Saturday, August 18, 2018

Perdamaian ala Pdt. A.Z.R. Wenas dan Pastor C. de Bruyn di Masa Pergolakan Permesta

Di saat perang sementara berlangsung dan di saat umat dan rakyat ketakutan, pemimpin umat dari dua gereja yang punya sejarah konflik, justru melakukan upaya perdamaian.

Pdt. A.Z.R. Wenas
JELANG satu tahun Proklamasi Perjuangan Semesta (Permesta) di Makassar pada 2 Maret 1957, tepatnya 17 Februari 1958, Permesta melalui Kolonel J.D. Somba menyatakan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat. Ini membuat pemerintah pusat marah. Tanggal 22 Februari 1958, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dengan pesawat-pesawat tempurnya memuntahkan bom-bom dari langit di atas kota Manado. Maka dimulailah perang di Minahasa.

Bulan Mei, serangan udara oleh AURI menghancurkan pesawat-pesawat milik Permesta di Mapanget, rumah-rumah sakit dan beberapa gedung penting lainnya. Bulan Juni  Marinir dan infrantri juga melakukan penyerbuan. Maka diumumkanlah wilayah Minahasa berada dalam keadaan perang.

Akibat serangan udara, laut dan darat yang beruntun itu, kelompok-kelompok pasukan tentara Permesta terus terdesak. Menyusul setelah itu pecah konflik di di kalangan pemmpin Permesta. 

Situasi kian hari kian memburuk. Terjadi pengungsian besar-besaran di kalangan rakyat mencari tempat aman. “Mereka semua hidup dalam ketakutan, karena bila hendak mengambil sesuatu dari kampungnya, dapat dituduh sebagai mata-mata oleh Permesta, atau sebaliknya dicurigai oleh TNI/Partisan sebagai membantu Permesta,” tulis H.B. Palar dalam Minahasa Benteng Terakhir NKRI.

Situasi itu tergambar dalam surat yang disampaikan oleh Badan Pekerdja Geredja Masehi Indjili Minahasa yang ditandangani oleh Ketua Sinode Pdt. A.Z.R. Wenas tertanggal 26 September 1959 kepada Presiden Soekarno:

“Bapak Presiden Jang Mulia!
“Pergolakan daerah Minahasa makin hari makin menghebat demikian penderitaan rakyat makin memuntjak; realiteit dihari-hari jang achir ini jaitulah: Pembunuhan manusia dan pembakaran rumah-rumah/negeri-negeri makin bertambah.”
“Ini mengertikan tanah kami Minahasa menghadapi keruntuhan dan kehantjurannja.”
“Bapak Jang Mulia! Terhadap realiteit ini kamu tunduk; kami melihatnja dan memahaminja sebagai hukum Tuhan Allah jang mahakudus atas dosa dan kesalahan kami baik selaku rakjat baik selaku geredja di Minahasa.”

Demikian seperti termuat dalam buku Ds. A.Z.Wenas (1897-1967) Pelajan Geredja di Minahasa, Bulletin Dewan Gerejagereja Sulutteng, terbit tahun 1968.

Setahun sebelumnya, juga termuat di buku itu, yaitu Maret 1958  Sidang Sinode G.M.I.M mengeluarkan seruan yang ditandatangani oleh Ds. Wenas selaku ketua sinode menyikapi situasi mencekam di Tanah Minahasa akibat pergolakan tersebut. Tentara pusat membom Kota Manado dan beberapa tempat lainnya, termasuk Rumah Sakit Gunung Maria. Seruan tersebut antara lain berbunyi:

“Tinggalkan an hentikanlah djalan kekerasan, melalui pemboman, perang saudara antara kita dengan kita. Hentikanlah pemuntahan peluru dan granat pada Kota Manado atau kota-kota lain jang telah mengakibatkan tewasnya orang2 jang tiada bersalah.”

Situasi ini perang ini rupanya membawa pengaruh bagi hubungan antara umat dan para pemimpin Katolik dan Protestan. Para pemimpin umat ini berasal dari dua gereja Kristen yang memiliki sejarah konflik sejak berabad-abad lalu. Dengan perang ini rupanya lahir sebuah hubungan yang baru.

“Pendeta atau pastor yang hari-hari mendampingi mereka itulah gembalanya, pemimpin spiritual maupun pelindung terhadap kekerasan sesama,” ungkap Palar.

Pada tanggal 25 Desember 1958, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya, sungguh-sungguh nyata di hari Natal itu. Paduan suara Katolik dari paroki Hati Kudus Tomohon mengikuti dan menyanyikan lagu-lagu rohani pada kebaktian di gereja Sion Tomohon. Itu boleh terjadi karena Pdt. A.Z.R. Wenas, ketua Sinode GMIM telah dengan tulus mengundang paduan suara itu, dan C. De Bruyn, seorang pastor Katolik asal Belanda, pemimpin paduan suara ini  telah dengan terbuka menerima undangan pemimpin gereja Protestan tersebut.

“Peristiwa itu unik dan menggemparkan, karena hingga saat itu umat Protestan dan Katolik (Noskap dan Romes) tersekat tebal,” jelas Palar.

Menurut Palar, hal itu boleh terjadi karena ternyata antara Pdt. Wenas dan pastor C. De Bruyn sudah lama kenal jauh sebelum Perang Dunia ke-II. Ceritanya, waktu Pdt. Wenas pulang dari studinya di Belanda, secara kebetulan ia satu kapal dengan pastor Bruyn. Karena tujuannya sama, yaitu ke Minahasa maka terjadilah percakapan dan pertemanan di antara mereka berdua.

Ketika bertemu lagi di Tomohon pada masa perang iitu, kedua pemimpin umat ini melanjutkan pertemanan mereka untuk suatu upaya perdamaian.

“Mereka bertemu lagi di Tomohon tahun 1958, lalu memulaikan langkah baru dalam sejarah gereja Kristen umat beragama di Minahasa,” tulis Palar.


_______________________
Artikel ini ditulis oleh Denni H.R. Pinontoan. Saran dan masukan silakan dikirim ke alamat email dpinontoan6@gmail.com. Pengutipan untuk penelitian atau penulisan artikel, harap mencantumkan nama 'Denni H.R. Pinontoan'. Pihak yang akan mengutip keseluruhan artikel untuk diterbitkan di media lain atau untuk kepentingan komersil lainnya, harap terlebih dahulu menghubungi penulis.

Makase banyak.

No comments :

Post a Comment