Sunday, May 31, 2020

Buku Walian dan Tuang Pandita





“WALIAN DAN TUANG PANDITA”
Perjumpaan Agama Minahasa dan Agama Kristen pada Abad XIX
© Juli 2019

Penulis: Denni H.R. Pinontoan

Penerbit:
Pustaka Pranala
Alamat: Jl. Magelang km 20, Mlati, Sleman, DI Yogyakarta
Email: pustakapranala@gmail.com

Pinontoan, Denni H.R.,
“WALIAN DAN TUANG PANDITA”
Perjumpaan Agama Minahasa dan Agama Kristen
pada Abad XIX/Denni H.R. Pinontoan – Cet. 1. –  

ISBN: 978-623-7173-26-7



Buku ini membahas tentang kontak dan perjumpaan antara sistem dan praktek religi Minahasa dengan kekristenan melalui kehadiran para zendeling pada abad ke-19, terutama sejak tahun 1830-an hingga tahun 1890-an. Periode ini terutama berkaitan dengan kehadiran para zendeling utusan badan misi NZG yang sudah sejak zaman Joseph Kam (1817/1819), lalu Hellendoorn (1829), dan beberapa zendeling lainnya, lalu terutama sejak kedatangan Johann Gottlieb Schwarz dan Johann Frederik Riedel (1831) hingga masa penyerahan jemaat-jemaat yang dipelihara oleh para zendeling ke Indische Kerk (1875-1885) dan masa setelahnya hingga jelang akhir abad ke-19.

Di antara dua cara pandang dan kesimpulan mengenai sejarah perjumpaan pada periode itu, yaitu pada satu pihak dari badan zending atau zendeling sendiri, dan pada pihak lain tanggapan-tanggapan kritis dari pengkaji sejarah, etnolog dan studi politik kolonial seperti yang sudah diuraikan di atas, sudut pandang ketiga saya kira perlu dimajukan. Yaitu perspektif yang lebih banyak memberi perhatian pada narasi tentangg sikap, reaksi, resistensi, negosiasi dan transformasi yang dilakukan pihak penerima.Judul utama buku ini adalah Walian dan Tuang Pandita. Para walian atau imam memiliki kedudukan dan peran yang sentral dalam praktek religi Minahasa. Para zendeling – yang di sini mereka disapa dalam istilah Melayu, ‘pandita’ atau ‘tuang pandita’ – yang diutus oleh NZG, mulanya sangat kuat dengan pietisme (lalu berkembang ke corak berpikir yang lebih modern), tentu tidak lepas dari semangat kekristenan masa itu, yaitu semangat untuk memahsyurkan Injil Yesus Kristus di tengah bangsa-bangsa yang memiliki sistem dan praktek kepercayaan/religinya sendiri. Di dalam religi Minahasa sendiri, terutama di kalangan walian pada periode ini sebetulnya sedang mengalami dinamika ke arah yang tidak semata tentang spiritualitas dan religiusitas. Hal yang sama juga berlaku dalam perkembangan kekristenan. Dominasi Indische Kerk dalam pengaruh kuat kepentingan kolonialisme pemerintah Hindia Belanda, telah menyebabkan adanya keragaman corak dan pendekatan, serta dinamika dalam idealisme misi yang dijalankan.

Semua itu telah menjadi konteks perjumpaan antara agama Kristen melalui para tuang pandita Eropa dengan walian atau orang-orang Minahasa pada umumnya. Oleh karena adanya dinamika dalam proses perjumpaan itu, maka hasil-hasilnya juga tidak tunggal. Dengan demikian, tujuan dari buku ini adalah untuk menunjukkan dinamika proses perjumpaan itu, serta kesadaran dan bentuk-bentuk praksis yang dihasilkan. Ini adalah upaya untuk menunjukkan narasi-narasi alternatif dari wacana atau kesimpulan-kesimpulan selama ini yang memandang seolah proses perjumpaan itu terjadi secara sepihak, yang satu aktif memaksa dan yang lain pasif dalam kebodohan. Dengan munculnya tokoh-tokoh penolong dan guru-guru di sekolah zending, serta hadirnya organisasi yang menghimpun mereka yang terjadi selama periode itu maka itu adalah bukti bahwa proses perjumpaan ini telah terjadi secara timbal balik. Sikap kritis dan bahkan menolak di kalangan walian makin membuktikan bahwa proses konversi yang dilakukan oleh para zendeling tidaklah berjalan lurus tanpa negosiasi dan dialog.

Daftar Isi

Pengantar Penulis ~ v

Pengantar Penyunting ~ ix



Pendahuluan ~ 1

Bab 1



Kedatangan Tuang Pandita dari Belanda ~ 16


Bab 2
Walian versus Tuang Pandita ~ 34

Bab 3
Perempuan dan Tuang Pandita ~ 72

Bab 4
Tou Minahasa Menjadi Penolong ~ 94    

Bab 5
Ismael Tiwow, Guru Modern Minahasa Pertama ~ 108

Bab 6
Petrus Kowaas, “Rasul dari Ranowangko” ~ 118

Bab 7
Lambertus Mangindaan Menuntut Persamaan Hak ~ 124

Bab 8
“Karapatan Minahasa” ~ 137

Penutup ~ 160
Lampiran ~ 171
Kepustakaan ~ 174
Penulis ~ 179


*Buku ini tersedia dalam bentuk file PDF. Bagi yang berminat, silakan hubungi nomor WA: 082187097616

Wednesday, April 29, 2020

Flu Spanyol di Minahasa tahun 1918 dan Medis yang Minim



Rumah Sakit Sipil di Manado yang dibangun tahun 1902 (sumber: colonialhospitals.com/KITLV)

Flu Spanyol atau pandemi influenza yang melanda dunia tahun 1918 juga menyebabkan banyak korban meninggal di Minahasa. Ini terjadi di masa baik tenaga maupun fasilitas medis masih sangat minim


FLU Spanyol atau pandemi influenza yang disebabkan oleh virus H1N1 yang menimpa masyarakat dunia pada tahun 1918 juga menyebar hingga ke Minahasa. Diperkirakan pandemi ini telah menyebabkan 20 sampai 40 juta orang sedunia meninggal dunia. Sementara jumlah korban meninggal di Hindia Belanda diperkirakan mencapai 1,5 juta.  

Menurut Priyanto Wibowo, dkk dalam buku mereka Yang Terlupakan, Sejarah Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda (terbit tahun 2009), virus influenza telah hadir di Hindia Belanda pada bulan Juli. Pada bulan Januari, Konsul Belanda di Hongkong melaporkan kepada konsul Belanda di Singapura bahwa penguasa koloni Inggris di sana telah mengeluarkan peringatan kepada warga untuk mewaspadai penyebaran virus influenza tersebut. Itu berarti virus telah menyebar hingga ke Hongkong.

Lalu pada bulan April, Konsul Belanda di Singapura memberi peringatan kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia untuk mencegah kapal-kapal dari Hongkong. Tapi peringatan itu tidak diindahkan oleh pemerintah. Pada bulan Juli, dilaporkan telah ditemukan sejumlah pasien influenza di beberapa rumah sakit.  

A. C. N. Bouvy, seorang dokter Belanda yang bertugas di Minahasa selama 4 tahun pada artikelnya “De Minahassa En De Geneeskunst” dalam  Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-IndiĆ« Deel 80, 2/3de Afl terbit tahun 1924 menulis, flu Spanyol di wilayah keresidenan Menado mulai menular pada Juli dan Agustus 1918. Itu artinya bersamaan dengan Batavia atau kota-kota pelabuhan lainnya di Hindia Belanda.  

Bouvy menulis, penyakit ini dimulai di Manado, sebagai pusat keresidenan dalam skala yang kecil dan jinak. Sudah pasti, orang-orang pembawa virus datang ke Manado melalui jalur laut. Pada bulan Oktober ia telah meluas dan menjadi sulit dikontrol dan ditangani.

Epidemi Influenza rupanya sangat berdampak pada orang-orang Minahasa. Ketika saya memeriksa epidemi atau penyakit menular mana yang berkobar di Menado selama saya tinggal, gambar dalam memori yang berlaku saat ini dibentuk oleh penyakit Flu Spanyol,” tulis Bouvy.

Kata Bouvy, oleh karena penyakit ini tidak memiliki obat, maka perawatan dilakukan dengan cara simtomatik atau pengobatan untuk mengurangi rasa sakit. Kesembuhan terutama adalah dengan perawatan dan cara pasien menghadapi penyakit tersebut.

Pandemi Flu Spanyol di Minahasa, dan begitu pada umumnya di Hindia Belanda terjadi pada masa fasilitas dan tenaga medis masih sangat minim. Bouvy menggambarkan keadaan ini dengan mengatakan, di Minahassa masa itu terdapat seorang dokter Eropa, dua dokter Pemerintah dan beberapa orang perawat. 

Rumah Sakit Sipil Menado yang dibangun tahun 1902, sebagai satu-satunya rumah sakit pemerintah waktu itu, sungguh memprihatinkan. Terdapat empat bangsal, tapi dengan loteng yang buruk. Menurut penilaian Bouvy, rumah sakit ini sebenarnya tidak memenuhi syarat.

Nanti setelah pandemi itu, baru terjadi perubahan. Ada enam enam gadis pribumi yang dilatih sebagai perawat, juga penunjukkan seorang seorang perawat berkualifikasi Eropa ditunjuk. Rumah sakit diperluas; nutrisi ditingkatkan, dan pembangun ruang khusus untuk penyakit serius.  

Karena minimnya tenaga medis, maka banyak pasien Flu Spanyol yang meninggal karena terlambat dirawat. “Saya telah menyelidiki dan merawat ribuan kasus, sering disebut ketika sudah terlambat,” tulis Bouvy.

Tidak terdapat jumlah pasti orang Minahasa yang meninggal karena flu ini. Tapi berdasarkan sejumlah sumber menyebutkan bahwa kematian di Menado dan Minahasa cukup tinggi, terutama pada gelombang kedua yaitu dimulai bulan Oktober. David Henley dalam Fertility, Food and Fever: Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930 mengutip F.H.W.J.R. Logeman (dalam laporannya berjudul ‘Memorie van overgave van de residentie Menado’, terbit tahun 1922) menyebutkan, salah satu penyebab tingkat kematian di Menado tinggi adalah karena infeksi penyakit malaria yang sebelumnya adalah pembunuh nomor satu di daerah ini. Malaria telah melemahkan imunitas atau daya resistensi terhadap virus yang menyebabkan penyakit flu tersebut.

Selain warga yang meninggal, Bouvy menyebutkan, penyakit ini juga telah membunuh banyak rekan pekerja medisnya. “Banyak rekan telah meninggal secara terhormat dalam perjuangan melawan penyakit ini, meninggalkan janda mereka tanpa pensiun yang cukup,” tulis Bouvy.

Di kalangan orang-orang Minahasa sendiri, menurut Bouvy, kebanyakan tidak mengerti penyakit ini. Ketika terpapar virus banyak yang tidak mengetahui apa yang terjadi. Ketika gejala mereda di masa awal sejak pertama terpapar virus, banyak yang merasa sudah sembuh. Padahal, bahaya dari penyakit ini baru dimulai. “Selama demam dan setidaknya delapan hari setelah itu, seseorang harus tetap beristirahat,” tulis Bouvy. 

Orang-orang belum mengerti pentingnya ‘bed rest atau tirah baring, yaitu beristirahat di tempat tidur secara berkualitas untuk merawat penyakit yang diderita di rumah sakit. Menurut Bouvy, salah satu penyebab orang-orang tidak betah tidur lama karena tempat tidur yang tidak diperuntukkan bagi orang sakit. Tempat tidur yang disebut Bouvy itu terdapat di rumah sakit yang menurutnya tidak layak itu. Tapi, ternyata orang pribumi yang sakit suka tidur di ranjang yang berkasur.

Dalam pengalaman saya, pribumi yang sakit selalu merasa nyaman di ranjang dengan kasur,” tulis Bouvy.

Setelah beberapa tahun pandemi Flu Spanyol usai, yaitu tahun 1924, jumlah penduduk Minahasa mengalami peningkatan cukup signifikan. Abdul Rasyid Asba dalam bukunya berjudul Kopra Makassar: Perebutan Pusat Dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik Regional di Indonesia terbit tahun 2007 mengutip data P. Boomgaard dan A.J. Gooszen (dalam buku mereka berjudul Population trends 1795-1942:  Changing Economy in Indonesia, terbit tahun 1991) menyebutkan, bahwa pada tahun 1915 jumlah penduduk Minahasa adalah 200 ribu jiwa, pada tahun 1924 meningkat menjadi 250 ribu jiwa.(*)  



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com

 082187097616 

Wednesday, March 18, 2020

Tuhan ke Mana?




AGAMA-agama dan ruang-ruang sosial sepi. Virus Corona menyerang manusia, masyarakat dan peradaban. Hal keagamaan dan kerutinan masyarakat sejenak berhenti. Peradaban memasuki masa hening.

Orang-orang dunia banyak yang terkena penyakit Covid-19. Banyak yang meninggal. Virus Corona menyerang peradaban yang telah dibangun lama. Masyarakat dunia cemas, panik, takut.  

Negara-negara sedunia punya prosedur bersama secara global menghadapi virus ini. Agar virus tidak menyebar, menurut prosedur global itu, masyarakat mesti menjalankan ‘social distancing’. Bentuknya antara lain, mengurangi atau mendiadakan pertemuan-pertemuan dan jabat tangan.

Nah, ini soal bagi orang-orang beragama. Ritual mesti melibatkan banyak orang. Ibadah di gereja Minggu, Sholat Jum’at, sembayang di Klenteng, di Pura, dlsb, dibatasi atau dianjurkan agar tidak dulu dilakukan. Lalu, jabat tangan yang sudah dianggap bagian dari tindakan keaagamaan juga untuk sementara tidak diperbolehkan. Soal terakhir ini masih perlu dicek, di masyatakat kita kapan tradisi berjabatan tangan bernilai religius.

Demi keselamatan bersama, semua yang merupakan tindakan simbolik keagamaan itu mesti dibatasi dan ditiadakan – untuk sementara tentunya.

Hal yang praktis sosial-medis ini ternyata jadi soal besar dan serius bagi sementara orang beragama. Alasannya, iman yang teguh kepada Tuhan Yang Kuasa adalah imunitas terkuat melawan virus dan apa kuasa saya yang dapat menyebabkan kematian. Jadi, tidak perlulah semua itu dibatasi atau ditiadakan. Seolah agama akan segera mati ketika semua tindakan simbolik itu dibatasi atau ditiadakan.

Tapi, seperti juga ketika terjadi bencana yang lain, orang-orang  bertanya pula, “Tuhan ke mana, masakan tidak turun dari surga lalu bertindak memusnakan virus ini?”  “Ah, Tuhan mungkin sudah meninggalkan kehidupan kita.”

Pada situasi ketika manusia diperhadapkan dengan kekuatan yang mengatasi kemampuan fisik, nalar, pengetahuan dan teknologinya yang membuat dia merasa tidak berdaya, respon religius yang muncul paling tidak dalam dua bentuk yang ekstrim ini. Pertama, atas nama iman menjadi fatalistis, pasrah, yaitu berdiam diri, pasif karena yakin Tuhan pasti akan turun tangan menolong memberi kekuatan dan imunitas. Kedua, marah karena seolah-olah tindakan-tindakan religiusnya selama ini sia-sia. Bukankah menurut dokrin agama, orang yang beriman pasti akan dibela atau dijaga oleh Tuhan yang diimani itu?

Setelah semua benar-benar terjadi, akhirnya dua sikap religius ekstrim ini bertemu dalam pertanyaan ini: “Ke mana Tuhan?” “Mengapa Dia yang Maha Kasih itu mendatangkan bencana?”

Inilah pertanyaan-pertanyaan yang mucul dari doktrin yang menganggap bahwa Tuhan itu ibarat kepala pasukan pemadam kebakaran, yang petugasnya adalah malaikat-malaikat. Agama, dalam doktrin itu, adalah unit atau dinas pemadam kebakaran.

Doktrin inilah yang mengajarkan bahwa, bencana alam, wabah penyakit atau keguncangan sosial yang menyebabkan kepanikan dan korban massal adalah kutukan, azab, sebagai hukuman atau kehendak dari Tuhan. Maka, Tuhanlah yang bertanggung jawab atas semua penderitaan yang dialami oleh manusia. Tapi, bukankah Dia Maha Adil, Maha Kasih dan Maha Pengampun? Tidaklah mungkin Tuhan mendatangkan bencana, penderitaan dan kematian massal.

Untuk memahami ini, kira-kira sederhananya begini. Ketika terjadi kebakaran, maka tidak mungkin pihak yang harus disalahkan adalah kepala, petugas dan dinas atau unit pemadam kebakaran. Rumah kita yang terbakar, mengapa yang disalahkan pemadam kebakaran? Sementara, kita meyakini, bahwa pihak pemadam kebakaranlah yang memiliki sumber daya dan kemampuan memadamkan kebakaran.

Mengapa kita tidak bertanya kepada diri sendiri. Kebakaran mungkin karena kita lupa mematikan kompor. Tidak rutin mengecek instalasi listrik. Atau, lalai sehingga mencabut kabel setrika dari colokan listrik. Kemungkinan lain, mungkin juga karena ada orang jahat yang telah membakar rumah kita. Pokoknya, bukan karena pemadam kebakaran.

Demikian yang benar adalah, pada setiap peristiwa kebakaran, yang dilakukan pertama-tama adalah berusaha memadamkan api, orang-orang tetangga bertetangga bahu membahu memdamkan api, dan baru kemudian menghubungi pemadam kebakaran. Pada peristiwa darurat semacam ini, orang-orang tidak pertama-tama mencari siapa yang menyulut api. Naluri dan nalarlah yang menggerakkan orang-orang untuk pertama-tama menyelamatkan diri, melakukan upaya mengatasi masalah, masing-masing orang bergerak menyatakan solidaritas dan lalu meminta bantuan.

Baru setelah bencana itu usai, orang-orang berefleksi. Secara religius, pihak korban biasanya bertanya ke dirinya, menyesali tindakan ceroboh yang telah menyebabkan bencana itu dan menerima itu sebagai kenyataan tapi kemudian membangun komitmen untuk membaharui pola hidup. Secara emosional, mencari pihak lain untuk disalahkan atau menayalakan diri kemudian menganggap kehidupan ini sungguh sia-sia. Secara frustrasi, dua hal, yaitu pertama, menyalahkan pihak yang dianggap memiliki otoritas dan sumber daya yang terlambat atau tidak melakukan upaya. Kedua, menolak eksistensi pihak itu karena menganggap mereka tidak berguna.

Jadi, Tuhan tidak ke mana-mana di situasi pandemi global virus corona ini. Tuhan ada dan hadir. Tapi, bukan karena keyakinan itu, lalu bersikap pasrah untuk tidak melakukan upaya melawan virus corona; mengabaikan anjuran untuk menjaga jarak, tetap berjabatan tangan karena menganggap Tuhan pasti menolong setiap orang yang beriman kepadanya. Dengan membatasi dan meniadakan pertemuan-pertemuan dan kontak-kontak fisik yang beberapa di antaranya dianggap sebagai tindakan religius bukan berarti Tuhan sedang disingkirkan. Bukan pula berarti iman tidak lagi berguna.

Iman dalam situasi ini mungkin dapat dirumuskan dalam pemahaman, bahwaTuhan sedang bekerja melampaui tradisi dan simbol-simbol agama. Pusat-pusat ritual lokal, nasional atau global menjadi sepi. Itu karena Tuhan sedang bekerja di banyak tempat dan di banyak pihak. Tuhan sedang melampaui klaim-klaim tradisi, doktrin, simbol dan tafsir agama-agama.

Tuhan sedang bekerja bersama para medis yang berjuang merawat pasien positif corona di rumah-rumah sakit, jurnalis yang meliput perkembangan wabah ini, otoritas yang sedang berusaha melakukan segala upaya untuk kebijakan mengatasi penyebaran, dan semua pihak yang terkait dengan upaya melawan wabah global ini. 

Dalam hal ini, manusia menjumpai Tuhan  dalam kepanikan, kecemasan, keadaan sakit di ruang-ruang isolasi dan dari rumah bersama keluarga. Agama (-agama) benar-benar menjadi urusan privat, sebagaimana sejatinya ia ada. Dan Tuhan hadir dalam kerapuhan umat manusia dan peradabannya. (dennipinontoan, 18/03/2020)
   

_______________________

Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui:
dpinontoan6@gmail.com
 082187097616 




Friday, March 13, 2020

Covid-19




Oleh Denni H.R. Pinontoan


SALING bersalaman, untuk sekarang ini, dianjurkan baiknya tidak dilakukan dulu. Apalagi cipika-cipiki.

Dulu larangan bersalaman antar orang-orang tertentu terutama karena alasan agama. Alasannya bersifat doktrinal. Sesuatu yang tak dapat diindera.

Terkini, anjuran itu karena bahaya virus yang bernama corona. Itu juga karena sesuatu yang tidak dapat diindera dengan mata telanjang. Kontak langsung berbahaya menyebarnya virus corona itu.

Orang yang terinfeksi virus ini akan terkena jenis penyakit baru bernama Covid-19 (Coronavirus Disease 2019). Bermula di Wuhan, China, kini sudah menyebar ke kira-kira 104 negara. Ia lalu mendapat gelar sebagai "pendemi global".

Virus ini menyebar cepat. Satu orang diketahui dan ditetapkan positif, maka akan muncul dugaan untuk banyak orang. Seorang yang terinfeksi itu, sebelum diketahui dan positif terkena virus, pasti ia pernah melakukan kontak dengan banyak orang. Manusia itu makhluk sosial.

Dan, selanjutnya demikian.

Pertengahan Januari lalu, terkait mulai mewabahnya virus corona itu, Menkes kita berkata, "Kita berdoa jangan masuk lah ke Indonesia..."

Lalu, di Malaysia selama 3 hari, 28 Februari hingga 1 Maret ada acara Tabligh Akbar di Masjid Petaling. Sekira 10 ribu orang hadir, mereka 27 negara. Di Brunei seorang pria berusia 53 tahun menderita gejala Covid -19. Empat hari sebelumnya ia menghadiri tabligh akbar itu. Maka, ribuan orang yang hadir di acara itu diawasi. Mengawasi 10 ribu orang, bukan pekerjaan gampang. Manusia adalah makluk beragama.

Sejumlah tokoh politik, selebritis dan altlet dunia juga terkena virus ini. Lalu, seorang diplomat Pilipina di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) diumumkan sebagai orang pertama yang positif corona di lembaga internasional itu. 

Seorang teman menulis status di wall FBnya. Katanya dia batal ke luar daerah untuk mengikuti suatu kegiatan. Pihak pengundang menunda atau membatalkan kegiatan itu karena wabah virus corona. Teman itu salah satu dari ratusan ribu atau mungkin jutaan orang yang tak dapat melakukan perjalanan lintas daerah dan negara karena epidemi ini.

***
Seorang yang beragama A, dari suku B, memiliki ras C, mustahil tak akan berhubungan secara langsung dengan orang yang beragama D, E, F, yang bersuku G, H, dan ras I, dst. Langsung atau tidak langsung saling kontak antara yang berbeda niscaya terjadi. Cuma saja, sebelum semua ini terjadi, identitas dibuat mengeras sedemikian rupa. Seolah dunia ini hanya milik sendiri, satu kaum dan satu agama saja.

Virus menyebar melampaui apa yang diklaim oleh manusia. Kata para virolog , virus sebetulnya nanti eksis setelah ia menempel pada organisme hidup. Nah, karena organisme hidup itu, misalnya manusia adalah makhluk sosial, ekonomi dan juga makhluk politik, maka ia kemudian juga menyerang sistem jaringan sosial, politik, ekonomi negara dan dunia. Kehidupan sesungguhnya adalah suatu jaringan kompleks. Satu jaringan rusak, putus maka kacaulah organisme global ini.

Oma saya sering menyebut suatu ungkapan yang mungkin menunjuk ke hakekat itu. "Se tou tumou wo se manou-nou", manusia hidup dengan semua yang hidup dan yang menunjang kehidupan. Kira-kira maknanya, bahwa kehidupan manusia itu tidak lepas dari relasinya dengan makhluk hidup yang lain dan semua yang menunjang kehidupan. Kehidupan adalah suatu struktur yang saling menopang.

Siapa dan apalagi yang tidak bermasalah dengan wabah virus corona ini? Manusia sebagai person, keluarga dan masyarakatnya terkena dampak. Sistem-sistem yang dibuat oleh manusia kena dampak. Sistem negara, sistem ekonomi, sistem transportasi, dlsb.

Juga termasuknya di dalamnya sistem agama. Praktek beragama yang mementaskan simbol-simbol yang sebelumnya hampir mengganti iman didekonstruksi. Orang-orang yang berkumpul berdoa, menyembah Sang Khalik tak bebas dari virus. Maka, Tuhan tidak terutama hadir dalam tindakan-tindakan simbolik. Situasi kini mungkin sedang mengingatkan orang-orang beragama bahwa Tuhan justru hadir dalam diri yang terisolasi ketika kehidupan dan kematian itu hanya dibatasi oleh tirai putih. Tuhan hadir dalam kemurnian hati dan kepasrahan mendalam. Dan kesadaran yang benar, bahwa tubuh ini begitu rapuh.

Demikian dengan bumi, tempat manusia dan makhluk lain berdiam. Akhirnya, sejak kira-kira dua milenium sejak manusia menemukan pengetahuan ilmiah, lalu ia berkembang menjadi teknologi, sistem negara, ekonomi, oleh sejenis virus mengingatkan lagi tentang kerapuhan itu.

Sayang, selama ini, kerapuhan itu justru selalu berusaha diatasi dengan menciptakan pengetahuan, teknologi dan sistem untuk saling menguasai. Master Cheng Yen pendiri Budha Tzu Chi yang berpusat di Taiwan menyebut masalah-masalah global yang sementara kita hadapi disebabkan oleh karma kolektif. Dalam istilah lain, mungkin yang dia maksud adalah dosa-dosa kolektif, dosa-dosa peradaban.

Sistem ekonomi yang mengekploitasi, kekuasaan politik yang menindas, penciptaan teknologi yang memusnakan, gerakan-gerakan politik berbasis tafsir doktrinal sepihak, telah menyebabkan kerusakan-kerusakan besar. Semua saling menuding. Tidak ada yang mau jujur dan mengaku dosa.

Lalu, baru setelah virus corona menjadi epidemi global, kita manusia baru sadar betapa pentingnya solidaritas, hidup saling berbagi, pentingnya etika bersama, dan betapa agama, keyakinan dan ideologi apapun tidak mesti menciptakan saling permusuhan. Sebab, setelah beberapa milenium masing-masing orang hidup berkelompok dalam menurut batas wilayah negara, ideologinya, dalam klaim kebenaran agama, superioritas atas dasar kemajuan, gender, orientasi seksual; saling bersaing merebut sumber daya alam, kira-kira baru sekarang ini semua kita sadar, sesungguhnya tidak ada yang paling hebat di dunia ini.

Wabah virus corona membuat semua orang menjadi setara dalam kerapuhan. Ini pelajaran penting, bahwa perlu ada komitmen global untuk mengatasi kerapuhan ini dengan saling bersolidaritas, saling berbagi dan saling memberdayakan. Inilah etika dan kesadaran moral serta spiritualitas kolektif-global yang dapat menyelamatkan kehidupan kita semua di bumi ini. (*)  


Wednesday, March 4, 2020

Wabah Virus Cacar di Minahasa tahun 1908 Rengut 230 Nyawa


Pelabuhan Amurang awal abad 20


PENYAKIT cacar masih membahayakan orang-orang Minahasa hingga awal abad 20. Wabah penyakit terparah terjadi pada pertengahan abad 19. Populasi Minahasa menurun drastis. Sejak beberapa tahun sebelumnya, pemerintah telah berupaya melakukan vaksinasi. Tapi itu ternyata belum dapat menahan penyebaran virus cacar di Minahasa. 

“Pada bulan Desember 1907 - kasus cacar pertama ditemukan di Romoƶng (Amurang),” tulis Fred H. Wuller, seorang dokter Belanda dalam Is wettelijke Vaccinatie-en Revaccinatiedwang noodzakelijk, gewenscht en mogelijk? (1915).

Wuller datang ke Keresidenan Manado untuk melakukan upaya pemberantasan penyakit tersebut. Dia juga melakukan penyelidikan terkait penyebab dan tingkat penyebaran wabah tersebut.

Dalam catatannya, Wuller mengatakan, dia lumayan leluasa melakukan pekerjaannya karena kepala di Amurang menyambut dengan ramah dan mendukung pekerjaannya.

Wuller menulis, pada tanggal 1 Januari 1908, jumlah total orang sakit di negeri Sendangan dan Talikuran masing-masing adalah 16 orang 15 dan 1. Dua negeri tersebut berada distrik Romoong, afdeelingen Amurang. Di Rumoong berdiam kepala distrik yang disebut Mayor.

“Setibanya saya di Amurang pada 8 Januari  jumlah penderita cacar mencapai masing-masing 24 dan 5 atau jumlah total 29 orang,” tulis Wuller.

Menurut informasi yang diterima dari kepala distrik atau mayor (districtshoofd), awal mula wabah variola atau virus cacar di Romoƶng berasal dari seorang perempuan yang datang dengan menumpang perahu dari daerah yang terdampak wabah pada 4 November 1907. Diduga kuat, perempuan di tempat itu telah terkena virus. 

Wuller menulis, perempuan yang datang dari daerah wabah juga membawa anaknya. Diduga kuat, si anak itu juga sudah terjangkit virus.

“Anak itu, yang telah bersamanya, menerima gejala penyakit pertama tiga hari setelah tiba di Sendangan,” tulis Wuller. 

Pada 29 Desember 1907, petugas vaksin dikirim dari Romoƶng oleh kepala distrik setempat untuk memastikan apakah para tersangka benar-benar menderita cacar. Dari hasil pemeriksaan petugas dipastikan bahwa keduanya telah terkena virus cacar. 

Berdasarkan itu maka kemudian ditetapkan bahwa jumlah kasus cacar sebanyak 6. Penularan terjadi karena antara lain, menurut Wuller, orang-orang di dua negeri itu tidak tahu tentang jenis penyakit ini.

“Setelah mendengar ada orang yang sakit terkena wabah, orang-orang datang mengunjunginya,” tulis Wuller.

Upaya mengantisipasi penyebaran wabah waktu itu adalah dengan memberi tanda hitam pada rumah-rumah yang terdapat anggota keluarga yang terkena cacar. Maksudnya untuk mengisolasi yang terkena cacar agar tidak menjangkiti orang lain.

Dari distrik Romoƶng, virus lalu menyebar ke distrik Tombasian, yaitu negeri Malikoe. Seorang dari Romoƶng yang pergi ke sana untuk urusan keluarga. Gejala terinfeksi muncul dua hari kemudian.

Untuk mengisolasi para penderita, sebuah gubuk sementara dibangun. Beberapa dari mereka yang telah pulih kemudian ditempatkan di sebuah bangunan terpisah. 
Wuller menulis, upaya untuk mencegah agar penyebaran tidak meluas, dan pula menghentikan wabah itu, caranya adalah bekerjasama dengan Mayor Romoong. Sang mayor sangat aktif bekerjasama dengan dia.

“Dia (mayor – red) mengumumkan bahwa, mengingat kematian cacar, sangat penting untuk mengetahui seberapa besar kekuatan populasi sebenarnya. Untuk itu, semua orang, besar dan kecil, harus hadir pada 4 Maret 1908 pukul 6 pagi di depan kantor distrik. Orang yang mengabaikan ini karena kelalaian, keengganan atau sebaliknya akan dihukum,” tulis Wuller.

Maksud pengumuman itu sebetulnya adalah untuk memberikan vaksin kepada mereka. Vaksinasi dilakukan mulai pukul 6 pagi hingga 12 malam.  Sebanyak 552 orang (tua dan muda) memperoleh vaksina. Warga yang datang menerima vaksin sangat banyak. Hampir tidak ada yang menolak.  

Vaksinasi telah dilakukan di Minahasa sejak kira-kira tahun 1860-an. Tapi, menurut Wuller, orang-orang di Rummong kebanyakan hanya divaksin sekali semasa kanak-kanak. Oleh sebab itu banyak di antara mereka yang tidak lagi kebal.  

Selain menggalakkan lagi vaksinasi, pemerintah juga menggiatkan hidup sehat bagi penduduk. Lalu rumah-rumah, perabot, pakaian, dan lain-lain disterilkan dari virus dengan menggunakan larutan sublimate, carbol, dan air mendidih. Hidup disiplin juga digiatkan, antara lain patuh pada instruksi para pekerja medis agar anggota keluarga yang sehat tidak sembarangan berhubungan pasien.

“Kerabat yang belum divaksinasi ... selalu berusaha untuk lewat jalan tersembunyi pergi  ke rumah sakit untuk membawa semacam makanan ringan karena kasihan, tidak tahu bahwa mereka menginfeksi diri mereka sendiri dan menjadi sumber infeksi baru ketika mereka kembali ke kampung,” tulis Wuller.

Masalah yang ditemukan pada upaya pemberantasan wabah cacar ini, bahwa berapa penduduk yang sedang sakit menolak untuk diisolasi dalam waktu yang lama melarikan diri ke kebun. Demikian juga beberapa dari mereka yang ketika didiagnosa positif terkena virus, juga ada yang melarikan diri. Karena itu, tulis Wuller tidak jarang orang-orang yang melarikan diri itu ditemukan di kebun dalam keadaan meninggal.  

Jumlah penduduk di distrik Rumoong yang meninggal akibat virus cacar, yaitu masing-masing di negeri Talikuran, Sendangan, Serani-Kawangkoan periode 1 sampai 31 Januari 1908 sebanyak 19 orang. Periode bulan Februari, ditambah negeri negeri Maliku di distrik Tombasian total yang meninggal sebanyak 8 orang. Periode Maret,  korban meninggal untuk empat negeri itu tinggal satu orang. 

Sampai Agustus 1908, virus cacar sudah meluas meliputi sebagian besar afdelingen, distrik dan negeri se-Minahasa. Data yang dikutip Wuller menyebut, total keseluruhan korban meninggal akibat wabah cacar di Minahasa sampai Agustus 1908 sebanyak 230 orang.(*)



_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.


*Jika anda ingin menghubungi saya terkait dengan artikel yang dibaca di blog ini, atau untuk menyampaikan sesuatu boleh melalui: 
dpinontoan6@gmail.com

 082187097616