel tahun 1831. Beberapa orang sudah
dibaptis masa itu. Dalam Algemeen Verslag
Van Den Staat Van Het Sghoolwezer In Nederlandsch-Indie yang terbit tahun
1855 menyebutkan, di Kawangkoan telah terdapat sebuah sekolah dasar milik
zending. Jumlah total muridnya 200 orang. Terdiri dari 150 murid laki-laki dan
50 murid perempuan. Gedung gereja pasti sudah ada, dan biasanya masih darurat.
Gedung gereja biasanya mengalami perubahan seiring bertambahnya orang Kristen
yang dibaptis.
Kawangkoan adalah bagian dari wilayah pelayanan zendeling J.G. Schwars.
Bersama istrinya Femetje Constant yang fasih berbahasa Tontemboan, Schwarz
sering sekali mengunjungi orang-orang Kristen awal di sana. Kelak ia adalah
bagian dari klasis Sonder.
Tahun 1907, populasi di Kawangkoan berjumlah 4000 jiwa. Pada tahun itu,
seperti tercatat dalam Mededeelingemededeelingen
Van Wege Het Nederlandsche Zendelinggenootschap terbitan tahun Orang-orang
Kristen di sini sementara mengumpulkan kayu untuk membangun gedung gereja
seluas 25 X 15 X 6 meter kubik. Semua
kayu dibeli dengan harga 2000 gulden. Jemaat telah menyimpan/menabung uang
sebanyak 3600 gulden, yang sebagiannya untuk mengongkosi pembangunan gedung
gereja. Disebutkan waktu itu, gedung gereja akan akan selesai dibangun akhir
tahun 1908.
Dugaan saya, gedung gereja tua di foto itu adalah gedung gereja yang
dibangun tahun 1907 itu. Loncengnya yang bertahun 1865 sudah digunakan pada
gedung gereja sebelumnya.
Jika gedung gereja ini benar selesai dibangun tahun 1908, maka
kira-kira sudah empat generasi orang Kristen Kawangkoan (Jemaat Protestan
Minahasa lalu sejak tahun 1934 menjadi GMIM) yang bergereja di sana sampai ia
dibongkar dan diganti dengan gedung gereja seperti sekarang pada pertengahan
tahun 1980-an.
Dalam tulisan di majalah NZG tahun 1907 itu disebutkan, bahwa gedung gereja
itu “akan menjadi rumah Tuhan yang anggun dan bermartabat.”
Kami generasi kelahiran tahun 1970an dan kelahiran tahun 1980an awal, adalah
generasi terakhir yang melihat langsung gedung gereja itu.
Gedung gereja tua GMIM Sion, Sendangan, Kawangkoan telah menjadi bagian
penting perkembangan kekristenan di sana. Namun, lebih dari itu ia juga telah ikut
membentuk kultur orang-orang Kawangkoan dalam banyak hal. Sebab, gedung gereja
tua it kemudian ternyata bukan hanya tentang fisik gedung melainkan juga
‘rumah’ bagi orang-orang Kristen di sana yang telah membentuk sejarah, budaya,
sosial, dan banyak aspek lainnya. (***dennipinontoan)