Monday, September 12, 2022

CILEGON

KAMPUNG Kumaraka, Manado, 20 Maret tahun 1934. Seorang ulama berusia seratus tahun lebih baru saja meninggal sehari sebelumnya. Ini adalah hari pemakamannya.

Ribuan orang ikut mengantar sang ulama ke pemakaman. Bukannya hanya kaum muslim, tapi juga orang-orang Kristen di kota itu. Sepertinya, mereka sangat kehilangan seorang tokoh yang dihormati. Separuh lebih usianya dihabiskan di Manado.
Ulama itu adalah Arsyad Thawil. Seorang yang telah melewati masa-masa sulit di usia mudanya. Pernah di penjara Glodok, Batavia. Lalu tahun 1888 ke Kema, kemudian akhirnya menetap di Manado
Suatu masa ia adalah orang asing di sini. Ia beda agama dengan kebanyakan orang-orang di mana dia hidup. Dia juga di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Namun, sang ulama rupanya suka berkawan. Dia dekat dengan tokoh-tokoh setempat.
Arsyad Thawil mesti dibilang sosok ulama yang berani. Ia tak takut keislamannya luntur hidup di daerah di mana para zendeling Eropa sedang bergiat dengan misi Kristennya. Ketika ia datang tahun 1888 itu, kekristenan di sini sedang dalam perkembangan yang signifikan.
Karena keberaniannya itu pula, sehingga ia adalah ulama Islam yang juga diterima dan dihormati oleh orang-orang Kristen. Kematiannya di bulan Maret tahun 1934 adalah juga duka bagi banyak orang berbeda-beda agama itu.
Orang-orang akrab menyapanya dengan nama Haji Banten. Haji Arsyad Thawil adalah seorang yang diasingkan Belanda dari Banten. Ia dihukum oleh Belanda karena memimpin pemberontakan.
Peristiwa itu terjadi tahun 1888. Dikenal sebagai "Pemberotakan Petani Banten". Atau pula "Geger Cilegon".
Sejarawan Roger Kembuan dalam bukunya menyebutkan, sebenarnya para pelaku pemberontakan tidak semua dari kalangan petani. Justru banyak dari mereka adalah ulama atau tokoh masyarakat.
Para pemberontak ditangkap oleh pasukan tentara Belanda. Mereka dipenjara, lalu beberapa di antaranya diasingkan.
Haji Banten, atau Haji Arsyad Thawil adalah satunya. Ia dibuang ke Manado hingga meninggal jauh dari tanah kelahiran. Jauh dari Cilegon, kota ia dan ratusan orang lainnya melakukan perlawanan terhadap Belanda.
Waktu sudah jauh bergerak. Tapi kenangan terhadap sang tokoh terus hidup. Umat muslim di Manado mengabadikan namanya pada sebuah mesjid yang terletak di Jln. Sudirman, Kel. Komo Luar, Kec. Wenang. Mesjid bernama KH. Arsyad Thawil ini berdiri di Manado, "Kota Seribu Gereja", seperti judul buku Ilham Daeng Makkelo, sejarawan dari Makassar itu.
Para peminat sejarah keulamaan dan kepahlawanan Banten, terutama yang masih tergolong masih terikat darah selalu merindukannya. Beberapa kali mereka datang berziarah ke makam KH Arsyad Thawil di Manado.
Tanggal 26 April 2021 terbit di media online Serangnews .com sebuah berita berjudul "Arsyad Thawil, dari Geger Cilegon hingga Potret 'Dakwah' Toleransi di Tengah Komunitas China dan Nasrani". Foto pada berita salah satunya menampilkan gambar Helldy Agustian, kini walikota Cilegon yang ikut berziarah di makam Arsyad Thawil di Lawangirung, Manado.
Tertulis pada berita itu: Helldy Agustian adalah Cicit KH Arsyad Thawil.

--oo00oo--

(dennipinontoan, 12/092022)

Tuesday, May 31, 2022

Pancasila dan Kebhinekaan dari Perspektif Minahasa

Oleh Denni H.R. Pinontoan

 

Bendera Merah Putih berkibar di Halaman Watu Pinawetengan


Dr. G.S.S.J. Ratu Langi:

Persatuan nasional dari bangsa Indonesia adalah suatu persatuan politis. Kenyataan ini didasarkan pada kemauan politis yang sukarela untuk membentuk suatu persatuan bangsa dan Negara Indonesia yang berdaulat. Dengan mengakui dan menghormati akan perbedaan etnis dan budaya pluralitas bangsa Indonesia yang bersatu dengan segala konsekuensinya, kita semua harus menerima, menghormati dan berjuang untuk persatuan politis bangsa Indonesia tersebut – Namun, dilain pihak adalah suatu keharusan yang seimbang bahwa Persatuan Indonesia juga harus mengakui dan menghormati hak asasi dari tiap kelompok etnis untuk mempertahankan otonomi mereka dalam batas wilayah kelompok etnis tersebut.” (Fikiran” 31 Mei 1938).

Ø  Bagi Ratu Langi, Indonesia merdeka adalah suatu persatuan politis, dasarnya adalah kemaun politis. Indonesia sebagai persatuan politis ini mesti mengakui dan menghormati perbedaan etnis dan pluralitas.

 

Soekarno:

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.

Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Pidato 1 Juni 1945).

Ø  Konsep Soekarno adalah ‘ber-Tuhan secara kebudayaan’. Masyarakat Indonesia yang terdiri dari bangsa-bangsa memiliki kesadaran religius yang tinggi. Jadi, ‘Sila Ketuhanan Yang Maha Esa’, bukan ‘satu Tuhan’ dari satu agama tertentu, melainkan ‘sifat religius’ masyarakat Indonesia yang bermacam-macam agama.

 

Hamka:

Ketuhanan Jang Maha Esa adalah pengakuan akan adanja kekuasaan diatas seluruh kekuasaan manusia. Ketuhanan Jang Maha Esa adalah asas dari satu kepertjajaan atas Kesatuan Allah, dalam Ketuhanannja, dalam perbuatannja dan dalam kekuasaannja.

Ketuhanan Jang Maha Esa adalah meEsakan tudjuan hidup dari seluruh 'alam ini, baik jang bernjawa atau jang tidak bernjawa. Ketuhanan Jang Maha Esa tiga perkara kepada satu. Jang tiga perkara itu ialah manusia, hidup manusia, dan 'alam. Kepada hanja satu Tuhan.

Sila dari Ketuhanan Jang Maha Esa itu telah mengadjarkan, bahwasanja seluruh bangsa adalah kawan, seluruh manusia adalah sahabat, dan tudjuan jang paling achir ialah perdamaian kemanusiaan menegakkan dunia jang baru jang 'adil dan makmur. (risalah Hamka, “Urat Tunggang Pantja Sila”, Djakarta: Pustaka Keluarga, 1951).  

Ø  Bagi Hamka lima sila Pancasila adalah satu kesatuan. Sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa menegaskan kepercayaan kepada kesatuan Allah, dalam Ketuhanannya. Di dalam sila pertama ini terkandung tiga perkara dalam satu, yaitu: manusia, hidup manusia dan alam. 

 

Kongres Minahasa Raya, 5 Agustus 2000

Poin ke II : Menolak segala kecenderungan dan usaha yang hendak memecah-belah keutuhan dan kebersamaan bangsa Indonesia di dalam NRI dengan cara memasukkan gagasan "Piagam Djakarta" dan bentuk-bentuk sejenisnya dalam bentuk apa pun ke dalam UUD 1945 - Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya. Keinginan politik sektarian berbasis agama seperti ini hanya akan membatalkan seluruh komitmen kebangsaan Indonesia yang telah melahirkan NRI bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu. Jika keinginan untuk membatalkan komitmen proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 dan UUD 1945 diluluskan atau bahkan dikompromikan sedikit pun, maka pada saat yang sama eksistensi keberadaan NRI berakhir. Pada saat itu juga rakyat Minahasa terlepas dari seluruh ikatan dengan ke-Indonesia-an dan berhak membatalkan komitmen ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an. Dengan demikian, maka RAKYAT MINAHASA BERHAK MENENTUKAN NASIBNYA SENDIRI UNTUK MASA DEPAN.

 

Beberapa catatan penutup

1.     Sikap politik Minahasa terhadap Indonesia merdeka, yang antara lain diwakili oleh Sam Ratu Langi, memahami bahwa ‘bangsa Indonesia’ adalah suatu persatuan politis karena didasarkan pada kemauan politis. Indonesia merdeka adalah persatuan nasional dalam keragaman etnik. Indonesia merdeka harus mengakui dan menghormati hak-hak dari setiap etnik.

2.      Pancasila menegaskan pengakuan dan penghargaan terhadap keragaman, baik secara politis (Soekarno) maupun teologis (Hamka).

3.      Sikap politik Minahasa masa kini: 1. Negara Republik Indonesia (NRI) adalah komitmen dalam kesetaraan dan keadilan.  Jika itu dilanggar, maka komitmen keminahasaan terhadap keIndonesiaan berakhir (Kongres Minahasa Raya thn 2000). 2. NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika mesti menolak kelompok-kelompok radikal dan intoleran. 

Friday, May 20, 2022

Dirk dan Dirke (sebuah cerpen)

 


"Anda siapa. Tiba-tiba duduk di sini?" Tanya Dirk.

 "Aku, Dirke. Aku adalah Anda," kata Dirke.

 "Kalau Anda cuma mau basa-basi, maaf aku sedang ingin sendiri."

 "Ah, tidaklah. Saya datang untuk berbicara dengan Anda," balas Dirke.

 "Tapi, saya tidak kenal Anda. Ok. Kalau Anda mau kopi, pesan saja nanti saya bayar. Tapi, mohon Anda cari meja lain," kata Dirk.

"Tidak. Aku hanya ingin berbicara dengan Anda. Aku adalah Anda."

"Aduh! Sungguh saya tidak paham. Kalau begitu, saya saja yang ke meja lain."

"Nama Anda Dirk. Lahir tanggal 15 April tahun 1980. Kamu adalah seorang eksekutif muda. Lagi sakit hati lantaran Merke, kekasih hati Anda baru saja dilamar anak Direktur Anda."

"Anda agen yang sedang mematai-matai saya, ya. Siapa yang menyuruh Anda? Apa misi Anda?"

"Ah, Anda sangat terpengaruh Conan. Aku juga suka film kartun itu. Aku tahu siapa Anda seluruhnya, karena Anda adalah aku,"

Baru sekitar 15 menit Dirk di kedai kopi itu tiba-tiba seorang laki-laki yang menyebut namanya Dirke datang ke situ. Tanpa permisi, laki-laki itu duduk berhadapan dengannya. Kedai kopi itu memang sedang tak ramai. Ini yang dicari Dirk. Tapi, kehadiran Dirke bikin dia jadi gerah.

Dirk kemudian bersiap untuk meninggalkan orang itu.

"Dirk, baiknya lupakan rencana jahatmu itu," kata Dirke.

Dirk menatap Dirke. Dia duduk kembali. Penasaran

"Rencana jahat? Siapa sesungguhnya Anda ini? Anda mau memeras saya dengan hoaks murahan, ya?"

"Karena sakit hatimu itu, maka Anda sedang berpikir menghabisi Direkturmu itu dengan memberinya racun, kan?"

Dirk makin penasaran. Beberapa menit sebelum kedatangan Dirke, ia memang sedang berpikir untuk menghabisi direkturnya itu, persis seperi yang Dirke baru katakan.

"Kamu punya ilmu membaca pikiran orang, ya?"

"Nah, benarkan. Anda sedang menyusun rencana jahat" tegas Dirke.

"Anda jangan memaksa saya, ya untuk bertindak mengusir Anda dari tempat ini!" Dirk berkata marah.

"Dirk, kamu tidak dapat mengusir aku. Aku adalah kamu," kata Dirke tenang.

Dirk merasa sedang mengalami halusinasi. Dia mencubit pipinya. Terasa. Dia menampar pipinya. Sakit.

"Dirke, aku tidak kenal Anda! Pergi dari sini!" Bentak Dirk.

"Dirk, kamu hanya memanfaatkan aku di medsos. Menggunakan pribadiku untuk mengatakan kau manusia sempurna. Aku kau gunakan ketika menulis status di Facebook dengan ayat-ayat kitab suci. Tapi, ketika aku datang menegurmu agar tidak menjadi jahat, kau menolak aku. Itu sama sama dengan engkau menolak dirimu sendiri," Dirke berkata panjang lebar.

"Status di medsos? Ayat-ayat kitab suci?" Dirk bergumam.

Dirk tertekan. Emosional.

"Aku tidak punya saudara kembar. Aku adalah aku!"

Dirk berkata tegas sambil mengambil posisi berdiri untuk pergi dari meja itu.

"Tunggu. Jangan ke mana-mana, Dirk. Anda harus sadar. Kita adalah manusia yang sedang terpecah-pecah. Manusia bermuka banyak. Aku adalah kamu yang tidak pernah kau sadari."

"Aku tidak pernah punya diri yang lain," kata Dirk dengan suara agak keras.

Beberapa pengunjung di kedai itu terkejut. Mereka memandang Dirk yang sedang berdiri dengan tatapan tajam ke arah Dirke. Dirk seketika sadar dia sedang diperhatikan beberapa orang di situ. Dirk lalu diam dan duduk lagi.

"Dirk, ini memang sesuatu yang aneh. Kita sedang menjadi manusia dalam lipatan realitas. Kita hidup dalam salinan-salinan diri. Aku adalah kau," jelas Dirke.

"Ah omong kosong. Itu hanya hanya ada di film-film fiksi. Aku tetap adalah aku," balas Dirk dengan suara agak pelan tapi kentara menahan amarah.

"Iya. Dirk adalah satu. Tapi, engkau tidak bisa menghindar dari realitas berlipat-lipat ini. Coba kau pikirkan. Pada saat engkau memikirkan kejahatan sambil itu menulis status di Facebookmu tentang kata-kata rohani mengenai kebaikan. Mana sesungguhnya Dirk pada momen itu?"

Dirk tidak langsung menjawab. Spontan dia menghidupkan hp dan membuka akun Facebooknya. Di linimasa situs ejaring sosialnya itu beberapa hari terakhir ini dipenuhi dengan kutipan ayat-ayat kitab suci dan motivasi kehidupan. Tampak wajahnya memikirkan sesuatu secara serius.

"Siapa Dirk? Siapa aku?" Tanya Dirk dalam hati.

Entah apa yang menggerakan Dirk tiba-tiba dia kemudian memikirkan lagi siapa dirinya. Seorang yang terlahir dari keluarga tak bermasalah secara ekonomi, pendidikan, juga kerohanian. Lahir di sebuah desa yang orang-orangnya terhubungan secara kekerabatan. Namun, ketika beranjak pemuda datang ke kota yang sibuk ini dengan segala dinamika yang serba material. Menjadi mahasiswa berpretasi dan tak pernah pusing dengan ribut-ribut politik negara. Selesai kuliah langsung bekerja di sebuah perusahaan ternama. Menjadi seorang eksekutif muda dengan pujian tak henti-hentinya dari sang bos.

“Dirk, itulah kamu. Itulah aku. Tapi, itu yang saya bilang tadi. Anda ini hanya menggunakan aku untuk membangun citra saleh di dunia virtual. Di dunia nyata, sayang engkau sedang berubah menjadi seorang yang merencanakan kejahatan,” kata Dirke memecah permenungan Dirk.

Dirk menatap Dirke. Tapi, kali ini agak tenang wajahnya.

“Tapi, hingga detik ini saya belum mengerti apa yang sedang terjadi ini. Siapa kau? Lalu, mengapa kau Dirke, menyebut adalah juga aku, Dirk?” Kata Dirk.

“Aku juga bingung. Mengapa kita sedang menjadi pribadi yang terpecah-pecah. Tapi, saya harus bilang realitas yang sedang terlipat-lipat ini menghasilkan Dirk dan Dirke sebagai salinan-salinan diri,” ungkap Dirke.

“Ah, maaf. Siapapun Anda, apapun yang Anda katakan, saya masih bingung dengan pertemuan ini. Maaf, saya belum bisa mengenali Anda,” tandas Dirk.

Secangkir kopi hitam di meja sudah habis diminum Dirk. Pengunjung kedai tampaknya tak bertambah. Deru mesin mobil lalu-lalang di jalan. Dirke tiba-tiba menghilang saat Dirk memanggil pelayan kedai untuk membayar kopi hitamnya. Dirk tampak tak terkejut dengan raibnya Dirke. Sebelum keluar dari kedai itu, Dirk menghidupkan hp-nya. Tampak dia menulis sesuatu di akun facebook miliknya:

Aku ingin pulang, tapi jalannya tak aku kenali lagi 

Sunday, March 20, 2022

PAWANG


MOTOLING, di tahun 1980an awal, waktu itu saya masih kanak-kanak. Bersama oma ke kebun milik keluarga satu-satunya. Nama perkebunan itu Mawale. Di kebun yang tidak terlalu luas ini tumbuh pohon kelapa, cengkih, enau dan sedikit pohon kopi.

Tiba di kebun, oma menengadah ke langit yang sedang mendung. Ini pertanda akan turun hujan. Lalu, dia menengada ke tanah, meraih satu jenis rumput lalu mengikat batangnya dan mengucapkan beberapa kata dalam bahasa Tontemboan. Saya tidak lagi ingat persis kata-katanya. Namun, itu semacam doa memohon kepada Yang Ilahi agar sekiranya mendung boleh berlalu sehingga tidak turun hujan.

Saya tidak pernah tanya, mengapa harus mengikat batang rumput. Tapi, dari kata-kata dalam doa yang saya ingat, itu sepertinya adalah simbol yang menjadi tanda bahwa dia sebagai manusia yang memohon menyatakan lagi ikatannya (hubungannya) dengan Apo Kasuruan (Yang Ilahi) bersama alam. Karena, mungkin dengan adanya ikatan atau hubungan spiritual tersebut maka Apo Kasuruan dapat mengambulkan permohonannya agar hujan tidak turun.

Karena jika hujan jadi turun, maka kami yang baru tiba di kebun pasti tidak bisa berbuat apa-apa selain segera bersedia untuk basah kuyup. Hujan memang tidak segera turun. Oma masih sempat memetik buah kopi yang tumbuh di antara pohon seho (enau), lalu gerimis datang. Kami berteduh sementara di bawah pohon pisang karena di kebun tidak dibuat pondok seperti umumnya kebun-kebun di Minahasa.

Apakah karena tindakan oma mengikat batang rumput dan doanya itu yang membuat hujan lebat tidak turun atau karena memang alamiahnya begitu, itu tidak dapat dipastikan. Namun yang jelas, dalam perenungan saya kemudian, itu adalah suatu tanda betapa dekatnya oma saya secara spiritual dengan alam dalam keyakinannya terhadap kuasa Yang Ilahi.

Apa yang oma saya lakukan di kebun itu, kira-kira mirip dengan apa yang dilakukan oleh apa yang umum disebut "pawang". Sebab, sesungguhnya praktek shamanisme ini umum di banyak tempat sebagai suatu tradisi leluhur. Pada masa-masa tertentu dari mana istilah "pawang" berasal, yaitu pulau Kalimantan (Indonesia dan Malaysia) praktek ini shamanisme (perdukunan), oleh komunitas-komunitas adat tertentu dipraktekkan bersama-sama dengan agama import.

Dalam mite asal kehidupan yang menjadi tradisi lisan kaum tertentu di kepulauan itu disebutkan nama "Pawang Asal" dan "Pawang Sadia". Pawang asal hadir dalam wujud burung. Darinyalah semua berasal, di antaranya, tentang yang tidak baik dan penangkalnya. Mungkin, dari narasi mite inilah, di kemudian hari mereka yang disebut “pawang” adalah mereka yang memiliki kemampuan mengendalikan alam, termasuk hujan.

Namun, dalam masyarakat yang sudah banyak berubah, telah jauh dari tradisi atau itulah yang disebut masyarakat modern (atau setengah modern), arti “pawang” pun berubah. Ia pada akhirnya lebih menunjuk pada orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan gaib, lalu dalam tuntutan modernitas ia diubah menjadi profesi untuk kebutuhan efektifitas dan efisiensi. Jadilah “pawang” adalah nama untuk suatu profesi, misalnya untuk kebutuhan agar sesuatu dapat berlangsung tanpa terganggu oleh hujan, maka ia berfungsi untuk menolak hujan.

“Pawang” dalam masyarakat agamis setengah modern menjadi demikian “membingungkan”. Ia dibutuhkan secara praktis, tapi tradisinya ditolak, dan orang-orang bahkan tertawa lucu dalam nada mencibir sambil menikmati apa yang memang dari awal diharapkan hasil kerja dari si pawang.

Itulah yang terjadi pada Rara Istiani Wulandari, seorang perempuan berprofesi pawang hujan di Internasional Mandalika Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jelang balapan, sirkuit itu diguyur hujan. Ini bikin khawatir penyelenggara, pembalap dan juga penonton. Rara tidak muncul begitu saja. Ia memang sudah disiapkan sebagai pawang hujan oleh penyelenggara. Jadi, ritualnya itu resmi bagian dari kegiatan itu. Dan, hujan pun reda.

Sekali lagi, tentu macam-macam pendapat orang tentang kejadian itu. Apakah hujan reda karena memang sudah begitu adanya, ataukah karena keberhasilan si pawang. Ada yang berusaha memperoleh atau menjawab sendiri secara eksak, bahwa tidak ditemukan ada bukti antara ritual Rara dengan hujan reda sehingga menganggap aksinya itu hanya sekadar tontonan saja. Tapi, ada yang melihatnya sebagai suatu tradisi dan menyakininya, itu akan menemukan hubungannya. Yang lain, bukan soal benar atau tidak, melainkan menganggapnya sebagai kekayaan tradisi Indonesia yang pantas di hargai.

Begitulah kira-kira yang terjadi dengan fenomena pawang hujan di masyarakat kontemporer kita. Mereka yang mencibir, ya juga dengan macam-macam alasan. Ada yang rupanya atas nama rasionalisme, yang lain justru dari kutub berseberangan, yaitu atas nama agama. Apapun alasannya, ini sebenarnya fenomena dari masyarakat yang ambigu.

Ya, sebab sesungguhnya, entah ia seorang yang sangat percaya sains, entah ia seorang yang mengklaim diri sangat agamis, semua kita manusia memiliki naluri: melakukan ini agar memperoleh itu. Semua tindakan manusia selalu memiliki tujuan. Seorang beragama yang anti tradisi pawang karena menganggapnya tahayul, pun sering sekali bertindak sebagai “pawang”, yaitu berdoa untuk mengharap Yang Ilahi bertindak agar apa yang menjadi kepentingannya tercapai. Seorang ilmuwan, melakukan eksperimen di laboratorium berharap apa yang diyakininya secara teori dapat dibuktikan.

Tapi, karena ambiguitas yang disebabkan oleh perkawinan silang antara tradisi, agama dan modernitas itu maka cara berpikir, berperilaku dan bahkan beriman kita pada banyak hal “bermuka dua”. Untuk tindakan ini adalah benar karena ia langsung memberi dampak keuntungan kepada kita, tapi untuk hal itu tidak benar karena ia tidak berkaitan dengan kita atau bahkan menuntut bayaran moral dari kita.

Sementara, “pawang” dari tradisinya ia tentang suatu keutuhan dan keseimbangan. Karena, menurut narasi mite ini, semua yang ada, dan yang tidak ada, yang baik dan yang jahat, berasal. Kehidupan berasal dari “Pawang” dari segala pawang itu. (dennipinontoan, 21 Maret 2022)

Tuesday, January 11, 2022

Tradisi "(Ma)Wolay": Satu Nama, Dua Bentuk

 


Setiap bulan Januari, terutama pada hari Minggu pertama, dst dalam perayaan Kuncikan, di Desa Tondey dan Poopo, Minahasa Selatan ada yang khas dan unik. Di Tondei, sekelompok orang masing-masing memakai kostum hitam yang yang terbuat dari ijuk enau (gomutu seho) meniru hewan yaki berjalan mengelilingi kampung. Berbeda di Desa Poopo, beberapa orang memakai topeng besar menutupi tubuh yang terbuat dari pangkal pelepah daun pohon tewasen (pohon rumbia) berparade di jalan.

Bentuk penampilan keduanya berbeda, tapi sebutannya sama: "Wolay" atau "Mawolay". "Wolay" adalah kata Minahasa untuk menyebut hewan "yaki", monyet hitam Sulawesi (macaca nigra). Sebetulnya di desa Tondei yang memang tampaknya meniru langsung penampakkan "wolay". "Wolay" di Poopo lebih tampak topeng dengan lukisan warna-warni. Sekarang ini, tradisi "wolay" adalah pertunjukkan khas kuncikan yang menghibur warga setempat dan tamu yang menikmati suasana tahun baru.

Ada pendapat yang mengatakan, terutama di Desa Poopo, dalam sejarah wanua ini tradisi wolay berkaitan upaya untuk menakuti kawanan yaki atau wolay serta babi hutan yang menyerang perkebunan warga. Pendapat lain, dan ini versi Tondey, tradisi ini berkaitan dengan warisan ingatan tentang perburuan yaki sebagai mata pencaharian. Meski narasinya berbeda tapi menunjuk pada hal yang sama, yaitu kaitan dengan tou (manusia), yaki, uma (lahan perkebunan) dan talun (hutan) yang tidak lagi berada dalam relasi yang harmoni.

Namun, dalam arti lain "mawolay" sebenarnya adalah ungkapan untuk menunjuk pada proses menggosok wajah atau seluruh bagian kulit dengan arang sehingga terlihat seperti wolay. "Wolay" adalah ungkapan untuk menyebut orang yang wajahnya terkena arang hitam. Misalnya dalam perkataan, "Wolayano namomu" (wajahmu sudah hitam karena arang). "Kele wolay sia" (Dia sudah seperti yaki)", ungkapan ini untuk menyebut orang yang entah sengaja atau tidak sengaja terkena arang.

Paul Richard Renwarin, seorang pastor dan doktor di bidang atropologi dalam bukunya "Matuari wo Tonaas" menyebut ada sebuah ritual di Minahasa masa lalu yang berkaitan dengan pembersihan kampung dari wabah, atau untuk mengusir "se sakit" agar ketika memasuki suatu siklus baru masyarakat di wanua setempat dapat dihindari dari sakit penyakit atau kegagalan. Para pelaku ritual menggosokan seluruh bagian tubuhnya dengan arang hitam, bukan untuk meniru yaki/wolay tapi maksudnya untuk mengelabui roh-roh "se sakit" dalam proses mengantar kembali ke tempat mereka. 

Ini mungkin gagasannya sama dengan apa yang masih terwariskan dalam ingatan orang-orang di Poopo dan Tondei hingga kini, yaitu tentang ruang dan sumber kehidupan "se tou" mengalami gangguan karena relasi yang tidak lagi harmoni itu.

Dalam pewarisan dari generasi ke generasi tradisi mengalami reinterpretasi, rekonstruksi dan penghadiran kembali dalam bentuk yang kontekstual. Pada akhirnya, "wolay" yang mulanya adalah ungkapan dalam sebuah ritual telah ditafsir dan dipahami sebagai cara meniru "wolay" sesungguhnya. Itulah sehingga tradisi yang memiliki nama yang sama, yaitu "wolay" atau "mawolay" tapi sebagai pertunjukkan (bukan lagi ritual) bentuk penampilan di Tondey dan Poopo berbeda.(*)