Skip to main content

Bunga, Kuliner dan Keramahan Orang Tomohon Tempo Dulu

Tomohon di awal abad 20. Foto KITLV
"DI tepi jalan terdapat pagar yang bersih dan rapi – terdiri dari setek bunga mawar atau bunga lonceng atau bunga burung atau beluntas atau balacai,” demikian Nicolaus Graafland melukiskan keadaan Tomohon pada suatu ketika di tahun 1850. 
 
Rekaman tentang Tomohon di pertengahan abad 19 itu Anda dapat baca dalam buku Nicolaus Graafland De Minahasa terjemahan Yoost Kullit berjudul Minahasa Masa Lalu dan Masa Kini.

Tomohon kala itu adalah ibu kota distrik. Sebuah kota kecil yang ramai. Orang-orang dari Tondano, Remboken, Kakas, Langowan, Tompaso, Kawangkoan dan Sarongsong yang menuju ke Manado harus melewati kota ini. “Semua gerobak yang dimuati kopi, yang berkumpul di gudang kopi distrik itu harus diangkut melalui tempat ini,” jelas Graafland.

Di distrik Tomohon terdapat lima negeri. Negeri Talete, Kamasi, Paslaten, Kolongan dan Matani. Jumlah penduduk secara keseluruhan sebanyak 2996 jiwa.
Jenis bunga yang ditanam di setiap negeri distrik Tomohon bervariasi. “Di tiap negeri sesuai pilihan kepala negeri atau ada kalanya sesuai pilihan penghuni itu sendiri, dan oleh karena itu maka ada kalanya terdapat pemandangan yang berbeda,” tulis Graafland.

Bunga-bunga di tanam di pekarangan yang luas. Graafland menggambarkan, di tengah pekarangan terletak sebuah rumah kecil dicat putih, tiang dan sandarannya dicat biru tersendiri.

Orang-orang Tomohon rupanya sudah menyukai warna-warni di masa itu. Bunga-bunga beragam warna yang menghiasi pekarangan tentu sungguh indah pemandangannya.

Selain bunga, di pekarangan ditanam pula macam-macam pohon buah. Seperti pohon pisang, berbagai jenis pohon jeruk, pinang, kopi dan kapas. Menurut Graafland ini telah memberi keuntungan bagi masyarakat.

Tanaman holtikultura juga ditanam oleh orang-orang Tomohon masa itu. “Di samping itu maka di sana-sini mereka mengadakan kebun sayur kecil-kecilan, dan menanamkan pada bedeng yang diolah rapi berbagai jenis buncis, seledri, bawang, anyis, dan lain-lain,” ungkap Graafland.

Tomohon yang berada di 700-800 di atas permukaan laut sangatlah cocok untuk tanaman bunga dan holtikultura. Kesejukan kota Tomohon selalu membri kesan bagi siapa saja yang datang ke sini. Alfred Russel Wallace yang datang ke kota ini pada Juni 1859, ketika berkunjung ke rumah Mayor di situ terkesan dengan kesejukan Tomohon. “Aku memperoleh kejutan di sini. Rumah itu besar, sejuk, dan dibangun dengan kuat dari kayu keras, dan dibangun dengan tenaga ahli dan cekatan,” ungkap Wallace dalam The Malay Achipelago.

Pada jamuan itu, Wallace menikmati keramahtamahan sang mayor dan keluarganya. “Segera setelah kami masuk, madeira dan teh pahit ditawarkan kepada kami,” kata Wallace.

Makanan malam itu sangat lezat, kata Wallace. “Unggas dimasak dalam berbagai cara; ada babi panggang yang direbus dan digoreng, fricassee dari kelelawar, kentang, nasi dan sayuran lainnya,” jelas Wallace.
Sambil menikmati lezatnya makanan, kata Wallace, mereka juga menikmati bir yang melimpah.

Graafland juga pernah berkunjung ke rumah mayor ini. Ketika dijamu oleh sang Mayor dan keluarga, dia menikmati sebuah penyambutan yang sangat terhormat.
“Lihatlah sekeliling: sebuah meja makan, yang oleh banyak orang Eropa akan merasa dihormati. Semuanya rapi dan jernih: taplak dan serbet, pirin, sendok, pisau meja, gelas,”tulis Graafland.

Jenis masakan yang disajikan di meja makan terasa sangat lezat. “Pertama-tama saya menunjukkan kepada Anda sup, yang disajikan dalam pinggan sup  yang bagus. Di sana Anda melihat piring besar yang di atasnya terdapat daging babi hutan, yang kelihatan enak sekali, yang ada dapat makan bersama kentang yang bagus, yang ada kalanya enak sekali; di sini terpampang ayam kampung yang gemuk, yang digoreng enak sekali,” Graafland menggambarkan secara detil.

Dengan latar gunung Lokon, tentu semua semakin menjadi indah.


___________________

Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis. 

Makase banyak.


Comments

Popular posts from this blog

Awal Mula Gerakan Pantekosta di Tanah Minahasa

Sekolah Alkitab di Surabaya tahun 1941 Orang-orang Minahasa di tanah rantau, bertemu dan meyakini gerakan Pantekosta yang diperkenalkan oleh para missionaris keturunan Belanda yang bermigrasi ke Amerika. Lalu para penginjil ini pulang kampung dan menyebarkan gerakan Pantekosta di tanah asal mereka. PELABUHAN Amurang, 13 Maret 1929. Sebuah kapal penumpang yang berlayar dari Surabaya baru saja berlabuh. Dua penumpang di antaranya sedang menjalankan misi gerakan Pantekosta. Julianus Repi dan Alexius Tambuwun, nama dua penumpang itu.    Di Tanah Jawa, tanah perantauan, mereka mengenal dan belajar aliran kekristenan ini. Di tanah asal mereka, Minahasa jemat Kristen Protestan sudah berdiri sampai ke kampung-kampung sejak beberapa abad lampau. Dengan semangat yang menyala-nyala, dua pemuda ini bertekad pulang ke tanah kelahiran untuk menjalankan misi.   "GPdI masuk di Sulut ketika itu dikenal dengan Sulutteng pada awal Maret 1929. Julianus Repi dan Alexius Tambu...

'Kukis Brudel', Kue dari Belanda yang Populer di Minahasa

Kue Brudel dari Belanda, diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Nonna Cornelia dalam buku resepnya, di Minahasa kue jenis ini sangat populer   SETIAP mendekati ‘Hari Besar”, Natal dan Tahun Baru atau acara-acara tertentu, orang-orang Minahasa pasti akan mengingat kukis (kue) yang satu ini: brudel. Kukis brudel dapat dinikmati setelah makan rupa-rupa lauk-pauk dalam pesta-pesta. Juga sangat pas dinikmati bersama kopi atau teh hangat.     Dari mana asal kukis brudel ini? Orang-orang akan menjawab, dari Belanda. Dari zaman kolonial. Tapi bagaimana kisahnya? Resep kukis (kue) brudel atau dalam bahasa Belanda ditulis broeder sudah muncul dalam sebuah resep masakan tahun 1845. Pengarangnya bernama Nonna Cornelia. Buku karangannya yang berjudul Kokki Bitja ataoe Kitab Masakan India diterbitkan dalam bahasa Melayu dicampur bahasa Belanda. Pertama kali terbit tahun tahun 1845, lalu terbit lagi dalam edisi revisi tahun 1859.     “Ambil doea deeg, ...

Riwayat Lagu ‘Sayang-sayang Si Patokaan’

Lagu 'Patokaan' pada iklan Haagsche Courant edisi Februari 1928 “Sayang-sayang si Patokaan” lagu rakyat asal Minahasa yang bemula dari saling ejek antar orang-orang di beberapa kampung di Tonsea, bagian utara tanah Minahasa. Dalam perjalanannya, lagu ini sering disalahartikan. SUATU hari di tahun 1950-an, Wilhelmus Absalom Reeroe, waktu itu sebagai mahasiswa di Jakarta menyaksikan sebuh kapal perang Uni Soviet yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta. Sebagian penumpang kapal turun untuk main sepak bola persahabatan di lapangan Ikada. Sebelum pertandingan di mulai, orang-orang Uni Soviet ini terlebih dahulu menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenal oleh Roeroe sejak masa kanak-kanaknya di Kakaskasen, Minahasa. Lagu “Sayang-sayang si Patokaan”. Aslinya, syair lagu ini ditulis dalam bahasa Tonsea. “Terkejutlah juga kami mendengarnya,” tulis Roeroe dalam bukunya I Yayat U Santi, terbit tahun 2003. Di masa perpeloncoan mahasiswa di tahun 1950-an itu, kata Roero...